5 Penyesalan Kedua

Kristina memintaku menemaninya sebentar ke ruang guru menemui Pak Abadi. Dia mendatangi aku manakala aku tengah sibuk berpikir, apakah harus mengatakan sesuatu pada Putra atau tidak. Atau sebaliknya, Putralah yang seharusnya mengatakan sesuatu padaku. Alih-alih, dia lebih cepat berdiri daripada yang lain sebelum aku selesai berpikir kemudian melesat anggun keluar kelas.

Pada saat aku dan Kristina berjalan ke sana, Josh turut di belakang.

Josh bisa saja mencereweti kami. Tapi terkadang pertanyaan atau pernyataan yang keluar dari mulutnya amat mudah menggoyahkan minat. Jadi, selain karena ia cukup sadar diri, dan ia terlampau malas mengurusi urusan orang lain, dia pun berkeras menahan godaan itu. Walaupun tidak jarang itu tidak berhasil juga.

"Udah bikin keputusan? Cepet banget." Kataku.

Kris menggeleng. Udara melengas di atas kepalaku.

"Sebetulnya belum. Tapi gue butuh kepastian. Atau dorongan." Ujar Kris menjawab. "Sejauh ini Pak Abadi ngomong bukan di tempat yang seharusnya buat ngomongin kerjaan. Yang gue butuh itu rekrutmen. Bukan proposal. Itu beda makna. Yang satu profesional. Sedangkan yang lain, diberikan buat mereka yang kualitasnya masih ragu-ragu."

Jelasnya, tak pernah ada yang meragukan Kristina. Sehingga kata-kata yang sebetulnya penuh dengan kesombongan itu hanya akan terlihat sebagai ucapan rasa percaya diri yang diikuti kehendak agar kata-katanya tidak diciderai.

"Lebih jelas," Kris masih melanjutkan. Saat itu kami sudah hampir tiba di ruang guru. "... penawaran adalah setengah umpan, diberikan sama lo karena si penawar memiliki cadangan yang sama baiknya dengan lo. Bukan hanya satu cadangan. Tapi ada beberapa. Sementara rekrutmen adalah umpan tunggal. Artinya, lo pilihan satu-satunya."

Kris membolehkan aku atau Josh ikut masuk. Karena kalau ingin tahu, kami bisa dengar sendiri. Tapi Josh menolak. Dia bahkan tidak mengatakan apa-apa, atau menggeleng. Melainkan menyingkir sejauh beberapa meter ke sebuah lorong yang menghubungkan ruang guru dengan ruang tata usaha.

Di situ, Josh memasang earphone, lalu mulai bicara. Entah dengan siapa.

Aku sendiri memutuskan diam di sana. Di depan ruang guru yang kosong dan lengang. Dipenuhi udara panas dan angin yang berkesiur. Jika kuperhatikan, tempat ini tidak terlalu buruk. Bahkan setelah menyadarinya, aku merasa sedikit menyesal karena jarang memperhatikan sesuatu di sekitarku. Padahal, ini adalah tempat yang bisa jadi akan kurindukan kelak. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Atau, selamanya di antara perjalanan usiaku yang entah akan beracara seperti apa.

"Gue nunggu di sini," kataku. Kris mengangguk lalu dia masuk.

Sementara menunggu, aku duduk di pagar pembatas yang memiliki fungsi ganda. Pagar beton itu setinggi tidak lebih dari satu setengah meter dengan lebar sekitar dua puluh senti. Aku duduk menyandar pada salah satu pilar penyangga plafon di atasnya.

Menghirup udara, aku mulai menikmati suasana itu seakan-akan aku telah kehilangan banyak waktu kalau tidak telah menyia-nyiakannya.

Lalu dari pintu yang sama telah menelan Kristina tak berapa waktu tadi, Putra muncul dengan warna putih pucat yang lebih dominan. Atau, barangkali ia memang lebih putih, lebih pucat dari yang kukira.

Sapuan angin membuat rambut tanpa minyaknya bergerak-gerak. Caranya berjalan dengan tubuh ramping itu membuatku merasa hidup ini tak begitu adil. Bagaimana tidak. Setelah Josh dan Kristina merenggut semua kesempurnaan dan nyaris tak menyisakan apa-apa bagi yang lain. Sekarang, dengan tampilan kuno yang apabila aku memiliki sedikit saja pemikiran jahat, maka aku akan menertawainya habis-habisan, tapi tentu saja tidak karena aku tidak jahat, tak punya cukup nyali lebih tepatnya, hadir di depanku satu sosok yang membingungkanku teramat sangat. Yang membuatku ingin memaki diriku sendiri karena tak bisa mengenyahkannya secepat ia sanggup menghantuiku.

"Belum pulang?" sapanya. Putra berdiri di depanku. Jarak kami sekitar satu meter.

"Lagi nunggu temen sih," aku menyahut sembari menegakkan tubuhku.

"Kristina lagi ngomong sama Pak Abadi di dalam. Sepertinya lama."

Dadaku mencelos. Satu kejutan nyaris membuatku terlonjak. Tubuhku menggigil. Putra mengenali Kristina. Oh!

"Ya. Dia mau gabung klub basket." Suaraku nyaris sepenuhnya menempel di kerongkongkan hingga membuatnya lecet.

