18 Kesempatan Kemungkinan

Erik mendatangi mejaku setelah bel istirahat berhenti berbunyi. Dia tidak sendirian. Josh bersamanya. Sementara Putra, ya, dia pergi lebih cepat setelah mengeluarkan setumpuk majalah lama dari dalam tas dan memberi tahu aku hendak mengembalikannya ke perpustakaan.

Josh menatapku. Tersenyum bodoh dan berkata, "Sepi juga nggak ada si Kris. Tapi yang paling ngerasa kesepian pasti lo. Ngaku deh."

Aku mengangkat bahu.

"Pastinya," kataku.

Josh tertawa selagi aku bangkit. Lalu, di hampir separuh perjalanan menuju kantin, kami mendebatkan sesuatu yang tidak begitu penting.

"Soto Mang Usman seger, nih," kata Josh.

"Enakan mi ayam tanpa kuahnya Mbak Yanti," kataku.

"Mi ayam tanpa kuah is mi goreng," cetus Erik. Aku tak begitu maksud apakah kalimatnya sebuah pertanyaan atau pernyataan.

"Enggak ih. Mi ayam tetep mi ayam," kataku. Nada bicaraku terdengar konyol. Karenanya Josh tertawa. Lagi. Dan lebih keras dari sebelumnya.

"Iya tapi non-kuah adalah bentuk lain dari mi goreng," kata Erik.

"Tetep beda, ah. Mi ayam mau dibikin dengan cara gimana juga kalau bentuk dan kondimennya masih sama ya tetep mi ayam."

"Tapi kalau disajikan tanpa kuah, at least, buat gue itu adalah mi goreng dengan varian rasa mi ayam. Setuju?"

Aku menggeleng. "Nope," kataku. Erik tertawa.

"WHY?"

Yeps. Sebetulnya aku setuju. Tapi, no way! "Mi ayam tetep mi ayam. No debate."

"Yes we did." Erik tertawa.

"Ribet amat sih," Josh menyela. Pada akhirnya. "Mau mi ayam, mau digoreng tetep aja bikinnya pake direbus dulu. Mi kerupuk noh ... the real mi goreng."

"Terus menurut lo apa yang bikin mi goreng disebut mi goreng padahal bikinnya enggak digoreng?"

Kata-kata Erik membuat aku teringat dengan sikapnya yang kemarin. Sungguh, itu membuatku merasa khawatir. Seharusnya memang tidak. Dan aku juga tak mau. Hanya saja, bagaimana aku bisa menghentikan diriku? Aku tak bisa memutuskan apakah itu keliru atau tidak keliru. Rasa khawatir itu. Yang jelas, ketika mendengarnya berbicara, aku merasa seperti akan berhadapan dengannya dalam versi "membingungkan" yang kedua kali.

"Ya karena orang pengen nyebutnya aja mi goreng," kata Josh.

"Jadi kalau mi ayam nggak pake kuah bisa juga dong disebut another variant of mi goreng?" aku menekan kalimatku hingga membuat Josh tampak tersudut.

"Suka-suka orang aja, sih," kata Josh. Ia terdengar seperti orang linglung.

"Nah, ini gue setuju." Erik menolehku. "Suka-suka orang aja." Erik menekan kata.

"Yaps, nggak ada yang ngelarang, sih," kataku.

Erik tertawa. "Tapi lo dilarang tegang gitu, by the way," dia menunjuk wajahku dengan dagu.

Aku tak membalas. Kurasa tak harus. Lebih tepatnya karena aku tak mau membahas soal itu. Aku takut jika dugaanku benar, maka sesuatu yang dilihat Erik di wajahku merupakan sesuatu yang berhubungan dengan rasa khawatir yang belum juga lenyap. Aku tak mau menjadi sentimentil dengan siapa pun. Sejujurnya begitu. Sungguh.

