12 Mitos

Sambil menyimak penjelasan dari guru, aku memikirkan bagaimana caranya untuk menjalankan rencanaku. Ada banyak cara karena "berdebat" dengannya, kurasa adalah hal yang mudah. Tetapi setelah memperhitungkan tujuannya, aku mengurungkan niat itu. Karena kupikir, Sensor Kepekaan itu, yang dimilikinya, barangkali memang bekerja sama baiknya dengan pendengarannya atau alat inderanya yang lain. Hanya saja, bisa jadi ia tak mau menggunakannya padaku. Ch.

Guru menerangkan Narrative Text sepanjang lima belas menit pertama dari empat puluh menit durasi pelajaran. Lima belas menit kedua, ia memberi kami tugas menulis cerita sepanjang setengah halaman buku tulis. Kemudian di lima belas menit terakhir, kami diminta mendiskusikannya dengan teman sebangku.

Dari sekian jenis contohnya, aku hampir menggunakan tema Slice of Life. Kupikir itu akan bisa kugunakan untuk menyindirnya. Tetapi, bahkan sebelum aku berhasil menyelesaikan kalimat pertamaku, aku merasa bahwa seharusnya aku dapat mengendalikan diriku dari tindakan kekanakan, yang belum tentu dapat dipahami olehnya. Sehingga yang kupilih kemudian adalah mitos yang lebih dekat ke folklore. Karena "Pengalaman Pribadi" jelas sama halnya adalah sebuah deklarasi mengenai jati diriku seperti halnya "Potongan bagian Hidup-ku".

Dan, ya, mitos jelas lebih mudah. Tanpa hambatan, termasuk bahwa aku tak takut sama sekali seandainya ia akan menertawai tulisanku.

Di tengah-tengah aku menulis, Putra menggeser buku tulisnya padaku.

"Saya sudah selesai," katanya.

Aku menghela napas. Rasa jengkel yang amat pahit menguap dari dasar perutku.

Cepat, aku menoleh padanya. Yang entah dari wajah putih pucat menjengkelkannya itu, muncul sebuah garis senyuman yang disengaja atau tidak.

"Saya belum," kataku ketus, seraya mengembalikan pandangan dan fokusku ke buku tulis. "Apa nggak diperiksa lagi? Waktunya masih lama."

Putra menggeleng. Garis senyuman di wajahnya menjelas. "Saya yakin pekerjaan saya seratus persen beres. Walaupun hasilnya dapat nilai setengah pun ya saya nggak tahu."

Aku berhenti menulis, sebentar. Menoleh lagi memberikan pandangan menyipit.

"Kepedean," aku menggumam.

"Ya," ucapnya dan ia tak henti-hentinya tersenyum. "Oke. Waktunya enggak lama. Saya bakal nunggu."

Dia lalu mengambil majalahnya lagi dan mulai menenggelamkan diri di sana. Di sisa waktu yang menurutnya tak banyak namun ia gunakan sebisanya untuk mengejekku.

Tetapi ia kecele. Kurasa dia membuat kesalahan besar. Karena dorongan semacam itu, yang dilontarkannya melalui "ejekan" jeleknya, adalah penyemangat yang membuat tenaga dan pikiranku sanggup bekerja lebih cepat.

Sehingga di sisa waktu dua menit, tugasku selesai. Aku menggeser bukuku dan menarik bukunya ke depanku. Sambil tersenyum, Putra lalu menyimpan majalahnya ke dalam laci dan mulai membaca tulisanku.

Sejenak, aku terkesiap menatap tulisannya yang model tegak bersambung, amat rapi. Yang membuatku hampir memohon ampun padanya karena telah mengolok-olok penampilan kunonya. Well, bagaimana pun, jenis tulisan tegak bersambungnya adalah sebuah representasi dari kepribadian yang tak bisa dianggap main-main. Terkecuali jika aku menganggapnya berlebihan. Ch!

"Apa mereka selalu begitu?" katanya di tengah-tengah kami membaca.

Aku menoleh. Kedua alisku bertaut. "Mereka?"

