4 Perkenalan Singkat

Bunyi bel membubarkan pertandingan itu. Tapi yang betul-betul membuatnya bubar ialah suara pemberitahuan di belakang bel dari pengeras suara yang menekan dan diulang-ulang.

Suara itu menyebutkan jika pelajaran baru telah dimulai. Tak ada waktu luang di sekolah selain jam istirahat yang terbatas.

Selagi aku dan Kris berjalan ke kelas, aku dapat melihat Putra berada dalam jarak yang tidak terlalu jauh dariku. Dia di depan. Mungkin sepuluh atau lima belas meter dari kami. Dan nyaris sepanjang perjalanan itu, pandanganku tak henti tertuju pada kepalanya. Terkadang bagian punggungnya terlihat sama jelasnya dari kepala ketika secara kebetulan tak ada yang menghalangi pandanganku.

Udara seperti menyempit di sudut paru-paruku. Itu terjadi ketika menuju tangga, pada akhirnya porsi utuh Putra dapat kulihat dengan jelas. Tanpa halangan. Semuanya. Per inci. Bahkan dapat kucermati dengan seksama, rambut panjangnya yang bergelombang, tak berminyak bergerak-gerak diterpa angin.

Sejurus kemudian, ketika jarak kami tinggal beberapa langkah lagi, ini karena aku dan Kris berjalan tergesa mengejar waktu sementara ia malah seperti kebalikannya, aku merasa dapat menjangkaunya. Hanya saja, setelah beberapa detik lagi, aku tak tahu apa alasan di balik perasaanku.

Aku bahkan menyesalinya sepanjang perjalanan berikutnya. Dari dasar kepalaku muncul Kristina dengan lingkaran halo di kepalanya. Dia, tentu saja muncul untuk memberiku nasihat yang sama sekali tak ingin kudengar. Karena cowok itu sama sekali tak memiliki sopan santun. Mengabaikanku begitu saja. Sehingga, orang semacam itu tak perlu disesali.

Hanya saja, itu jelas tidak mungkin. Meskipun apa yang dipikirkan Kris di dalam kepalaku bisa jadi sesuatu yang benar. Bahkan tepat. Tetapi aku butuh alasan. Setidaknya karena aku sudah membiarkan diriku cukup dikenal dengan cara yang amat sederhana. Dan, ini akan menjadi tahun yang amat panjang apabila kami duduk bersama tapi dalam jarak yang tak bisa diukur. Karena jelas kebersamaan yang tidak seharusnya itu bisa dipercepat dengan keakraban. Meskipun itu sebuah artifisial. Sebuah topeng.

Begitu tiba di kelas, seseorang menduduki bangku Putra. Dan ia adalah cowok beralis tebal itu. Tapi begitu aku sampai di mejaku, duduk di kursiku, entah aku yang tak menyadarinya. Atau, aku yang kemudian diliputi perasaan jengkel tidak mau melihat bagaimana cowok itu pergi dan tangan pucat putih itulah yang kulihat pertama kali setelah beberapa saat.

Di depan, guru sudah masuk. Orangnya Agak Cerewet inilah guru itu. Wali kelas kami yang baru. Pak Rinto. Orangnya kurus dan botak dengan perut buncit yang membuatnya terlihat menyedihkan. Tapi seperti deskripsi Kris pagi tadi, bahkan kata-kata 'agak' dalam kalimat itu terdengar amat sopan.

Pak Rinto menyuruhku maju ke depan. Dia memintaku menjelaskan kenapa aku absen kemarin. Karena tak memiliki jawaban yang akan terdengar menyenangkan, aku berkata jujur.

Selama beberapa detik, Pak Rinto tampak terkesima dengan jawabanku. Karena itulah, setelah ia merasa selesai dan menyuruhku kembali duduk, aku tergerak untuk menanyakan kemungkinan pindah tempat. Tapi terlambat. Tampaknya tak ada yang tertarik dengan gagasanku, bahkan jika Kris berdua Josh membantuku membujuknya. Itu tidak akan mengubah apa pun.

Begitu aku kembali, Putra sedang berkutat dengan majalah lamanya lagi. Tadinya, aku tak akan menyesali keputusanku memiliki gagasan untuk mengusirnya dari tempat dudukku kalau aku tidak cukup tahu diri, mengingat ialah yang pasti lebih dulu duduk di sana. Tapi setelah aku duduk, sebuah keajaiban menjadikan kilauan cahaya yang dipantulkan kulit putih pucatnya itu tampak seperti sebuah berkah, Putra menoleh dan menarik senyumnya sedikit untukku.

Kupikir ada yang keliru. Atau terlihat keliru. Tapi Putra jelas-jelas menutup majalah lama itu yang sampulnya sudah penuh lipatan dan lecek. Yang bagian pinggirnya saja sudah digerigiti usia. Dia berkata pelan. Suaranya merdu. Aku nyaris tidak memercayai itu suaranya. "Nama saya Putra. Saputra Hadi."

