17 Ceruk Rahasia

Nyatanya, penjelasan panjang itu seperti dongeng pengantar tidur yang dulu sering dibacakan Ayah maupun Ibu. Kadang-kadang, saat aku membaca tulisannya di email, aku seperti dilemparkan kembali ke ruang masa lalu. Di mana dongeng-dongeng hadir ke dalam mimpi usai dibacakan. Namun ketika aku mengerjapkan mata, aku telah dikembalikan ke dunia nyata. Di mana terdapat terlampau banyak ceruk untuk mengintai lebih dekat siapa itu Saputra Hadi.

Tepat pukul tiga, kami sepakat untuk mengakhiri percakapan. Bagaimana pun kami butuh tidur. Ya, pada akhirnya. Aku bahkan tak perlu memaksa diri.

Ziya membangunkan aku pukul enam tepat. Ketika aku bangun, masih mengucek mata sambil menguap, Ziya berseloroh, "Kak, lo sebenernya penyakitan apa nggak, sih?"

Aku terperanjat. Kata-kata itu setara dengan gedoran pintunya kemarin dulu.

"Maksudnya?" ujarku. Suaraku parau, melekat pada dinding kerongkongan.

"Ya lo kan sering pingsan di sekolah. Kata temen gue, orang yang suka pingsan itu kalau enggak penyakitan dia pasti dirasuki setan."

Aku masih mencerna kata-kata itu ketika Ziya berbalik dan keluar. Di mobil, ketika aku memintanya menjelaskan, dia berkata dengan amat tak acuhnya bahwa ia tidak memiliki waktu untuk mengulang kata-katanya.

Jadi, aku berkata seperti ini padanya, "Sepertinya emang badan gue yang lemah."

Lewat kaca mobil, Ibu melirikku.

"Lo kepikiran, ya?" kata Ziya.

Aku mengangkat bahu.

"Orang pingsan kan penyebabnya bisa apa saja," kata Ibu. Ziya memalingkan wajahnya keluar jendela.

"Tuh, dengerin kata Ibu" kataku.

"Ya nggak usah disuruh juga gue udah denger," kata Ziya.

"Orang enggak harus karena penyakitan buat pingsan. Bisa karena faktor syok. Atau karena yang lain. Kurang makan misalnya."

"Kesurupan setan juga?" Ziya menatap Ibu lewat kaca mobil. Aku turut menatapnya.

"Ya buat yang percaya sama gituan sih, iya," cetus Ibu.

"Jadi lo pernah kesurupan?" tanya Ziya padaku.

Aku masih memikirkan gagasan untuk menjawab. Memikirkan alasan kenapa ia tiba-tiba membahas hal tersebut, yang meskipun aku menduga ini pasti karena teman-teman barunya, tetapi perilakunya yang tak menentu telah melubangi kepalaku. Kemudian Ayah lebih dulu menjawab.

"Pagi-pagi malah ngomongin setan, sih. Setan tuh enggak ada. Yang ada cuman orang penakut. Kemudian berhalusinasi," Ayah berujar.

"Setan ada kok," Ziya menukas. "Di Al-Quran, di Bibel, setan dibahas kan?"

"Ya tapi soal kenapa kakakmu pingsan itu enggak ada hubungannya sama setan."

"Tapi intinya setan ada, kan?"

Ayah dan Ibu saling bertukar pandang sebelum kemudian Ibu menoleh.

"Kalau boleh Ibu tahu, apa yang lebih Ziya ingin ketahui? Soal Kak Lala pernah pingsan di sekolah atau soal mahluk halus?" tanya Ibu.

"Kata temenku ... setan bisa bikin orang pingsan," jawab Ziya.

Selanjutnya, aku memilih tidak menyimak percakapan mereka sampai tiba di sekolah. Sementara yang aku lakukan sepanjang menekuri perjalanan itu ialah berselancar di ponselku.

Dari grup chat kelas, sedikitnya delapan puluh pesan terkirim semenjak subuh. Beberapa membahas soal tugas yang semalam. Yang lain masih membahas soal foto. Seorang cowok berkaca mata mengunggah swafotonya yang memeluk setumpuk buku. Komentar-komentarnya membuat geli. Salah satunya menyebut begini: ini sih bukan kutu buku deh, tapi tikus buku.

Sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak tertawa. Pada saat itu, Ibu memberi tahuku bahwa kami sudah sampai di sekolahku.

