20 Sekumpulan Lebah yang Berdengung

Aku masih berusaha melepaskan diri dari kata "diam-diam" yang perlahan membuatku merasa frustasi. Di pojok kantin yang dipenuhi aroma makanan—yang ternyata tidak cukup membuatku berselera, Kris lebih menggerutu tentang Bima di kelas ketimbang soal "keluhan" yang diberitahukannya saat ia berjalan ke tempat duduknya tadi.

"Sumpah nih ya, kalau tadi gue enggak males banget, gue udah cabut. Bodo amat dah abis itu kena setrap seharian pun. Geli gue sama dia."

Aku tertawa. Anggukkan setujuku dikernyitinya seolah-olah aku sama halnya dua porsi bakso tanpa mi di depan kami yang tampak nelangsa.

"... lagaknya itu loh, kayak udah paling jago aja. Kesel gue."

"Sabar, Kristina ... enggak lo doang kok yang pengen nyambit dia. Gue juga. Temen sekelas kita juga. Semua deh."

Kris mendengus. "Ini awas aja, ya. Inget-inget lo ya, ntar gue timpuk dia pakai bola kalau pelajaran olah raga. Pokoknya, bisa nggak bisa gue harus balas dendam."

Kedua alisku terangkat.

"Segitunya?"

Kris menolehku cepat. Menatap tak percaya.

"Ya habisnya. Tuh cowok liat ya gue habis tanding dan kalah ... ngerti dikit kek. Malah bikin ulah sembarangan."

Aku menghela napas. Informasi baru ini memukulku keras-keras.

"Emangnya ... dia nonton? Kok lo sampe nuntut dia banget?"

"Nonton! Dia nonton tahu. Mana tereak paling kenceng banget pula. Dia tuh entah cowoknya siapa gitu, salah satu anak basket juga yang ikut tanding."

Aku diam saja. Kristina terus melanjutkan omelannya seakan-akan ia memiliki alasan sah untuk melampiaskan semua rasa kesalnya pada cowok itu. Semua rasa kesal yang mengendap di dasar perutnya. Sepertinya begitu.

"Ya emang sih, dia enggak salah-salah banget. Nggak salah malah," Kris tertawa, menertawakan kekonyolannya. "Tapi tetep aja ... aturan ya dia tahu kalau tindakannya bakal memicu kericuhan. Dan ada gue yang lagi ... gimana pun juga berkabung. Toleran kek dikit."

Terpikir olehku bahwa tindakan Bima hanya karena ia menginginkan kredit dari guru. Dia, seperti yang Kristina katakan sendiri, tidak salah. Tidak bersalah atas apa pun karena pendapatnya dipicu untuk mengutarakan pemikirannya secara sah. Jadi seharusnya tidak ada yang merasa dirugikan oleh hal itu. Termasuk itu Kristina. Bahkan jika ia baru saja mengalami hal lebih buruk dari itu, tak ada yang bisa menghentikan Bima untuk meninjukan kepalannya ke udara manakala guru memberikan pancingan.

Lalu kuulang lagi padanya bahwa aku juga sama kesalnya. Tapi aku sedikit lebih beruntung mengingat aku tidak ke mana-mana yang membuatku kehilangan separo tenaga dan pikiran. Jadi aku membiarkan Kristina meluapkan segala kekesalannya.

"Kalo bisa sekarang aja sih gue jedotin kepalanya ke tembok."

"Boleh sih. Tapi itu ilegal."

"Jadi lo setuju gue sambit aja pake bola pas olahraga ntar?"

"Ya setuju nggak setuju, sih."

"Ck! Pilih satu aja deh."

Aku menimbang, agak lama. Aku tidak setuju. Tapi Kris pasti hanya ingin mendengar bahwa aku setuju. Jadi, aku mengatakan sesuatu yang ingin ia dengar. Toh, itu bisa diralat kapan saja.

"Oke. Setuju."

"Nah ... gitu, jadi siksaan kita ntar malam buat bikin resume lagi setimpal."

