6 Babak Baru

Kristina keluar tak lama setelah Putra pergi. Dari wajahnya, aku tak dapat menangkap apa-apa. Bukannya tak ada. Tetapi karena kepalaku masih dipenuhi penyesalan itu.

Josh mencuri-curi pandang padaku selama sisa perjalanan menuju ke tempat parkir. Josh memberi tahu kami hari ini ayahnya meminjami ia Corolla tua yang mesinnya masih bagus itu. Jadi, dia akan mengantar kami pulang.

Satu hingga dua kali saat ia mencuri pandang padaku, raut mukanya dipenuhi pertanyaan. Seolah-olah pertanyaan-pertanyaan itu berujud mahluk jelek menjengkelkan yang menandak-nandak di atas rambutnya, yang berpotongan pendek mirip cowok di kelas tadi yang kulitnya membuatku iri. Sementara ia berkeinginan paling kuat mengusirnya. Hanya saja, ia tak cukup nyali sama halnya aku.

"Jadi gimana?" kataku pada Kris, mengalihkan perhatian Josh yang membuatku tak nyaman.

"Nggak gimana-gimana." Ujar Kris. "Pak Abadi akhirnya menerangkan semua," katanya setelah agak lama. Begitu kami keluar dari lorong-lorong panjang antar bangunan menuju tempat parkir. "Dia nerangin soal kebutuhan pemain cadangan. Tetapi, beliau lebih suka gue jadi pemain inti kalau dalam kurang lebih dua bulan ke depan, gue sanggup berlatih secara intensif."

Bahkan kata-kata Putra masih mengiang. Tapi jelas Kris tidak sedang berusaha mengingatkan. Sebab, ia sama sekali tak terlibat dalam urusan kami. Setidaknya belum.

"Gue rasa itu nggak akan cukup," kata Josh.

"Yeah," Kris meringis. "Kalau hitungannya hanya dalam klub. Tapi gue latihan saban hari. Ingat?"

Josh menggeleng. Ia menggembungkan kedua pipi.

Corolla itu sudah terlihat. Warna biru metaliknya teramat mencolok. Memantulkan cahaya matahari yang semakin menguatkan ingatanku akan warna kulit Putra. Sh!

"Ingat. Tapi lo latihan nggak pake pelatih. Itu jelas kepiawaian lo nggak punya pakem. Terlebih buat pertandingan. Sori."

"I see."

Aku menghela napas sebelum menyela. "Itu artinya lo udah semakin dekat dengan keputusannya? Atau, malah sekarang sudah?"

"Besok atau nggak lusa, La." Kata Kris. Aku mengangguk.

Kami tiba di mobil Josh. Dan begitu ia masuk lewat pintu samping alih-alih yang di belakang kemudi, aku berdua Kris masing-masing membuka pintu belakang dan masuk.

Cowok yang kulitnya membuatku iri itu duduk di belakang kemudi.

*

Sejujurnya, mungkin aku pernah melihatnya. Wajahnya tidak asing. Dia bahkan lebih ramah dari Putra. Err! Maksudku, mungkin karena ia banyak tertawa. Aku bisa mendengar suaranya terlebih dahulu sebelum aku didera rasa penasaran.

Keakrabannya dengan Josh bukan sesuatu yang dibuat-buat. Mereka bahkan memiliki nama panggilan masing-masing. Dari yang aku dengar, Josh memanggil cowok dengan sebutan Krik. Sebaliknya, nama indah Joshua disingkat begitu saja olehnya menjadi Shu. Itu artinya sudah belangsung lama. Pertemanan mereka itu, yang sekali lagi berada di luar radar pengetahuanku mengenai kehidupan sosial yang terlampau menyedihkan.

Dan keramahan yang tidak dibuat-buat itu akhirnya menyeretku masuk ke dalamnya. Hanya saja, aku terlalu gugup. Canggung. Namun begitu, kemudian aku mengetahui cowok itu bernama Erik.