Di kantin, kami memesan makanan yang barusan kami perderbatkan. Mi ayam tanpa kuah, mi ayam dengan kuah, dan soto penuh kuah yang diidam-idamkan Josh. Meskipun ini belum masuk jam makan siang, dan bahkan baru pukul sepuluh lewat, tak ada yang bisa menghentikan siapa pun untuk memesan makanan berat. Tak ada aturan khusus. Ya, itu. Sama sekali bebas dari aturan baku.

Perlahan, rasa khawatir itu pun lenyap dengan tanpa kusadari. Mi yang membuat kami berdebat bahkan seperti lewat tanpa permisi. Kami makan dengan tanpa membahasnya sama sekali. Kurasa karena Erik sengaja tidak mau menyinggungnya juga. Dan Josh, dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia bertanya-tanya dan memberikan spekulasi terkait pertandingan Kris.

Josh berkata bahwa ia sama tidak yakinnya dengan Kris. Dan berhubung ini pertandingan perdana bagi seorang calon atlet yang kelewat jual mahal, Kris sudah dipastikan hanya sedang menyulitkan dirinya sendiri. Terkecuali ia memiliki keahlian membaur yang cukup oke.

Aku berkata bahwa ia cukup oke saat membaur dengan anggota klub.

"Ya, kita liat aja ntar," kata Josh skeptis.

*

Kami tidak langsung kembali ke kelas setelah selesai makan. Josh mengajak kami duduk-duduk di sekitar kantin. Rupanya, dia masih ingin membicarakan Kristina. Josh memulainya dengan mengungkit kata-kata terakhirku yang mengatakan bahwa Kris cukup baik dalam membaur dengan geng barunya. Dia bertanya-tanya seolah itu bukan hal yang nyata.

Sejujurnya, aku sama ragunya dengan Josh. Akan tetapi, aku tak membiarkan rasa ragu itu menguasaiku. Sebab, itu pasti akan mengurangi penilaian terhadap sahabatku sendiri.

"Gue jadi pengen nelepon dia," kata Josh.

"Ya just go a head ... kalo lo sepenasaran itu," kataku.

Josh sangat bersungguh-sungguh rupanya. Dia mengambil ponselnya di kantung celana dan mulai menelepon.

"Nggak diangkat," katanya setelah beberapa saat.

"Nggak nyambung apa nggak diangkat?" kata Erik.

"Nggak diangkat," jawab Josh dengan nada muram yang membuatku bertanya-tanya apa maknanya itu.

"Masih tanding kali," kataku.

Josh menggeleng. "Nope. Tandingnya udah selese dari sejam lalu kata temen gue."

"Kapan lo nanya temen lo?" kataku.

"Pas lagi makan tadi."

"Jadi lo beneran penasaran?" aku dan Erik saling bertukar pandang.

"Ya karena gue enggak bo'ongan penasarannya," ujar Josh.

Aku menghela napas. Josh tampak mulai menghubungi Kris lagi. Atau, barangkali ia menghubungi temannya di SMA Pelita untuk kembali memastikan.

Dia lalu menjauh ketika teleponnya tampak tersambung. Aku memperhatikannya. Gerak-geriknya tidak biasa. Seperti bukan Josh.

"Josh ngajakin kita muter lagi ntar," kata-kata Erik memecah lamunku.

"Lagi?" aku menoleh. Mendapati wajahnya yang sama sepertiku tengah memperhatikan Josh tadinya.

"Ya. Lagi."

Aku menelan ludah. Berusaha mencari sesuatu di wajahnya namun tak ketemu. Malah sebaliknya, akulah yang seperti didesak mundur gara-gara wajahnya mulai terlihat memikat.

"Selalu lagi," aku menggumam. Upayaku menyembunyikan rasa salah tingkahku sepertinya gagal. Erik tertawa kecil sambil terus menatapku. 'Jelas ia sedang berusaha mempermainkanku. Ya, dia hanya mempermainkan aku karena ia tak akan berani menggodaku'.

"Itu karena Josh bilang jalanan Jakarta nggak ada yang buntu buat ngabisin bahan bakar mobilnya secara cuma-cuma."

"Ya. Tipikal orang kaya," aku mencibir.