Putra tertawa. "Mereka. Kristina dan Joshua."

"Ya. Tapi apa kamu menguping?"

"Enggak," dia menggeleng. "Lebih tepatnya mendengar semua huru-hara di sana barusan dengan amat jelas dan tidak sengaja."

Ya, itu alasan yang tepat. Walaupun rasanya ganjil. Tapi tetap saja aku mengangguk.

"Kamu sendiri. Apa kamu punya lawan buat diajak berantem?"

"Enggak juga. Lagian, kita nggak harus selalu mengalami hal serupa seperti orang lain, kan?"

Dia mulai membuatku linglung lagi.

"Dalam skala berbeda pasti pernah," kataku.

"Apa misalnya?" dia menantangku.

"Kamu ... pasti pernah ngambil buah dari pohon milik tetangga tapi nggak pake permisi."

"Ya. Tentu saja pernah. Tetapi itu kan hal paling ... katakanlah, 'dasar' dilakukan anak-anak. Siapa pun," dia menatapku. Sejenak aku menikmati tatapan itu seperti halnya aku mengagumi tulisan tangannya.

"... yang saya maksud adalah, sesuatu yang terjadi ketika kita sudah bisa mengontrol diri," Putra melanjutkan.

Aku menelan ludah. Entah sudah berapa kali kulakukan semenjak tadi. Rahangku mengatup. Oh, ini maksudnya, aku mendesah dalam hati.

"Suka sama seseorang ... misalnya?"

Putra tertawa agak lama. Ia mengejek aku lagi.

"Ya itu bisa jadi contoh. Walaupun masih jauh dari kata tepat."

"Lalu ... apa tepatnya?" aku menuntut.

Putra memandangku. Tertawa hanya untuk mengejekku, lagi. Kemudian menggeleng.

Terdengar suara dari depan. Guru meminta kami membuat resume tulisan dari teman kami dan dikumpulkan paling lambat pukul satu dini hari malam nanti. Kami harus mengumpulkannya lewat surel. Kata-kata itulah yang kemudian membantunya tidak memberiku jawaban. Menghindar, mungkin lebih tepatnya. Karena setelah agak lama, dan ia menyimpan buku tulisku dalam tasnya, adalah hal terakhir interaksi kami sebelum akhirnya bel berbunyi dan ia beranjak pergi meninggalkanku.

Rasa kecewaku tak bisa kututup-tutupi. Bahkan aku tak berusaha menyembunyikannya sama sekali. Tetapi, dengan kepergiannya yang seolah-olah tanpa rasa peduli, itu membuatku merasa tidak memiliki hak untuk menuntutnya. Meskipun apa yang dilakukannya jelas mencideraiku.

Dengan jengkel, aku memasukkan bukunya ke dalam tasku. Kristin menghampiriku, dia berdiri di sebelah mejaku selagi aku mengemas barang-barangku. Sementara Josh dan Erik, keduanya berjalan ke depan tanpa memperhatikan kami.

Kristina memandangiku. Mungkin kasihan. Atau bertanya-tanya. Aku memutuskan tidak keberatan jika ia memintaku membicarakannya. Sesuatu yang barangkali ingin ia ketahui. Namun, sampai kami berjalan di tangga menuju ke lantai bawah, ia bahkan tidak mengatakan apa-apa selain mengeluh tulisan Josh mirip cakar ayam.

"Pasti sulit ngerjainnya," katanya. Aku hanya menyengir. Kurasa itu teramat kejam. Hanya saja, pasti dia juga akan memahamiku. Walaupun, apa yang bisa dipahami dari energi pasif yang tidak membuat gerakan apa-apa.

Sebaliknya, di ujung lorong sebelum halaman menuju tempat parkir, aku merasa perlu ke toilet. 'Bersentuhan' dengan air barang sebentar.

Jadi, aku memutuskan pergi ke sana. Menyuruh Kristina lebih dulu pergi menemui Josh di parkiran.

"Kalau lebih dari lima menit, tinggal saja. Gue bisa naik ojol," kataku.

Kristina memandangku, "Serius?"