"Kamu nggak ikutan?"

Aku menggeleng. Suara merdu itu terdengar mengejek. Tapi aku tak mempersoalkan apa pun.

"... kalau dia beneran gabung, tim basket sekolah kita bakal makin kuat. Saya dengar tiga bulan lagi ada tanding antar sekolah."

Kalau ini adalah kejutan, kurasa ini adalah guncangan yang menarik kesadaranku dari banyak tempat. Dua tahun pastinya hanya angka yang lewat begitu saja di depanku. Dan aku keliru tentang telah 'kehilangan atau menyia-nyiakan' waktuku di sini. Yang tepat adalah aku benar-benar melewatkannya dengan sengaja. Sehingga hukuman yang pantas adalah rasa bersalah yang apakah akan ada ujungnya atau tidak. Tapi pertama-tama, yang harus kulakukan adalah berterima kasih pada cowok di depanku ini.

"Kamu ikut tanding juga?"

Putra menggeleng. Senyumannya yang timbul memberikan sedikit rona pada wajahnya. Dan itu, membuatnya sedikit agak terlihat wajar. Maksudku, kesempurnaan itu tidak perlu disesali siapa pun. Seharusnya.

"... terus? Sorry, tapi tadi kamu paling cepet keluar, dan tahu-tahu ada di sini."

Senyuman Putra menjadi tawa ringan yang menyenangkan.

"Oh, ya, Kristina bukan satu-satunya siswa yang punya urusan dengan guru."

Aku mengangguk. Sesuatu mengganjal di kepalaku. Tapi aku memilih mengabaikannya. Itu karena aku tak mau menambah beban pikiran yang tak seharusnya. Memenuh-menuhi kepala hanya akan membuat hidupmu berjalan lebih lamban dari seharusnya. Itu kata Ibuku. Nasihat yang katanya diberikan mendiang Kakek pada Ibu sebelum beliau wafat tiga tahun lalu.

"Dengan kata lain, kamu juga orang rekrutan?"

Kedua alis Putra bertaut. Selama beberapa detik ia menatapku. Mencari kejelasan. Dan pandangan menuntut itulah yang kemudian menuntunku memberikan keterangan padanya sambil berharap ia tak akan menganggap cara berpikir Kristina kekanak-kanakan.

"Yah," aku melanjutkan. "Jadi, Kristina lebih suka ajakan Pak Abadi masuk tim basket adalah sebuah perekrutan. Itu membuat kesan profesional yang memberikan semangat lebih kuat. Umm, kamu pasti tahu maksud saya."

Tapi kemudian Putra membalasku dengan senyumannya yang mulai kusadari betapa amat memikatnya. "Enggak juga." Ya kata-kata itu sedikit mengecewakan. Sehingga ia kemudian meralat. "Tapi saya setuju. Ajakan sebagai perekrutan memberikan dorongan yang paling tepat."

Aku tersenyum. Dadaku rasanya lega.

"Jadi, kamu direkrut buat apa?"

Putra menggeleng. Bukannya ia tak mau memberikan jawaban. Tetapi, memberikan jeda yang lumayan lama. Membiarkan udara kembali melengas di atasku.

"Bu Isna ingin saya masuk tim Olimpiade Kimia. Gagasan itu sudah lama. Tapi seperti Kristina, saya juga mengulur waktu. Lebih banyak waktu untuk berpikir lebih tepatnya."

Aku menghela napas. Lalu menyahut. "Sebelum hari ini, Kristina nggak mau masuk klub basket karena dianya nggak mau."

"Hanya karena nggak mau?" Putra menekan kata-katanya.

Aku mengangguk. "Lalu pikirannya berubah. Dan kamu, apa yang bikin kamu mengulur waktu?"

Putra tampak berpikir. Tapi jawabannya kemudian entah mengapa rasanya memuaskanku. "Saya nggak yakin sama diri saya sendiri. Tapi setelah mendengar alasan Kristina, saya rasa saya salah selama ini, saya belum memutuskan karena saya nggak mau ikut olimpiade."

"Tapi kalau boleh tahu, tadi ngomong sama Bu Isna ..."

"Kami membicarakan lagi soal perekrutan itu dan saya belum memberikan keputusan sama sekali," Putra memotong di bagian yang tepat sehingga aku tidak merasa marah atau semacamnya karena sikapnya. "Olimpiadenya masih lama. Akhir bulan Desember nanti. Tapi buat saya, waktu beberapa bulan yang tersisa terlampau pendek."

Bagian dasar perutku bergolak. Aku sedang memikirkan sesuatu, mendadak semuanya terasa berat, jadi memikirkannya terlampau sulit. Terlebih, aku tak tahu hendak memikirkan apa.

Tapi Putra membantuku. Dia memberikanku senyuman lagi, yang tak bisa kutolak sekaligus tak bisa kusesali sebelum akhirnya ia berpamitan.

"Oke. Sampai besok. Kalau begitu."

Inilah bagian yang kemudian paling kusesali. Satu lagi, hal-hal yang semestinya terjadi menggelincir begitu saja tanpa aku bisa menahannya karena aku terlalu payah. []

avataravatar
Next chapter