Aku turun. Suasana di depan pintu gerbang monoton. Seorang satpam dan petugas Patroli Keamanan Sekolah berdiri di tengah jalan raya membantu orang menyeberang. Guru BK bersama guru Olahraga berdiri di tengah pintu gerbang memeriksa anak-anak yang seragamnya melanggar.

Ketika aku sampai di area gedung H, aku merasa melihat Putra. Aku ingin mengejarnya, mungkin untuk sekadar menyapa. Tetapi, begitu aku tiba di tangga, Kris sedang turun dengan geng klub basketnya. Membuat Putra lolos dari perhatianku.

Kris seperti yang lain, memakai seragam basket. Well, ya, itu menakjubkan. Kristina terlihat seolah-olah ia bukan Kristina yang kukenal. Rambutnya dikucir dan itu semakin memperlihatkan citra seorang atlet.

"Hei ..." sapanya. Aku tersenyum. Mengangguk ke yang lain juga.

Sebentar aku menahan napas. Cara Kris memandangku menerangkan bahwa ia—dengan seragam barunya itu tak mau dikomentari.

"Nggak usah bilang apa-apa," katanya.

Aku tertawa. "Lo mirip Kobe," kataku.

Kris tertawa, geng klub basketnya ikut tertawa, "Lo bahkan nggak kenal Kobe."

"Ya," kataku, "Tapi mungkin Yonatan."

"Itu lebih masuk akal," wajah Kris berseri. Yonatan Kae, satu-satunya atlet basket, yang kuketahui karena nyaris sepanjang tahun sejak dua tahun lalu selalu menjadi topik utama tentang cowok yang dibicarakan Kris.

Itu cukup masuk akal. Bahkan jika aku tidak menggilai basket pun aku akan sama menggilainya seperti Kris. Hanya saja, kurasa aku tak memiliki topik yang bisa kubicarakan selain pesona fisik yang tak main-main. Dan itu, apabila aku membicarakannya hanya dari sisi itunya saja, kurasa aku tak pantas untuk menyebut diriku sebagai seseorang yang menyukainya dengan tulus.

"Mau tanding?" tanyaku kemudian.

"Ya. Sama SMA Pelita."

"Oke. Semoga menang."

"Nggak yakin, sih."

"Kenapa? Emangnya nggak dapat bonus kalau menang?"

Teman satu geng barunya kompak meringis, sementara Kris menggeleng. Tapi dari wajahnya, aku bisa membacanya dengan jelas bahwa itu bukan titik permasalahannya.

"Terus?" sebisa mungkin, aku berusaha tidak terdengar menekan.

Kris mengerutkan hidung. "Dibahas ntar deh kalau gue udah balik."

Aku mengangguk. "Oke," kataku.

"Oke. Duluan ya. Bye."

"Bye."

Kami berpisah. Kris berjalan paling depan. Saat kuperhatikan, ia tampak setengah hati melangkahkan kakinya. Membuatku yakin kalau ia tengah mempertimbangkan untuk berbalik arah dan memutuskan untuk tidak menyepakati apa pun.

Tapi aku kecele. Sampai mereka hilang dari pandangan, dan aku disadarkan bahwa semakin banyak anak yang lewat di tangga, Kris mematahkan keyakinanku.

Di tengah perjalanan ke kelas, aku berdoa kalau apa yang kulihat di wajahnya barusan tadi bukan suatu pertanda dari apa yang tidak kuinginkan terjadi. Semoga.

*

Erik menyapa ketika aku tiba di kelas. Dia duduk di sebelah Josh, di kursi yang ditinggalkan Kris untuk pergi bertanding. Saat ia menyapa, wajahnya masih diseliputi bayangan perilakunya yang kemarin. Tetapi itu sudah jelas bahwa aku sudah tidak mempedulikannya lagi. Bagiku, lebih mudah melupakan apa yang dilakukan orang lain ketimbang melenyapkan tindakanku sendiri.

Aku menyapanya balik. Melalui lambaian tangan sekilas. Dari gerak-geriknya, Erik seperti hendak menemui aku. Namun, karena aku buru-buru duduk di kursiku—Putra, tentu saja sudah di bangkunya dengan seragam kunonya yang terlampau kaku sambil membaca komik, kali ini, bukan lagi majalah lama yang penampilannya sudah sangat tua, Erik mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, ia mengirimu aku pesan. Aku membukanya begitu duduk, setelah menyapa Putra yang membalas sapaanku lebih cepat dari yang aku duga.

Isi pesan Erik begini: Ntar istirahat mau ke kantin bareng nggak?

Aku menjawab 'oke'. Tapi aku tidak bermaksud memenuhi kata 'oke' itu jika memungkinkan.

