9 Sebuah Cerita dalam Tidur Singkat

Malamnya aku tak bisa tidur. Aku tak memikirkan apa-apa. Atau siapa-siapa. Dan justru karena itulah, mataku sulit terpejam walaupun aku sudah berusaha.

Mel membuat grup chat kelas yang baru dan dari sanalah, Erik kemudian mendapat nomorku. Melalui gambar profilku yang ternyata amat konyol. Lalu aku segera menggantinya dengan yang normal.

Yang membuatku bersyukur, Erik tidak mengajakku mengobrol lewat chat meskipun aku tak akan keberatan. Tapi ia hanya mengonfirmasi agar aku menyimpan nomornya. Aku menyimpannya tanpa keberatan sama sekali.

Lalu pintu kamarku di ketuk dan Ibu muncul membawa mok di kedua tangannya. Aroma teh jahe segera memenuhi ruangan kamarku. Ibu lalu duduk di tempat tidur di sebelahku.

"Ibu bikin teh jahe nih. Mau?"

Aku menghirup wanginya dalam-dalam. Lalu beringsut keluar dari dalam selimut dan duduk.

"Ibu tahu aku belum tidur?" kataku sembari mengambil mok di tangan Ibu. Aku meniup-niupnya sebentar sebelum kuhirup.

"Ya gimana ibu enggak tahu. Kamu kan kalau tidur sudah kayak masuk lubang hitam. Gelap gulita."

Aku menyengir menyadari betapa terangnya lampu kamarku. Sementara efek jahe segera menghangatiku.

"Eh, tapi ibu kok baru lihat Erik, ya. Anak pindahan?"

Aku tak mengerti bagaimana hubungannya atau, bagaimana itu bisa terhubung. Pada saat Ibu menyebut Erik, mendadak sosok Putra menyeruak ke dalam ingatanku. Berdiri tegap di sana dari yang tadinya muncul dari kepulan asap.

Aku menggeleng. "Bukan sih. Tapi kita emang baru sekelas ini."

"O pantesan." Ibu menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Ujung kulitnya yang sedikit kasar karena terlalu banyak bekerja menggesek kulitku. "Eh, tapi ibu merasa enggak asing sama dia. Kayak pernah lihat di mana gitu. Dia bukan artis, kan?"

Aku tertawa. Sejujurnya teman seangkatanku tidak ada yang menjadi seorang artis. Belum mungkin. Tetapi, jika kau memaknai artis bukan hanya sekadar bintang televisi, aku akan menemukan beberapa nama yang sama populernya dengan Josh dan Kristina. Orang-orang yang penampikannya seperti disinari lingkaran halo di atas kepala itu bergabung dengan agensi-agensi model. Pekerjaan mereka adalah memperagakan busana dan difoto. Sekali waktu, mereka juga dibayar mahal untuk pekerjaan iklan di televisi.

"Bukan, ya. Tapi cocok kok kalau jadi artis."

Aku menggeleng karena tak setuju dengan gagasan itu. Di kepalaku, Putra mencermati aku.

"Kenapa tertawa?"

"Karena ibu kedengaran kayak kolektor artis."

"Hmm, nggak juga ah. Nggak semua orang tampan mirip Aaron Kwok soalnya."

"Memang. Tapi ibu kedengarannya seperti berharap orang-orang jadi mirip Aaron Kwok-nya ibu."

Ibu tertawa. Sementara aku menghirup teh jaheku lagi dan lagi.

"Tapi si Erik ini memang nggak cuman kelihatannya anak baik-baik, kan?"

Aku mengangkat bahu. "Embuh," kataku. "Aku baru kenal siang tadi di kelas. Tapi kalau ukuran baiknya karena sudah mau nyuci piring yang dia pakai buat makan, ya dia baik."

Ibu memperhatikan aku. "Nyuci piring?"

Aku menghela napas dan berkata 'ya'.

"Kok bisa?"

"Ya karena dia baik," kataku.

"Masa sih? Kamu nyuruh kali."

Aku mengangkat bahu.

Ibu tersenyum. Lalu menggeleng. "Oke. Ini sudah malam. Tidur."

