16 Surel

Malam itu aku terjaga hingga larut malam. Lagi. Tugas membaca esai dan membuat resumenya sudah selesai sejak pukul sebelas. Aku mengirimkan tulisanku ke Putra sekitar pukul 00.06. Lalu mendapat balasan kurang dari lima menit.

Aku tak bisa memutuskan mana yang lebih membuatku tak bisa tidur. Kata-kata Ziya tentang Erik yang masih mengiang di kepalaku, atau kemunculan email beruntun berisi pesan-pesan pendek yang konyol dari Putra. Sungguh, dari pesan-pesan pendek itu seolah-olah memberikanku ruang khusus untuk melihatnya dari sisi lain. Yang rinci dan mendetail pada tiap sudutnya. Sehingga yang muncul di kepalaku yang ruwet adalah tuduhan bahwa selama ini ia hanya mengenakan topeng.

Putra: Apa kamu punya kebiasaan begadang?

Aku: Enggak juga.

Putra: Enggak juga itu artinya ya atau tidak?

Aku: Mungkin itu artinya kadang-kadang.

Putra: Apa ayahmu nggak nyuruh kamu tidur?

Aku: Ayahku, actually, bukan orang yang suka nyuruh-nyuruh.

Putra: Lalu gimana dengan Ibu kamu?

Aku: Ibu saya tahu kalau saya lagi ngerjain tugas, ada banyak tugas, jadi beliau lebih suka melihat saya bekerja dengan keras. Kamu sendiri?

Agak lama, Putra mengirimkan balasannya. Ini memberikan aku kesempatan berpikir, apakah aku benar-benar penasaran dengan pertanyaanku barusan? Atau, itu hanya sekadar pelengkap basa-basi semata?

Putra: Orang tua saya juga bukan dari jenis yang suka nyuruh orang dan ya, sedikit kesamaan lagi karena mereka juga akan senang kalau anak-anaknya bukan seorang pemalas.

Aku menghela napas. Apakah ia juga memiliki keahlian sebagai tukang gombal?

Well, yah, setiap keluarga pasti memiliki satu atau dua jenis peraturan yang sama, kendati hal yang sama itu dilakukan dengan cara berbeda. Memiliki orang tua yang bukan tukang atur jelas bukan hanya kami—aku dan Ziya saja. Setidaknya, dari sedikit yang kuketahui ada Josh dan Kristina. Orang tua mereka juga sama moderatnya dengan orang tua kami. Namun begitu, dijadikan bahasan ketika sedang mengobrol di waktu yang tidak seharusnya digunakan untuk berdua dengan seseorang yang belum lama kaukenal, topik semacam itu rasanya terlampau "menjemukan". Seolah-olah kau terlalu mudah untuk digoda. Ch!

Aku: Ya.

Putra: Hanya 'ya' saja? Sungguh? Lala Paramitha ... oh, hanya itukah yang sanggup kau katakan. Sungguh itu keterlaluan. Sangat kejam. Ada banyak ribuan kata yang bisa kamu tulis buat saya. Apa saja kek. Resep masakan. Nama-nama orang yang mungkin sama dengan nama kita, yang mungkin kekanakan, tapi cukup membanggakan bila dirasa-rasa, tetapi kamu—mungkin, kepingin membahas itu sama saya. Nah, Lala Paramitha, ayolah!

Aku menahan tawa. Tidak susah membayangkan wajah putih itu menjadi merah karena merajuk.

Aku: Wahai Saputra Hadi, err ... Putra. Dengan amat menyesal saya katakan bahwa saya enggak ahli masak. Saya nggak pintar memasak, jadi ngomongin resep masakan sudah tentu sama halnya jika saya enggak menghargai jerih payah para chef di dunia, atau para tukang masak di mana pun berada karena saya sudah membicarakan hasil kerja mereka tanpa persetujuan atau hal-hal semacamnya. Berikutnya, ya, saya mengenal banyak orang bernama Putra. Termasuk salah seorang teman SMP saya. Tetapi dia enggak mirip sama kamu. Lebih tepatnya, saya nggak tahu apakah pantas ngomongin orang lain apa enggak. Dan ... inilah intinya, sejujurnya saya belum baca resume kamu. Jadi, bisa kamu bahas di sini juga?

Putra: Nggak mau.

Aku: Kenapa? Apa susahnya?