Sementara aku mengetik balasan untuk Erik, Putra mengajakku bicara.

"Semalam tidur nyenyak?" tanyanya.

Aku nyaris gelagapan, tapi itu jenis pertanyaan yang lumrah setelah kami ngobrol di hampir seluruh waktu sepertiga malam. "Ya," kataku. Kulihat, Putra tersenyum. Dia lalu menutup komiknya. Dragon Ballz. Komik yang sama tua dengan majalah tuanya.

Putra menoleh. "Beneran?"

Aku menarik napas. Ia pasti tengah mempelajari wajahku. "Saya lebih suka mengatakan sesuatu yang sebenarnya."

Putra tertawa. "Ya. Saya percaya itu."

Aku tak tahu apakah itu hal terpuji yang memang harus kulakukan, berterima kasih padanya sehingga aku mengatakannya dengan sedikit gugup. Tapi hatiku merasa lega. "Trim's."

Putra mengangguk. Tawa kecilnya berubah menjadi senyum samar yang membuatku merasa waswas. Takut ada sesuatu yang disimpan di baliknya. Sementara yang membuatku merasa jengkel ialah aku memercayai itu dengan amat sangat. Sehingga rasa penasaran muncul dari dasar perutku dan meluap-luap.

Ketika sebuah gagasan muncul untuk membicarakan lagi percakapan kami yang semalam, bel berbunyi. Di belakangnya guru sudah masuk dan kami tidak memiliki kesempatan lagi untuk berbicara di kelas.

Itu pelajaran Kimia. Gurunya seorang laki-laki muda yang tingginya tidak lebih tinggi dari aku. Tapi sifat pendiamnya selalu bisa menekan suasana hingga kadang-kadang rasanya terlampau dingin.

Selagi aku mengeluarkan buku catatan, aku melirik Putra. Di depannya komik itu sudah lenyap. Sebagai gantinya kini ada buku tulis tipis dengan sampul cokelat yang tipikal. Sebuan pena keluaran lama yang membuatku takjub dari mana ia bisa mendapatkannya.

Tentu saja. Pena itu diproduksi dan populer dari zaman Ayah dan ibuku masih SMA hingga perguruan tinggi. Menghilang ketika mereka sudah menjadi sarjana dan lupa keberadaannya begitu saja.

Saat MOS dulu, panitia mengharuskan kami membawa pena itu. Ibu dan ayahlah yang kelimpungan mencari ke sana-sini. Masuk hingga ke ceruk-ceruknya setiap toko buku dan alat tulis yang tersebar hingga ke luar Jakarta.

Ibu bilang, saat membantuku mencarinya yang benar-benar nihil, dan itu juga berlaku untuk semua murid baru, bahwa ia, bahkan baru ingat dulu pena itulah yang digunakannya selama bersekolah hingga ke universitas. Dan ketika benda itu dibutuhkan di masa yang telah hilang, Ibu bahkan tidak berani mengharapkan keajaiban.

"Kamu kayaknya tertarik sama bolpoin saya."

Aku terkesiap. Entah sejak kapan ia sedang menatapku.

"Enggak juga. Tapi itu dulu bolpoin yang disuruh dibawa saat MOS. Dan nggak ada satu pun yang bawa."

Putra menggeleng. "Saya dulu bawa, kok. Saya ingat yang nggak bawa dihukum hormat tiang bendera, kan?"

"Ya. Hukuman yang nggak masuk akal." Karena gara-gara itu aku mendapatkan predikat lemah yang pertama kali. Pukul sebelas siang. Dijemur di lapangan dan hormat bendera, hingga kini aku masih takjub dengan mereka yang tidak sampai jatuh pingsan seperti aku.

"Banyak hal yang nggak masuk akal," aku nyaris tak mendengar kata-kata itu. Tapi yang mengejutkan ialah, Putra menggeser penanya ke arahku. "Buat kamu."

"Kamu pikir saya sudah pasti mau?" kata-kata itu membuat kerongkonganku lecet.

"Saya berpikir kalau kamu pasti nggak akan nolak pemberian saya."

Kata-kata itu. Rasa percaya diri itu. Membuat aku merasa takut. Dan ya, bagaimana aku sanggup menolaknya. Meskipun ketika aku menyentuh benda itu, yang mulus dengan permukaan kulit hitam legam yang mengilau, membuatku bertanya-tanya di ceruk rahasia yang mana ia menyembunyikan banyak kejutan kunonya? []

avataravatar
Next chapter