"Ya." Kataku. Lalu kami berpisah.

*

Di lorong berikutnya, yang akan membawaku menuju ke toilet, aku membuka tasku dan mengambil buku milik Putra.

Ya, mungkin perlu kuterangkan juga jika bukunya model panjang dengan sampul cokelat yang indentik. Ada nama Putra di halaman sampul yang ditulis dengan posisi vertikal. Tulisannya hampir memenuhi halaman sampul itu sendiri.

Tentu saja buku itu belum banyak ditulisi. Bahkan halaman paling depannya hanya terisi setengah tulisan tegak bersambung yang amat rapi itu dan harus kuulas sesegera mungkin.

Dan, ya, aku tak memiliki gagasan membacanya sekarang juga. Malah, aku tak mengerti alasanku melakukannya.

Karena itulah, aku memutuskan mengantonginya lagi ke dalam tas. Lalu kubiarkan rasa marahku berkecamuk di dalam dada.

Tak lama, ketika melintas di depan perpustakaan, yang jaraknya hanya perlu melewati satu gedung lagi sebelum toilet, aku berpapasan dengannya.

Entah ini kutukan atau karma, karena aku menolaknya sebagai suatu kebetulan semata. Ya, Putra keluar dari sana. Dari gedung perpustakaan. Membawa satu majalah sekolah lama lagi yang ia gulung di tangan kanannya.

Dan sejujurnya, ini hanya harapanku. Namun saat ia masih sama tidak pedulinya dengan beberapa saat lalu, ketika ia pergi meninggalkanku begitu saja, pada akhirnya aku juga merasa bahwa aku pun pantas diperlakukan dengan layak.

"Hei," sapanya. Sebisa mungkin, aku membalasnya tersenyum. "Mau ke perpus, ya? Kalau ya, sayang sekali. Sudah tutup soalnya."

Aku menggeleng. Sesegera mungkin kuubah niat dari tujuanku.

"Saya mau ke kantin, kali saja masih buka," kataku. Lalu kubiarkan ia menjejeri langkahku. Tak peduli apakah ia berpikir bahwa aku membutuhkan teman sehingga sikap martirnya muncul dan mendorongnya untuk menemaniku. Atau, tempat tujuan baruku itu pulalah yang menjadi tujuan berikutnya.

"Kalau kantin sih kayaknya masih buka. Bakal ada anak ekskul juga, kan?"

Aku mengangguk. Mencari-cari gagasan.

"Kalau boleh," aku memohon. Gagasan yang muncul di kepalaku ialah bahwa aku masih memiliki rasa ketertarikan untuk mengetahui kelanjutan percakapan kami yang terpotong di kelas tadi. "... kirimi saya ulasan yang kamu bikin dari tulisanku."

Putra mengangguk. Tanpa beban.

"Boleh," ujarnya. "Nanti kirimi saya juga."

"Ya. Itu pasti." Aku merasa gugup. "Tapi kamu harus tahu email saya lebih dulu."

Kami berhenti dan saling tatap. Seraya tersenyum, Putra membuka tas dan memungut sebuah buku serta pena. Lalu memberikannya padaku.

"Kamu bisa tulis alamat email kamu di situ," ujarnya.

Aku mengambil buku dan penanya. Lalu kutulis alamat email-ku. Begitu sudah, kukembalikan segera dan kami berjalan lagi.

"Trim's."

Aku menggeleng. Tak mengerti apa yang harus dia terima kasihi.

"Kalau boleh juga ... saya mau ngomongin tulisan kamu," katanya kemudian.

"Boleh," kataku bimbang. "Tapi, pertama-tama, sebetulnya kamu nggak perlu minta izin seperti itu. Ngomong saja kalau kamu memang perlu ngomong."

"Harus," katanya tegas.

Aku menoleh. Menatapnya menuntut dijelaskan. "Kenapa harus?"

"Karena itu bakal bikin kamu hanya fokus pada saya selama saya berbicara."

Untuk sesaat, aku merasa dadaku teramat sesak. Ia bahkan seperti tidak memikirkan terlebih dulu mau bicara apa. Seakan-akan kalimat itu sudah ada di luar kepalanya.

