1 Contoh Buruk

Di hari pertama awal tahun ajaran baru, aku memutuskan tidak pergi ke sekolah. Ibuku mengatakan jika aku bebas melakukan apa saja yang aku mau. Tetapi, itu sama artinya jika aku siap dengan segala risikonya. Aku menghela napas panjang sambil menarik kembali selimut dan berteriak "ya" di bawah selimutku yang tebal. Sejam kemudian, aku dibangunkan panggilan telepon yang masuk berkali-kali.

Itu bukan berarti ada banyak orang yang kehilangan aku. Kurasa aku tidak sepenting itu di sekolah.

Pelakunya adalah Kristina. Kalau tidak Josh. Ini tahun keenam kebersamaan kami yang konyol dan kekanakan, tapi mengharukan di saat yang sama. Kami tidak pernah melakukan kesepakatan apa-apa yang membuat kami terus bersama-sama. Semenjak pertemuan pertama kami di bangku SMP, kami berteman karena berpikir tak ada yang mau berbicara dengan kami. Tapi ternyata bukan itu masalahnya.

Masalahnya terletak pada anggapan bahwa kami bertiga adalah sejenis spesies yang mustahil untuk didekati. Dan, pada kenyataannya, terkadang aku berpikir jika anggapan itu tidak keliru. Kecuali, kurasa aku.

Kristina. Dia mirip aku sebetulnya. Kecuali di bagian tubuh jangkung dengan rambut ikal dan tatapan matanya yang tajam. Dia jujur dan tidak suka basa-basi. Tidak suka banyak bicara walaupun sebetulnya ia juga gampang tersenyum. Kristina juga cepat merasa bosan terhadap sesuatu. Walaupun dia diandalkan guru di pelajaran Olahraga. Tetapi, dia selalu memberi penekanan khusus bahwa ia tidak memiliki minat sama sekali.

Sementara yang menjadikannya terlihat luar biasa ialah karena ia membuat penolakan itu begitu mudah. Praktis. Nol beban, sama sekali.

Inilah yang membuatnya menjadi orang yang paling diinginkan sekaligus paling dijauhi di sekolah. Terkadang, orang-orang bilang bahwa aku bisa berteman dengannya karena sebuah keberuntungan. Aku berkata "ya memang" agar tidak perlu repot menjelaskan apa-apa. Dan pada saat itu, Josh dengan tega menertawaiku sampai puas.

Tentu saja aku tidak terlampau keberatan. Maksudku, Josh, bagaimanapun ia bisa bersikap tega terhadapku bukan berarti dia menikmatinya dengan amat sangat. Toh, dia punya alasan. Alasannya karena orang-orang menganggap mereka berdua adalah Dua-Entitas-Unggul-yang-Tidak-Bisa-Dijangkau tanpa menganggap keberadaanku di sana hanya karena aku pernah pingsan sewaktu kegiatan Persami di tengah semester awal kelas sepuluh dulu.

Sehingga, ya, secara keseluruhan aku adalah manusia biasa seperti mereka semua dan keberuntunganlah yang membuat aku bisa berteman dengan mereka. Mungkin saja begitu.

MUNGKIN SAJA AKU MEMANG SEBERUNTUNG ITU.

Katakanlah karena Josh itu teramat sempurna. Bayangkan saja seandainya kau cowok, maka kau (akui saja!) akan membanggakannya memiliki teman seorang Josh. Kau akan menjadikannya topik saat berbicara dengan para cewek sehingga kau akan menjadi sama kerennya dengan cowok itu. Dan apabila kau cewek, (hei! aku tidak berkata bahwa aku tidak, tetapi karena itu terlalu sering dan aku tak mau melakukannya juga) lalu ia menatapmu sekilas tanpa alasan kecuali karena tidak sengaja, tatapan tidak-sengaja itulah yang akan membuatmu risau sepanjang waktu. Kau akan berpikir dan berharap sekaligus bahwa itu akan terjadi lagi. Atau tidak sama sekali dan atau seharusnya tidak pernah terjadi. Dan segala upayamu menjadi sia-sia karena kau tidak bisa mengeluarkannya dari kepalamu. Atau memintanya enyah. Itu jelas tidak mungkin juga.

*

Jadi, biar kujelaskan sekali lagi kalau aku memang mungkin seberuntung itu.

Kecuali hari ini, dan di beberapa hari yang lalu tentu saja, ketika gangguan semacam ini datang sehingga aku merasa amat sangat tidak seberuntung itu. Yaitu, pada saat ponselku berdering tiap lima belas menit sekali saat akhirnya aku terpaksa turun dan menjemur selimut. Lalu, menghabiskan musim terakhir serial hantu dari Amerika Serikat itu di sofa sambil menikmati sarapanku pada pukul sepuluh.