Cowok itu, Erik, memandangku lewat kaca mobil. "Kita sekelas kan?" katanya.

Tawa Josh tak berhenti. Dia lalu mendesaknya melakukan perkenalan secara resmi jika ia betul-betul ingin bicara padaku. Ini karena menurut Josh, yang diamini Kris, ia telah mencuri-curi pandang padaku semenjak di kelas tadi. Jadi, mereka punya alasan sah untuk mendesaknya.

Aku tertawa.

"Dua belas IPA dua," ujarnya di belakang kata Erik Prastyo. Aku masih tertawa-tawa selagi ia mengatakannya.

"Yaa ... nggak mau dibalas," ujarnya melanjutkan.

Senggolan kaki Kris di kakiku membuat aku meringis.

"Ya," kataku. Pada akhirnya. Dengan agak terpaksa. "Lala Paramitha. Kita sekelas. Dua belas IPA dua."

Erik menarik napas. Hal ini mengundang tawa yang lebih keras untuk Kris dan Josh.

"Ya. Terima kasih udah menjawab. Itu artinya kita berteman sekarang."

Aku merasa tersanjung. Walau kata-katanya tidak mengandung pujian.

"Ya. Sama-sama."

Gara-gara ini aku tak tahu sampai berapa lama lagi, Kris berdua Josh akan terus tertawa. Sehingga mau tak mau aku menjadi ikut tertawa. Bukan karena lucunya. Justru karena aku tidak tahu di mana letaknya. Jelas begitu. Tetapi karena dua orang tertawa di dekatku menjadi pemantik yang tak bisa kuhindari. Lagi pula, bagaimana bisa.

Lalu, Erik memintaku berkata 'ya' atau 'tidak' saja selagi ia mengajukan pertanyaan. Aku tidak terlalu setuju gagasan ini. Jelas karena aku terlampau takut. Tapi, sebelum aku mengutarakannya, lagi-lagi karena aku tak punya cukup nyali, Erik keburu melanjutkan dengan memberi tahuku bahwa ini adalah hari khusus. Bukan spesial. Dia menekankan. "Tapi khusus karena kita sedang berada di dalam lambung saksi hidup peradaban."

Selama beberapa detik, aku tak cukup mengerti. Tapi setelah beberapa saat, aku mulai menyadarinya. Di samping itu, Josh dan Kris sudah tidak tertawa lagi. Meskipun senyuman penuh maksud tergambar jelas di wajah serius mereka masing-masing. Sehingga, ketika beberapa detik yang lalu pun aku teringat bahwa jalan menuju ke rumahku sudah jauh terlewati, rasanya itu bukan masalah besar.

"... jadi, sebagai persembahan khusus dari yang khusus kita akan berarung bersama sang pemilik Lambung Peradaban."

Kata-kata ini terdengar mengerikan. Tapi karena Kris mulai tertawa lagi sementara Josh bergerung 'yes' dan 'amin', aku mulai dibanjiri kesadaran-kesadaran baru betapa nelangsanya kehidupan sosialku.

"Seberapa jauh?" kata Josh kemudian.

"Tiga kali putaran cukup."

"Jangan sampai ketemu daerah macet tapi." Kris ikut menimpali.

Aku mendengus. Lalu menolehnya sembari memberikannya pandangan 'sejak kapan?' Tapi Kris telanjur menikmati suasana itu.

Jadi, intinya adalah kita akan berkendara. Memutari separo Kota Jakarta dengan Corolla tua sebagai bentuk penghormatan kepada kendaraan itu sendiri.

Aku mulai tertawa lagi.

Tapi, pertanyaan pertama Erik berhasil membungkamku.

"Gue dengar lo pengen pindah tempat. Tapi pasti nggak mau sebangku sama gue? Ya kan?"