Ibu mengambil mok di tanganku lalu mematikan lampu. Setelah mengucapkan selamat tidur, ia berlalu dari kamarku. Kurasa, alasan Ibu menyudahi percakapannya karena ia belum siap mengenai cowok dalam obrolan kami. Yang mana aku sendiri berpikir mungkin tak akan pernah membahas soal itu dengannya. Sampai kapan pun. Tetapi apa pun alasannya, 'sudah malam' adalah alasan paling masuk akal.

*

Aku tak bisa tidur hingga dua jam lagi. Betapa pun aku berusaha, tak berhasil sama sekali. Aku mengecek ponsel berharap ada sesuatu yang dapat membantuku. Tetapi hasilnya nihil.

Dan, inilah alasannya. Bahkan sebelum kepulan asap di dalam kepalaku memadat membentuk sosoknya, Putralah yang membuatku sulit tidur. Dan sebagiannya lagi karena Erik.

Jelas ini konyol. Tapi aku tak bisa menafikannya. Berpura-pura tidak memikirkannya hanya membuat aku membenci diriku sendiri. Tetapi mengakuinya hanya membuatku merasa terhina.

Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Berharap cara terbaik ini betul-betul manjur setelah uji coba yang kesekian kalinya. Tubuhku seluruhnya tenggelam di bawah selimut. Dan kata-kata 'gelap-gulita' yang dikatakan Ibu sudah menjadi kondisi saat ini semenjak Ibu keluar dari kamarku.

Aku pernah membaca di sebuah situs di internet secara tidak sengaja, membayangkan dirimu berada di suatu tempat sepi akan membantumu menjadi lebih rileks. Ya, bukannya aku belum melakukannya. Sama seperti yang kulakukan tadi, berkali-kali yang gagal, aku membayangkan diriku berjalan di suatu tempat yang dipenuhi pohon rindang. Nuansanya berwarna hijau yang menyejukkan. Cuacanya hangat dengan semilir angin yang menyentuh kulit. Ada sungai kecil yang airnya mengalir jernih di samping jalan setapak yang kulalui.

Di dalam pikiranku, aku tidak sedang menuju ke mana-mana. Aku hanya sedang berjalan. Tanpa tujuan maupun gagasan. Aku hanya menginginkan diriku hanyut lebur dengan nuansa itu. Namun ketika aku melangkah sedikit lagi, aku bertemu sosok itu. Putra hadir di depanku bukan terbentuk dari kepulan asap yang memadat. Melainkan dari selarik cahaya matahari yang menembus celah atap dedaunan di atasku.

Di jarak lima langkah darinya, aku berhenti. Putra tersenyum. Pakaian yang dikenakannya serba putih dan ia tak memakai alas kaki. Kulitnya tak seputih biasanya. Atau yang kulihat biasanya hanyalah pantulan cahaya? Aku tak mau memutuskan. Lebih suka, aku tak memikirkan apa-apa dan membiarkannya terjadi begitu saja. Apa pun itu.

"Sendirian?" tanyanya.

Aku menarik napas. Lalu menjawab, "Ya."

Lalu aku kembali melangkah dan jarak kami tinggal kurang dari dua langkah saat aku berhenti.

Putra jelas jauh lebih tinggi dari aku yang cukup di 160 senti. Dia bahkan lebih tinggi dari Josh maupun Erik. Aku perlu sedikit mendongak untuk dapat menangkap wajahnya meski aku tak perlu sampai bersusah payah.

Angin di sekitar kami menguarkan aroma tubuhnya yang wangi parfum beraroma kayu. Ada tahi lalat kecil di leher sebelah kiri bagian bawah. Letaknya persis di atas tulang belikat. Itu terlihat jelas mengingat kerah bajunya berpotongan rendah.

Sedetik aku menatapnya, dapat kulihat warna matanya yang sehitam malam. Sorotnya teduh, seakan-akan menarikku untuk berlindung di bawahnya.

"Kamu sudah lama di sini?" kataku kemudian.