Kristina menelepon dan berkata jika aku sakit sebaiknya aku menghubunginya, atau pihak sekolah karena guru menanyakanku padanya. Aku membalasnya dengan keseriusan yang kubuat-buat bahwa ia bisa saja membuat pengumuman resminya di Website sekolah. Atau grup chat kelas kami yang lama. Kristina lalu membalas aku lagi. Dia berkata bahwa itu bukan hal yang tak bisa dilakukannya dengan cepat dengan efek samping yang sama cepatnya pula. Justru karena itu hal yang teramat mudah, dia tak mau membuang-buang waktu.

Aku lalu berpura-pura marah terhadapnya. Karena itu, dia mencibirku dan kami mengakhiri telepon begitu saja.

Josh meneleponku tak lama kemudian. Dia memberikan saran-saran konyol yang selamanya tak akan pernah kuikuti. Seperti misalnya, tak perlu masuk sampai beberapa hari lagi karena KBM jelas baru akan berlangsung setelah Masa Orientasi Siswa baru selesai. Itu artinya, empat hari lagi dari sekarang.

Atau, aku bisa kabur ke mana saja. Yang mana sama sekali tak pernah terpikirkan olehku, Josh berkata (yang tidak pernah kupikirkan adalah bahwa ia berkata seperti itu) bahwa angka pernikahan di bawah umur memang terlampau tinggi di Indonesia. Bahkan melebihi jumlah peminat daripada orang-orang dewasa yang sudah matang dan siap dari segala sisi kesiapan itu sendiri.

Josh bilang padaku seolah-olah itu hal pertama yang kupikirkan dari yang aku bisa. "Kalau lo mau, apa boleh buat. Jangan lupa gue sama Kris pendukung lo nomor satu. No matter what."

"Ya. Enggak. Terima kasih."

Aku meringis. Perutku bergolak seolah-olah ada hal paling mengerikan hendak mencuat keluar menembus daging dan kulitku.

Aku mengulang kata 'tidak' setidaknya sebanyak sepuluh kali dan itu cukup membuat Ibu tergopoh-gopoh lari dari belakang dengan raut penasaran. Lebih tepatnya khawatir karena aku tidak pergi ke sekolah tanpa memberinya alasan jelas.

"Kamu ngigau?" yang jelas karena Ibu juga mengira aku tidur selama menonton serial itu sekaligus mengabaikan piring di atas pangkuanku seolah-olah aku ditimpa sakit keras dan hampir tak tertolong.

"Nggak," kataku. Aku menutup telepon. Meletakkannya di atas meja. Lalu memasukkan potongan telur goreng terakhir ke mulut.

Ibu tidak percaya. Dia lalu duduk di sebelahku. Menempelkan tangannya di jidatku karena ia masih terus menduga sambil menunggu kapan aku akan pingsan lagi. Wajah putihnya memerah seperti kepiting rebus.

"Kamu belum ngasih tahu ibu loh alasan kenapa nggak masuk sekolah." Ibuku berkata penuh penekanan. Wajah menyelidik itu hanya berjarak kurang dari tiga puluh senti dari wajahku.

"Jadi itu alasan Ibu nggak ke kantor hari ini?" kataku setelah menelan telur sambil menolehnya.

"Nope." Ibu menggeleng. Rambut pendeknya menggantung di atas kerah bajunya. Membuatku teringat dengan potongan rambutku dua tahun lalu yang tak ingin kumiliki lagi. "Tapi Ibu bisa kerja dari mana saja sebetulnya."

"Ya. Ibu sudah ngomong itu sejak kapan tahun."

Piringku sudah bersih sekarang. Tinggal jejak nasi, kornet, dan kecap manis yang tersisa. Sementara telur gorengnya tandas sama sekali. Tak ada remah pun.

"La, ibu serius loh."

Aku membetulkan posisi duduk setelah menaruh piring di sebelah ponselku. Sementara Ibu menunggu reaksiku. Lalu aku menjelaskan padanya bahwa sebagian besar diriku tidak bisa melawan rasa malas hari ini dan bukannya karena sesuatu yang ia khawatirkan. "Itu cuma sekali," kataku seolah-olah aku bisa memastikan.

"Ya."

Ibu menaikkan alis. Putus asa. Dia lalu berkata bahwa Ziya, adikku, juga tidak mau pergi ke sekolah karena dia berpikir anak baru juga bisa bolos di hari pertama masuk sekolah hanya karena aku melakukannya.

Aku: "Dia cuman ikut-ikutan doang kan, Bu? Enggak sakit?"

Ibu: "Ya."

Lalu aku berkata bahwa aku contoh yang buruk, kalau begitu. Ibu berkata, "Memang," sehingga kami tertawa dan kami pun melanjutkan menonton serial itu bersama-sama. []

avataravatar
Next chapter