"Bukannya saya selalu hanya fokus ke kamu kalau kita lagi bicara, ya? Lagian ... kita juga belum sering bicara."

"Ya," katanya. Aku menoleh, lagi, dan mendapati senyum cemerlang dari kulit putihnya yang membuatku mulai terbiasa dengan "gangguan" itu.

"Tapi maksud saya adalah ... kayak saya lagi bertamu ke rumahmu ... nggak mungkin kan saya asal nyelonong, walaupun kamunya ada, saya tetep harus minta izin lebih dulu," lanjutnya.

Aku hampir menertawakan kekonyolanku karena menganggap perilakunya telah tercermin dari penampilan kunonya. Namun, begitu aku sadar bahwa anggapan itu tidak keliru-keliru amat. Sehingga tanpa adanya rasa malu, aku mulai mengagumi sesuatu dalam dirinya itu. Meskipun rasanya ganjil.

"Ya, kamu memang harus," kataku kemudian. Putra tersenyum lagi. Senyumannya menawan dan sedikit agak kekanak-kanakan.

"... so, jadi gimana tulisan saya?" kataku melanjutkan.

Dia menoleh sebelum bicara. "Pertama-tama, saya mau bilang kalau saya bukannya mau kasih nilai. Tetapi, saya ingin membicarakannya. Err ... kamu tahu maksud saya, kan?"

"Ya," aku tak sabar. Bukan karena ingin tahu kualitas tulisanku, tetapi karena mendengarkannya berbicara, harus kuakui pula, mulai terasa menyenangkan.

"Yang kamu tulis soal mitos enggak boleh gunting kuku di malam hari, itu sudah lama sekali saya nggak pernah denger lagi."

Dadaku mencelus. Ada rasa kecewa meletup-letup di sana. Tapi tidak juga membuatku patah arang.

"Seberapa lama?"

"Sangat lama."

"Hitungan tahun?"

Putra seperti sedang menghitung dan bukannya mengulur waktu seperti biasa. "Sepuluh. Sebelas tahun."

Aku menarik napas. "Sebelas tahun lalu, saat terakhir kamu mendengarnya ... seperti apa kalimatnya?"

"Ya ... seperti kata-kata yang kamu dengar dari mitos yang umum."

"Saya butuh yang spesifik."

Kami berhenti lagi. Ia menatapku, sementara aku tak berencana menghindarinya.

"Jangan duduk di depan pintu. Jangan melempar sampah lewat jendela," Putra tersenyum samar. "Jangan memakai payung atau topi di dalam rumah. Jangan mengetuk pintu dari dalam."

Aku tertawa. "Ya, saya banyak mendengar hal-hal semacam itu juga. Soalnya kita memang hidup berdampingan dengan mitos."

Putra tertawa, "Atau jangan-jangan hidup ini juga sebenernya cuman mitos."

"Ya. Bisa jadi."

"Bisa jadi," ia mengulang kalimatku. "Artinya bisa ya dan juga bisa tidak."

Udara di dadaku terasa panas. "Karena nggak seorang pun dari kita bisa memastikannya, kan?"

"Ya. Saya sependapat. Seperti itu lebih kurangnya. Itulah kenapa di sebut mitos. Sesuatu yang abu-abu. Yang meskipun begitu, kita seakan dipaksa untuk berada di sekitarnya juga. Atau sebaliknya."

"Sebaliknya ... umm, berarti bisa dikatakan seperti ini: bahwa bukan nggak mungkin ... justru malah kitalah "mitos" bagi sesuatu yang kita sendiri menyebutnya "mitos"?" aku menahan napas, tak yakin dengan isi kepalaku terkait pembahasan rumit ini. Dan ya sungguh, aku nyaris menyerah.

"Seperti kitalah "alien" bagi mahluk luar angkasa lain? Yang ya ... kalau mereka betul-betul ada sih. Sebangsa Thanos mungkin."

"Ya. Seperti kitalah predatornya dari yang kita anggap musuh." []

avataravatar
Next chapter