7 Bimbang

Kali ini, aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku yang meluap-luap. Tentu saja ini amat memalukan. Tetapi, tak ada gunanya juga. Tak ada yang bisa kusamarkan dari rona wajahku yang memerah. Termasuk, panasnya yang juga tak bisa kuredam.

Kris berdesis, "Tumben" tepat di hadapanku. Aku tahu artinya apa. Itu jelas sikap kekanak-kanakanku yang lepas di depan orang baru. Sebelum ini, aku selalu bisa melarikan diri. Bukannya kali ini tidak bisa. Tetapi, tak ada dorongan yang dapat membuatku menahan diri.

Buruk sekali.

*

Erik minggir dan berhenti di depan sebuah mini market. Inilah yang menjelaskan bahwa mereka sudah lebih lama saling kenal ketika Josh, tanpa mengatakan apa-apa, seperti sebuah koneksitas yang langsung menyala tanpa menunggu aba-aba, turun dari mobil dan lekas menuju ke toserba mini tersebut.

Aku, atau kami kukira, mengawasinya dari balik jendela yang dibuka setengahnya. Josh pergi ke konter minuman. Mengambil beberapa botol minuman lalu bergerak cepat ke konter camilan.

Diam-diam, dengan gerakan yang akhirnya dapat kusamarkan, aku meraba kulit wajahku. Masih hangat. Dan tentu saja, sedikit berkeringat. Dan ya, janggal.

Yang membuatku masih memiliki sedikit rasa ketidak-maluan, dan defensif, ialah karena cuaca hari itu yang teramat panas. Angin lebih sedikit ketimbang seperti di depan ruang guru beberapa waktu lalu. Jadi, meskipun upayaku sia-sia, ketika Kris menyindirku, aku masih berkesempatan berkelit darinya.

Tapi, lalu, aku teringat lagi dengan Putra gara-gara itu. Sungguh amat sangat memalukan. Lebih memalukan karena aku berpikir—membayangkan lebih tepatnya, suatu hari ialah yang mengisi salah satu kursi di depan di antara Josh atau pun Erik. Atau jika memungkinkan kita mendapatkan tumpangan yang lebih luas, maka tak perlu ada yang terusir dari siapa pun di antara mereka berdua.

Yah—kurasa, pemikiran semacam ini adalah hal yang wajar. Walaupun rasanya mengerikan. Terlebih karena aku mengalirkan pikiranku ke dasar dada paling bawah. Kemudian dilempar lagi naik ke atas menjadi sebuah keyakinan yang pasti bakal terjadi.

Tak ada yang keliru. Walaupun 'ketiadaannya' di sana sama sekali diragukan kebenarannya. Begitulah.

Saat kembali, Josh membagi-bagikan cola jeruk dan keripik ke kami. Dia sendiri kemudian mengunyah permen karet mint. Aromanya segera memenuhi ruangan situ sementara aku, Kris, maupun Erik mulai membuka botol cola kami masing-masing.

Begitu kusadari, sejak beberapa saat lalu, bahkan sebelum Erik menepi, kami belum saling bicara lagi. Aku berpikir kalau Erik sendiri mulai kehabisan kata-kata. Josh dan Kris menjadi lebih pasif di waktu-waktu tertentu sementara inilah waktunya 'waktu-waktu tertentu' tersebut.

Pada saat aku ingin membuka obrolan, aku kalah cepat dari Erik. Rupanya pikiranku keliru. Kekeliruan yang amat fatal kurasa, sehingga sesuatu yang mencetus di kepalaku terkait beberapa hal seputar klub basket menjadi tak memiliki arti sama sekali.

Erik memutar kepalanya. Sedetik yang agak lama, tatapan kami bertemu, sebelum kemudian ia berkata, "Ada yang mau nonton?"

Aku menggeleng. Lebih cepat.

"Yah, jelas nggak ada." Ujarnya mengeluh.

"Yang nggak mau cuma satu," kata Kris. Di tangannya ia memainkan botol cola.

"Ya, setuju," Josh menyahut tanpa menoleh sama sekali. Tapi aku bisa merasakan senyum kemenangannya.

"Tapi tetap saja suara minoritas bukan sesuatu yang nggak bisa dihitung," kataku.

Josh menahan diri untuk tidak tergelak-gelak. Sebagai gantinya, dia memalingkan pandangan keluar. Lalu menatap wajahku yang memantul lewat spion.

Aku meliriknya, tetapi itu tidak menimbulkan apa-apa.

"Ya. Karena itu sama kuatnya," ujar Erik sambil menyalakan mobil.

"Tapi kedengarannya jadi seperti kepemihakan," kata Kris.

"Kalau gitu gue akan berdiri di sisi yang sama dengan suara minoritas itu," balas Erik.

Lewat kaca mobil Erik menolehku. Ia tersenyum. Aku membalasnya dengan menaikkan kedua alis.