Dadaku mencelus. Teringat tugas yang sama lagi membuatku kembali mengingat isi email dari Putra semalam. Aku berpikir bahwa ini tidak akan menggangguku. Tetapi nyatanya tidak demikian.

Sepanjang obrolan kami berikutnya, meskipun Kris sudah tidak membicarakan itu lagi, kalimat-kalimat panjang itulah yang pada kenyataanya berterbangan ke sana kemari, berdengung di dalam kepalaku seperti sekumpulan lebah.

Bahkan ketika upayaku mengimbangi Kris, kukatakan padanya terkait ajakan Josh melalui Erik, dengungan itu tidak berhenti. Upayaku sia-sia. Seolah-olah dari kegagalanku yang menyedihkan ini, terselip ejekan bahwa aku tak akan bisa mengenyahkannya. Selamanya.

"Trus lo mau?" kata Kris, dan pada akhirnya ia mulai menyentuh makanannya.

Aku mengangkat bahu. Lalu seperti halnya Kris, aku mulai makan juga.

"Harusnya sih lo nggak usah mau lagi," tukasnya mengimbuhkan. Aku menoleh. Raut mukanya sungguh-sungguh. "Soalnya gue males ngapa-ngapain hari ini. Pengen tidur. Tapi kalau lo udah bilang oke ya ... mau nggak mau gue harus oke juga."

Aku menelan kunyahan pertamaku. Menggeleng. "Ya nggak gitu juga. Lo capek. Lo butuh istirahat. Jadi lo harus istirahat."

Kristina menatapku penuh maksud. Dia menggodaku. Aku menggeleng. Mengatakan "apa" lewat tatapanku balik.

"Lo nggak bakalan nyesel?" katanya.

"... nyesel karena apa?" kataku.

Kristina tersenyum-senyum. Senyuman penuh maksud yang akhirnya membuat aku sedikit menemukan titik terang. "Erik i mean," katanya.

Aku tertawa. Tapi itu malah membuat Kristina jadi serius menatapku. Ia meletakkan sendok dan garpunya. Lalu secara khusus mencermatiku.

"Sial. Apa gue yang salah baca," tukasnya setelah beberapa saat.

"Emang lo ngebacanya gimana bisa sampe salah?" aku kembali tertawa. Tapi yang lebih menggelikan adalah Erik. Seperti praduga Ziya mengenainya.

"Ya udahlah lupain," Kris memungut kembali sendok dan garpunya. Dia stres. "Pasti gara-gara basket, deh. Jadi ngeliat Erik udah kayak dapat hiburan aja pas gue ngira dia lagi mau ngedeketin lo." Katanya lagi tanpa jeda.

Aku menoleh. Mengerutkan dahi minta dijelaskan.

Kristina menarik napas panjang usai menyeruput kuah. Dia lalu mulai menerangkan.

"Gue tuh udah lumayan lama ya kenal sama Erik. Dia orangnya kayak lurus aja gitu kalau lagi suka sama cewek. Keliatan banget. Ya emang nggak sampe bikin dia goblok, sih. Itu bagusnya dia. Kalau lagi seneng, dia nggak keblinger."

Sepanjang itu ia berkata-kata, aku sama sekali tidak membayangkan bakal apa. Atau minimal, mencoba mempersiapkan diri bagaimana bersikap nantinya. Sungguh, bagaimana pun, dilihat dari sisi yang mana juga itu sama sekali tak perlu. Terlepas benar atau tidaknya, aku tidak perlu melakukan apa-apa.

Singkatnya, apa pun itu sama sekali tidak mengusikku. Bahkan aku tidak berpikir jika itu hanya cara kotor Erik untuk mencari tahu tentangku melalui Kristina. Ya, itu bisa saja. Sangat mungkin.

Tetapi tidak. Tak ada yang berhasil membuatku memikirkannya. Termasuk ingatan tentang Ziya kemarin. Tentang kata-katanya bahwa "anak kecil selalu berkata jujur". Sungguh, itu tak ada.