"Lebih tepatnya remaja yang lagi bosan-bosannya sama sesuatu yang belum dia pahami."

Aku menoleh Erik. Dia mengangkat alis. Menantangku untuk turut andil di dalam upayanya mengolok-olok kehidupan yang juga belum kupahami.

Yah, mungkin perilaku semacam itu barangkali akan kusesali suatu hari nanti. Atau barangkali tidak sama sekali. Dan malah, bukan tidak mungkin aku akan mensyukurinya.

Yang jelas, dan aku memahaminya amat sedikit, suatu hal buruk di awal akan membuatmu lebih memahami ceruk dan celah kedepannya. Jadi, aku ya, mengulurkan tanganku menyambutnya walaupun aku tak bisa mengenyahkan pikiran waswasku.

"Atau enggak mau memahami. Tepatnya lagi," kataku.

Erik tertawa lagi. Tapi kemudian dia mengangguk. "Lagi."

Aku tertawa.

"Jadi, lo gabung, kan?" tanyanya kemudian. Dia bahkan tak berusaha menutupi harapannya.

Dan, katakan saja aku tak tahu malu mengingat setelah apa yang dikatakan Ziya kemarin, bahwa aku mencari-cari kepastian dari nada mengharapnya.

"Ya," kataku. "Josh bilang kan kemarin kalau selagi dia bawa mobil sendiri ... enggak boleh ada yang pulang nggak sama dia."

"Nah ... paling nggak ada gunanya, kan si kakek."

"Kakek?"

Untuk kesekian kali, aku tak tahu apakah aku mulai menyukainya saat ia tertawa karena aku mulai terbiasa dengan itu.

"Ya ... kakek. Siapa lagi emangnya?" ujarnya sambil masih tertawa. Aku mengangguk. "Sebetulnya itu alasan dia aja, sih. Karena maksud dia ngasih kita semua tebengan karena kalo macet ada yang bisa dikaryakan secara gratis buat dorong mobil."

Aku menggeleng. Sial.

"Dasar. Padahal mau gimana juga gue sama Kris bakalan ogah dorong tuh kalau ntar beneran macet."

"Gue juga. Tapi gue nggak bakal bilang-bilang. Itung-itung kejutan. Biar kena juga dia."

"Nah ... gue setuju."

Tiba-tiba, Erik mengulurkan tangannya menyalamiku. "Deal," ujarnya. Tanpa ragu aku menyambutnya.

"Deal."

Josh kembali. Raut mukanya sengaja tidak ia sembunyikan ketika melihat kami masih bersalaman.

"Latihan ijab kabul?" katanya.

"Yoa," Erik berseloroh.

Aku menggeleng. Memberikan Josh tatapan pertanyaan: gimana hasilnya. Namun alih-alih menjawabku, dia lebih memilih mengejar Erik. "Dasar tengkulak ogah rugi!" cibirnya.

"Yes ... lo sendiri tahu kan di tiap kesempatan tersimpan kemungkinan yang bakal bikin lo sujud syukur seharian kalau dapat. Jadi, mana bisa gua lepas?"

"Dasar setan!"

Josh mengayunkan tangannya ke Erik. Entah apa yang dilemparkannya, Erik pura-pura menghindar. Lalu keduanya tertawa. Lepas. Entah apa yang mereka tertawakan. Di mana, atau apanya yang lucu. Sama sekali tak ada yang menjelaskan. Namun, meski begitu, tak ada yang menghentikan aku ikut tertawa. Jelas, aku tertawa hanya karena mereka tertawa.

Dan di situlah, kemudian aku mendapati Erik tengah menatapku.

Aku menatapnya balik. Dia salah tingkah. Meskipun ia lebih andal dari yang kuduga, sehingga perbuatannya tidak nampak seperti sesuatu yang seharusnya memalukan. Sebaliknya, dari tatapan itu justru menimbulkan ingatan dan keingin tahuan akan apa yang telah disebutnya beberapa saat lalu: bahwa di tiap kesempatan tersimpan kemungkinan. []

avataravatar
Next chapter