"Payah," dengusan Kris disusul tawa Josh yang tak mau ia tahan lagi. Bagaimanapun aku ikut tertawa.

"Ya, anggap saja sebagai uji coba yang gagal," ujar Erik.

"Bukan gagal, sih," Kris menukas. Saat menolehnya, kurasa ia menolak untuk menolehku balik. "Tapi mudah nyerah. Nggak mau berjuang lebih tepatnya."

"Nggak punya prinsip," Josh melirik Kristina lewat kaca mobil. Sementara dari tempatku dapat kulihat dengan jelas bagaimana ekspresi Erik. Dia mengernyit.

"Gue nggak bilang gitu ... tapi ya ... nggak ada prinsip."

Josh mengangguk-angguk. Lalu kulihat ia menoleh Erik. Dan Erik menolehnya balik.

Di tempat yang sama, aku adalah bola panas. Objek yang mungkin akan disesali kalau tidak segera dituntaskan. Tapi selagi itu aku menunggu. Kepalaku dipenuhi gagasan. Aku menunggu cara masuk yang tepat untuk melemparkan gagasan itu. Meskipun, kelihatannya, kesempatan untuk itu amat tipis.

"No. Gue nggak setuju," kurasa Erik mulai mengandalkan ketegasan suaranya yang terlambat kusadari. Aku melirik Kristina lagi, dia agaknya akan membiarkan dirinya menyimak apa saja yang hendak dikeluarkan Erik. "... ini bukan soal prinsipil. Tapi mengenai gimana sebuah kesempatan bekerja. Jelas karena semesta enggak bergantung pada manusia. Tapi sebaliknya."

Josh juga kelihatan membetulkan posisi duduknya. Yang artinya dia akan mulai menyimak tanpa meragukan intensinya. Walaupun, seiring dengan suaranya bergulir menuju tujuannya yang mulia aku merasa perubahan suasana yang amat cepat. Seakan-akan di usiaku yang sekarang aku telah menjajaki beragam seminar yang disampaikan sepanjang waktu dengan bahasa baku.

Perutku rasanya seperti dibetot tangan-tangan raksasa.

"Coba perhatikan, apa ada kesalahan yang enggak bisa diperbaiki. Yang paling fatal sekalipun?"

Tak ada yang mengangguk setuju. Atau menggeleng menyanggah. Lebih penting, aku tidak memperhatikan siapa pun selain menunggu kelanjutannya mengutarakan teori dalam simposium kecilnya di dalam rongga besi berjalan dengan sofa empuknya yang nyaman. Dan aku mengakuinya. Aku terpana.

"Mobil ini misalnya. Kalau suatu hari nanti mesinnya udah mati total. Nggak bisa diperbaiki karena udah nggak ada suku cadangnya lagi, bukan berarti ntarnya harus digeletakkin gitu aja. Atau dibuang ke kuburan mokas."

Pada akhirnya Josh mulai mengangguk-angguk. Tapi dengusan Kristina di sampingku menandakan betapa stresnya ia menyimak omongan yang kurasa tak bisa dihindari.

"Kenapa? Jelas karena kerangkanya masih bisa dimanfaatin buat apa kek. Bannya juga. Sementara mesin-mesin yang udah mati total yang kalau ada kolektor psikopat mau mengoleksinya juga itu sama bagusnya ketika dia dikiloin terus dilebur lagi buat dijadikan apa kek sama yang mau."

"Intinya adalah karena hari ini lo gagal, nggak tahu juga sih kalau ini ternyata cuman trik bulus lo, besok-besok lo masih bisa memperbaikinya. Gitu?"

Erik tertawa-tawa karena jawaban Kristina. Disusul Josh tak lama kemudian yang rupanya membutuhkan sedikit lebih banyak waktu mencernanya. Sehingga, di antara semburan tawa yang dibiarkan menyalak-nyalak itu, aku menyadari bahwa inilah kali pertama Kristina terdengar konyol. Naif.

"Padahal tadi pengen ngomongnya gitu doang, sih," ujar Erik di antara jeda tawanya.

"Ya karena kalau enggak gitu ya bukan lo." Suara Kristina kalem. Tapi jelas tidak sekalem itu.

"Yah patut disyukuri karena kita semua, ya termasuk Lala Paramitha, welcome to the club, jadi tahu marker gue di sebelah mana." Kata Erik sok bijak.

"Njelimet!"

"Ya. Buat orang yang kurang sabaran. Tapi di luar lingkaran itu, gue rasa oke-oke aja."

Sejenak, aku merasakan sensasi lain dari cara Josh tertawa. Itu bukan tertawa yang menertawakan. Tetapi sebuah penanda bahwa ia memaklumi suatu keadaan.

Diam-diam aku melirik Erik. Lalu Kristina. Mendadak, sensasi aneh yang ditimbulkan dari cara Josh tertawa membuatku merasa bimbang. []

avataravatar
Next chapter