"Ya," ujarnya pendek.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

Putra tersenyum lagi. Ada jeda panjang yang membuat jawabannya seperti menggantung di antara desiran angin.

"Sesuatu yang seharusnya saya lakuin."

Sejujurnya, aku tak bisa terlalu lama menatap seseorang. Kurasa itu bukan keahlianku. Atau karena aku nyaris tak pernah melakukannya di sepanjang usia tujuh belasku. Tapi, dorongan untuk menatap Putra kali ini seperti tuntutan yang tak bisa kuhindari.

"Apa saya harus bilang selamat? Tapi saya nggak tahu kamu lagi ngapain."

"Kalau begitu cukup bilang selamat saja. Kamu tahu kan, kamu nggak perlu tahu apa spesifikasi pekerjaan seseorang hanya buat bilang selamat bekerja?"

Aku tertawa. Tapi sebagian paruku tiba-tiba rasanya membeku. Saat aku mencoba kembali melangkah, tatapan Putra menghentikanku.

"Sejujurnya, kalau kamu jalan lagi, kamu nggak akan tahu apa yang sedang saya lakukan."

Aku menggeleng. "Saya rasa saya nggak sepenasaran itu."

Putra tersenyum. Senyumannya memberi tahuku bahwa ia tahu aku berbohong. "Kalau begitu anggap saja ini sebagai ajakan. Karena saya nggak pinter ngasih penawaran."

Aku menatap matanya lagi. Berusaha menguraikan sesuatu yang ada di dalam sana. Jelas karena aku menerimanya dengan lapang dada meskipun aku tak tahu itu apa.

"Gimana kalau saya nolak?" kataku.

"Maka itu akan jadi hal yang sia-sia."

Rasa jengkel menguap dari dasar perutku. Aku ingin mengalihkan pandanganku, tetapi untuk kesekian kali, tatapannya menahanku. "Apa kamu nggak mau mengupayakannya biar terwujud?" kataku.

Putra menggeleng. "Saya bukan tipe orang seperti itu."

"Lalu orang seperti apa kamu ini?"

Putra menatapku lama. Dan tak ada jawaban sampai kemudian ia mengambil tanganku.

Dia membawaku ke sungai kecil itu. Menapaki jalan batu yang agak licin. Dari dekat, air sungainya terlihat lebih jernih. Alirannya deras dan tenang. Kami lalu berdiri tepat di tepiannya. Menapak batu-batu besar yang tampaknya sengaja diletakkan untuk itu.

Kami berdiri berhadapan. Jarak kami kurang dari satu siku. Tubuhku menggigil bukan karena dingin yang diam-diam merambat dengan cepat. Tetapi tatapan Putra yang kemudian tak bisa kupahami.

"Apa ini cukup sebagai upaya?" tanyanya.

Aku menggeleng ragu. Tak ada kata di dalam kepalaku yang sempat aku pikirkan. Tapi aku berusaha sekuat tenaga. Sehingga kata 'mungkin' mencuat lemah dari sela-sela bibirku yang mengeras.

"Sekarang biar saya tebak, kamu nyesel sudah datang ke mari."

Aku menggeleng lebih meyakinkan. "Tebakan kamu konyol." Ujarku.

Putra tertawa kecil. Melempar pandang ke sembarang tempat lalu mengembalikannya beberapa detik kemudian. Sementara itu, aku mengumpulkan keberanianku.

"Sekarang, beri tahu saya." Kataku menuntut.

"Saya nggak yakin kalau kamu cukup serius pingin tahu."

Kedua tanganku mengepal "Apa saya keliatan kayak lagi main-main?"

Putra tersenyum dipaksa. Dia menggeleng. "Bukan itu."

"Lalu."

Aku merasakan tatapannya semakin dalam. Kepalan tanganku menguat. Embusan angin mengusap kulit wajahku. Dan tepat pada saat itu, aku merasakan dorongan hangat yang tak bisa kuelak.

Perlahan aku memejamkan kedua mataku. Di kupingku, embusan angin membawa desis suara Putra yang kudengar seperti hela napas panjang.

Dia menyebut namaku satu kali. []

avataravatar
Next chapter