Mungkin saja aku yang bebal. Atau karena "sekumpulan lebah yang berdengung" telah memenuhi isi kepalaku. Sehingga tak menyisakan sedikit tempat pun bagi yang lain. Bisa jadi.

"Tapi masa lo nggak ngerasa sih, La? Gue lihatnya gitu tahu. Jelas banget," Kris menekan kata-katanya.

Aku menautkan alis. "Enggak sih gue nggak ngerasa apa-apa."

"Ah, bo'ong lo!"

Aku tertawa. "Ya gimana gue bisa bo'ong orang kenal aja baru."

Kristina menatapku. Jauh lebih serius dari sebelumnya. "Lala ... waktu bukan ukuran mutlak buat jadi suka sama seseorang. Kayak lo hidup di zaman dinosaurus aja yang kayak gituan enggak ngeh."

Aku mengangguk setuju. Lebih karena ogah berdebat dengannya.

"Terus?" Kris melanjutkan. Minta diterangkan maksud anggukkanku.

"Ya nggak terus-terus." Aku mengatur kata. "Lagian gini, ya. Yang lo liat kan Erik, bukan gue. Jadi keliru kalo lo nanyanya ke gue."

"Ya minimal lo ngerasa dikit gitu, kek?"

"Dih ngaco. Beneran enggak ada sumpah."

Kristina tertawa.

"Beneran nggak ada?"

Napasku rasanya berat. "Ya kalau sekadar nilai dia gimana ya ada. Erik baik anaknya. So far ... gimana detailnya ya lo tahu sendiri. Lo kan lebih lama kenal dia ketimbang gue."

Kristina tampak berpikir. "Ya bener juga, sih," katanya. Nada bicaranya dipenuhi sesal. "Justru kalau lo ngerasa dia lagi pedekate sama lo ... namanya elo yang kegeeran."

"Nah itu ... lagian kok bisa jauh banget gitu sih lo mikirnya?"

"Kan tadi gue udah bilang. Erik kalau lagi suka sama orang tuh keliatan banget. Dan ya ... kayaknya emang gue aja sih yang salah baca."

"Nah tuh, kenapa bisa sampai salah baca?"

Kristina mengangkat bahu. Sambil mengaduk kuah bakso dia menjawab, "Gara-gara basket, nih. Stres banget sumpah."

"Ya udah gimana ... ngapain kek biar stresnya ilang?"

"Gue butuh tidur."

"Oke. Kalo gitu ke UKS sekarang. Tidur di sana."

"Gue enggak sakit, La. Gue hanya mau tidur."

"Trus lo mau tidur di kelas? Habis ini matematika, kecuali lo cabut duluan, lo nggak bisa ngapa-ngapain selain kudu nyimak guru aja."

"Sayangnya gitu."

"Oke. Kalau gitu, pulang sekolah tidur ... sampe pagi juga boleh."

"Ya mana boleh. Harus ngerjain tugas esai lagi, kan?"

"Oh, iya itu."

Kristina tertawa lagi. Kecut. Alih-alih menghabiskan makanannya, dia kembali meletakkan sendok dan garpu. Lalu menjauhkan mangkuk dari jangkauannya.

Aku sendiri memilih menghabiskan makananku hanya demi menghindari jika Kristina harus membicarakan sesuatu yang tidak ingin ia bicarakan. Ya, tentu saja mengenai apa detailnya yang membuat ia merasa stres.

Sejujurnya, inilah yang semenjak tadi kulihat dari raut wajahnya. Basket. Namun, sampai ia mengeluarkannya sendiri, aku tak bisa membuatnya merasa lebih buruk dengan mencongkeli pintunya yang masih tertutup rapat.

Lagi pula, dengung lebah itu belum juga hilang. Aku tak tahu kapan akan hilang. Apakah bisa hilang?

Ya, anggap saja aku egois. Tetapi, aku tak memiliki cara lain. Sungguh. []

avataravatar
Next chapter