Putra: Nggak susah, sih. Hanya saja, Lala Paramitha ini bukan sedang jam pelajaran sekolah, jadi sebaiknya kamu membicarakan hal yang lain. Tapi ya bukan hal-hal yang tadi sudah kita bicarakan. Sesuatu yang tidak mengecewakan. Seperti misalnya, soal ... apa film kesukaan kamu. Siapa aktor yang membuat kamu kepingin berubah menjadi dompetnya. Atau sisirnya. Atau mungkin, arlojinya. Seperti juga, kenapa bisa kau tidak mengikuti temanmu Kristina menjadi atlet basket. Kalian sangat dekat. Dan dari sepanjang yang saya pahami, dua orang yang berteman dekat cenderung melakukan banyak hal bersama-sama. Termasuk, yang nggak jarang terjadi juga yaitu naksir satu orang yang sama. Ayolah, itu pasti menyenangkan. Setuju?

Sejujurnya, kata-kata semacam ini malah membuatku tersinggung, seakan-akan ia tengah menuduhku sebagai "pengikut" alih-alih pencetus. Jadi aku membalas begini: hei, bukan saya yang mengajak bicara pertama kali, jadi itu bukan tanggung jawab saya untuk mencari topik. Setuju?

Ini kali kedua Putra membalasku agak lama. Membuatku menduga jika ia tidak akan membalasku lagi. Sehingga, aku hampir mau mematikan laptop sebelum kemudian bunyi pesan masuk menghalang-halangi niatku.

Putra: Jadi itu berarti saya, baiklah, tunggu sebentar.

Aku: Ya, silakan saja, saya punya banyak waktu.

Putra: Seberapa banyak sebelum kamu sadar bahwa sebentar lagi akan datang serangan fajar?

Aku melirik sudut kanan bawah pada layar laptop. Pukul dua lewat dua belas. Yah, kurasa aku masih cukup waktu untuk mengejar tidur kalau aku bisa memaksa diri nantinya.

Aku: Lihat saja ntar.

Putra: Oke.

Jelas ini bukan ide bagus. Tapi aku juga tidak memiliki sesuatu yang bisa dikatakan bagus agar ide yang tidak bagus ini tidak terlaksana.

Sayangnya, bagaimana pun aku berusaha sudah terlambat. Bahkan kata-kata Ziya kini tidak cukup mampu untuk mengubah tekadku. Atau barangkali aku yang tidak memiliki tekad? Entah.

Sementara menunggu balasan dari Putra, aku membuka ponsel. Ada ratusan pesan di grup chat yang sebagian isinya, yang paling atas dan bisa kubaca adalah berisi laporan-laporan kepada guru bahwa mereka telah mengirimkan tugasnya.

Gara-gara itu, aku mengecek email-ku lagi memastikan bahwa tugasku sudah terkirim. Status email-ku untuk guru terkirim di log berita pengiriman seperti email-email balasanku untuk Putra. Jadi, aku merasa lega.

Lalu aku melihat isi grup chat itu lagi. Seseorang mengunggah foto Kris sedang tersenyum sambil memperlihatkan pot tumbuhan lengkuas itu di jok belakang mobil Josh. Lalu seorang cowok berbadan subur mengunggah foto dirinya sedang memeluk pohon jeruk bali di halaman rumahnya yang tengah berbuah. Seorang cewek berkaca mata dengan rambut dikucir kuda berdiri di sebelah pohon palm botol. Yang lain berpose di antara pot-pot tanaman yang tengah berbunga. Jelas aku tidak tahu semua nama-nama bunga tersebut.

Dan ya, foto lain bermunculan seolah-olah grup chat itu telah beralih fungsi menjadi ajang pamer. Josh mengunggah foto yang dia ambil menggunakan ponselnya. Dalam foto itu, yang membuatku memicingkan mata sedikit lebih lama menatapnya, aku berdiri bersisian dengan Erik. Ada Ibu dan juga Kristina yang memeluk lengannya di sisiku yang lain. Aku dan Erik berdiri dalam jarak yang normal. Namun, setelah melihatnya sedikit agak lama lagi, aku mendapat kesan seolah-olah kata-kata Ziya ada benarnya.

Ogah linglung, buru-buru aku mematikan ponsel. Lalu kuperiksa email balasan lagi dari Putra di laptop, tapi belum ada. Jadi, kuputuskan keluar kamar dan pergi ke dapur. Mengambil sesuatu di kulkas yang bisa kumakan.

Ada makaroni kornet di mangkuk yang sepertinya sengaja ditinggalkan Ziya untukku. Ziya menggunakan mangkuk anti panas. Jadi, aku berkesimpulan bahwa ini pasti untukku.