Aku mengangguk. Lalu dengan ketenangan yang kubuat-buat, aku membalasnya. Ya, tidak, umm ... aku tidak membalasnya dengan menyebutkan namaku karena aku sudah 'memperkenalkan diri'. Bagaimana pun, aku menganggap upaya itu adalah sebuah perkenalan singkatku padanya. Jadi yang keluar dari mulutku adalah desisan pendek yang bunyinya 'ya'. Terdengar seperti suara orang yang sedang sekarat.

"Lala Paramitha. Nama kamu, kan?"

Aku ingin membalas. Bukan hanya dengan sekadar anggukan biasa. Melainkan sebuah kalimat yang dengan susah payah tengah kususun di dalam benakku. Tapi setelah mencoba, aku gagal melakukannya. Sementara di depan, Pak Rinto mengulang lagi penjabaran trigonometri yang membuat usahaku benar-benar menyedihkan.

Dan, setelah sedikit berusaha lagi. Akhirnya aku berhasil. Meskipun hasilnya masih sama menyedihkan. "Kamu dari kelas mana?" kataku, suaraku gagap.

"Kelas sebelah."

Aku menggeleng. Tak yakin. Bukan karena aku mengenal seluruh siswa seangkatan kami, tapi aku tak yakin bahwa itu jawaban yang ingin diucapkannya.

Namun begitu aku berusaha mencermati wajahnya. Memeras otakku hingga kering mencari-cari wajahnya dalam ingatanku karena barangkali aku pernah melihatnya. Tidak, bukan barangkali, tapi memang pernah melihatnya. Jelas, kami seangkatan. Karena kami satu sekolah. Tapi kosong. Wajah itu tak ada di sana. Dan aku tahu ini bukan kesalahannya apabila aku tak pernah melihatnya selama dua tahun ke belakang. Ini pasti karena kesalahanku. Kalau boleh ada yang harus bertanggung jawab di sini. Tentu saja, karena aku, nyaris tak memiliki waktu untuk mencermati siapa pun sebelumnya. Sungguh.

"Sekelas sama Mel?"

Putra memekik tawa kecil. Untungnya, itu adalah saat di mana Pak Rinto mulai melempar umpan yang membuat murid-murid yang lain saling sikut sambil meninjukan kepalannya ke udara. Sehingga pekikan tawa yang sama merdunya itu tersamarkan.

"Apakah itu artinya ya?" aku mendesak.

"Apakah ada pentingnya?" jawabnya santai.

Angin berembus lewat jendela dan menerpaku. Tapi hal itu tidak mengurungkan rasa jengkel yang menguap dari dasar dadaku.

"Saya rasa nggak ada. Tapi penting untuk menjawab."

"Ya, saya setuju," terdengar nada mencemooh dari kalimatnya. "Karena antar kita harus 'saling' ... begitu, kan?"

Aku tidak setuju karena itu artinya, kalimatnya berarti aku orang yang gila hormat. Karena itu aku menggeleng, berharap apa yang kulakukan dapat menyergahnya.

Aku ingin mengatakan kalimat panjang yang kususun dengan hati-hati itu. Kalimat yang menerangkan intensi dari ketidak-setujuanku. Tapi yang dapat kukatakan ialah kalimat pendek yang kedengarannya tidak memiliki makna apa-apa. "Bukan begitu," kataku.

"Ya," Putra menyahut sambil tersenyum. Senyuman yang membuatku merasa bodoh.

"Maksud saya," aku memaksa diri, dan berhasil. "Saling yang dimaksud di sini bukan artinya saya, untukku. Tapi kau, buatmu."

Putra mengangguk mengerti, sebelum kemudian mengalihkan perhatiannya lagi ke depan dan mulai mencatat.

Samar, aku mendengarnya mengucapkan sesuatu dengan amat lirih. Namun, karena aku tidak mendengar suara jelasnya sama sekali, aku menganggap kata-kata itu adalah sebuah kata 'ya'. Jadi aku terbebas dari rasa penasaran yang menekan.

Berikutnya, aku terdiam untuk jangka waktu yang amat lama. Putra sekali-sekali menolehku, berbicara padaku entah apa, tapi kemudian aku mengatakan 'ya' saja tanpa tahu intensi kejelasannya untuk menjawab apa.

Lebih lanjut, sambil mencatat hasil yang diterangkan guru, aku memikirkan percakapan dan perkenalan singkat ini sebagai omong kosong. Aku bukannya tidak menghargai Putra. Sama sekali tidak karena pikiran baikku masih berpihak pada kemungkinan bahwa suatu saat aku akan membutuhkannya. Bisa jadi juga amat sangat membutuhkannya. Sehingga bukan hal yang dibenarkan apabila aku bersikap buruk padanya. Walaupun ia tak akan tahu karena aku menyamarkannya dengan begitu sempurna. Tetapi tetap saja.

Sementara pada saat sesi hari ini akhirnya berakhir, aku memaki diriku sendiri sambil menuntut, perkenalan macam apa ini! []

avataravatar
Next chapter