Aku bisa saja memilih 'ya'. Tapi setelah berpikir sebentar, jawaban 'tidak' pun pasti tak akan ada bedanya. Jadi aku hanya diam. Memberikan senyuman tertahan setelah tawaku dipaksa susut.

"Oke. Gue anggap itu jawaban ya."

Aku menelan ludah. Di sampingku, Kris tampak menikmati permainan ini. Lalu Erik mengajukan pertanyaan kedua. Dia berkata apakah aku menyukai gagasan ini?

Sebenarnya aku mau menjawab. Aku punya jawaban. Tetapi Erik sendirilah yang menjawab pertanyaannya sendiri. Yang membuat aku takjub, itulah jawaban yang ingin kukatakan.

"Pasti lo ngerasa diperas, kan?"

Kris mendengus di telingaku. Saat menoleh, ia mengalihkan pandang ke luar jendela. Lalu dia menurunkan kacanya hingga setengah.

Lewat kaca mobil, aku melirik Josh lagi. Lalu aku berkata 'ya'. Kata-kata itu terdengar defensif. Tapi aku tak menyesalinya.

"Ya. Karena udah pasti gue juga bakal ngerasa gitu." Ujarnya seolah-olah ia sedang memaklumi keadaan.

"... tapi kalau lo mau pulang sekarang, no problemo. Tinggal kasih tahu di mana alamat rumah lo, kita puter balik."

Aku menarik napas. Josh menolehku sambil tersenyum.

"Tapi lo baru ngasih dua pertanyaan," kataku. Ini ide gila. Tapi aku tak mau membuatnya merasa bersalah. Walau kelihatannya itu bukan hal penting.

"Ya. Ada beberapa pertanyaan sebetulnya. Kalau lo nggak khawatir menjawab."

Aku ingin berkata tidak. Tapi raut mukaku berkata lain. Jadi, aku mengatakan sesuatu yang kedengaraannya netral. "Pertanyaan ketiga?"

Erik tersenyum. Ia menoleh Josh. Detik berikutnya, derai tawa yang tidak habis-habis menyembur dari mulut mereka berdua. Aku merasa dipermainkan. Tetapi sudah terlambat. Aku sudah berada di arenanya sekarang. Dalam sebuah babak baru yang tak pernah kuduga-duga. Dan di situ, sekarang ini, aku miliknya.

"Oke."

"Ya. Oke," Josh yang menyahut.

"Baik. Ini pertanyaan buat dia, Shu my brother."

Josh mengangkat bahu.

"Yah. Lo .. apa lo tahu gue sebelumnya?" Erik meringis. "Kali ini gue mau lo jawab gue dengan jelas. Ya atau nggak?"

Lalu aku mulai menjelajah kata 'aku mungkin pernah melihatnya' di dalam tumpukkan momen di kepalaku. Ini tidak sulit. Tidak mudah juga. Hanya saja, aku tak mau terlihat gampangan. Maksudku, aku terlalu mudah dalam sebuah permainan. Walaupun, nyaris di sepanjang usia tujuh belasku yang sebentar lagi akan berakhir, aku jarang melemparkan diriku ke dalam papan permainan apa pun. Sebab, aku diberkahi bakat alam untuk menghindari permainan dalam bentuk apa pun.

Jadi aku berkata, "Enggak."

Suara mengeluh Erik terdengar menyedihkan karena Josh menertawakannya lagi dan lagi.

"Yah, berarti gue sulit dilihat," katanya.

"Lo perlu usaha keras," kataku.

"Sudah. Tapi itu artinya sia-sia."

"Kalau begitu, cepat tutup buku dan mulai lagi dari awal." Ujar Kris menyahut. Dia berkata lebih cepat dari aku.

"Ya. Terima kasih sarannya."

Kali ini tawaku amat lepas. Josh tentu saja ikut tertawa bersamaku. Paling belakang Erik setelah Kris.

"Game over," kata Josh.

"Enggak. Cuma tutup buku buat hari ini. Besok buka lagi." []

avataravatar
Next chapter