Aku mengambilnya dan kupanaskan di oven. Sambil menunggunya, aku pergi ke kamar sebentar dan mengecek lagi. Kosong. Balasan terakhirnya masih email yang sudah kubaca.

Ketika aku kembali ke dapur, Ziya sedang berdiri di sana. Wangi dari makaroni itu pasti telah membangunkannya.

"Lo ngambil makaroni gue?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Gue laper."

"Itu emang buat lo, kok."

Aku tersenyum lega. "Trim's."

"Itu jangan kelamaan manasinnya."

"Oke."

Lagi-lagi aku tak bisa memutuskan ini gejala apa. Ziya kembali ke kamarnya begitu aku memakai sarung tangan dan mengambil makaroni dari dalam oven. Lalu setelah memindahkan isinya ke piring yang baru, aku segera kembali kamar.

Putra mengirimi aku dua pesan sekaligus! Itu membuatnya seperti seorang maniak. Dan ya, jujur saja, itu "mengerikan".

Putra: Lala Paramitha, saya kembali.

Balasan kedua hanya berjeda kurang dari semenit.

Putra: Lala Paramitha, kalau kau sudah tidur saya enggak akan ganggu kamu meski saya sudah punya topik. Ya, mungkin topiknya akan membikin kamu kepingin menjotos kepala saya karena saya memiliki beberapa topik soal sekolahan. Salah satunya ya, soal tulisan itu, tugas resume kita. Hanya saja, saya bukan mau ngajak kamu ngomongin resume tetapi alasan di baliknya. Sepakat? Katakan ya kalau ya dan begitu sebaliknya. Sungguh, tindakan berpura-pura di sini sama sekali tidak dibenarkan.

Aku: Ya, maaf, saya habis dari dapur, ambil makanan, lapar.

Putra: Apa hanya karena lapar?

Aku: Ya.

Putra: Wah ...

Aku: Apa enggak sebaiknya lewat chat aja? WhatsApp? LINE?

Putra: Ya ampun, kamu punya semua media itu, hai ... Lala Paramitha?

Aku: Yap ... saya senang memanfaatkan ciptaan manusia, itu salah satu cara menghargai kerja keras mereka. Karena kelak, bagaimana pun kita membutuhkannya juga.

Putra: Saya setuju, tetapi ... Lala Paramitha, kamu nggak suka cara konvensional?

Aku: Suka nggak suka, sih. Lagian email juga nggak konvensional-konvensional amat.

Putra: Tapi jelas ia berumur lebih tua dari chat.

Aku: Itu alasannya? Karena usia?

Putra: Bisa ya bisa nggak, tapi sejujurnya karena saya nggak punya akses lain buat menghubungi kamu selain email.

Aku menggigit bibir.

Aku: Oh, sorry.

Tengah kupertimbangkan untuk mengetik nomor ponselku yang terhubung dengan aplikasi pesan. Tapi balasan Putra lebih cepat dikirim.

Putra: Oke. Saya nggak keberatan sebetulnya. Tetapi, sepertinya sudah terlanjur kalau harus pindah tempat. Karena sejujurnya saya sudah kerasan di sini.

Sejujurnya ya, aku setuju. Tapi kata-kata "pindah tempat" terdengar sama mengerikannya.

Putra: Lala Paramitha, kamu sambil makan?

Aku: Ya, kalau kamu mau makan juga silakan saja.

Putra: Saya nggak suka makan jam segini.

Aku: Ya, kamu memang kelihatannya seperti nggak pernah makan.

Putra: Oh, apa itu terlihat aneh? Kamu punya kesan seperti itu?

Aku: Nggak.

Putra: Oke. Trim's.

Aku: Oke.

Putra: Apa sekarang makanmu sudah selesai? Apa sekarang kau sudah mengantuk?

Aku tertawa. Orang ini mungkin setengah gila kalau tidak maniak.

Aku: Belum. Belum semuanya. Dan, gimana topiknya. Tadi soal resume. Apa alasan di baliknya?

Putra: Lala Paramitha, ini akan panjang.

Aku: Dan sudah saya bilang, saya banyak waktu.

Putra: Oke, risiko ditanggung sendiri. Saya sudah mengingatkan pokoknya.

Aku: Ya, Ayah saya ngajari saya buat jadi orang bertanggung jawab. Jangan khawatir.

Putra: Nope. And welcome to the club. []

avataravatar
Next chapter