29 Another Nightmare

Aku tidur agak larut setelah sebelumnya mengacak-acak ruang kerja Ayah mencari sesuatu yang bisa dengan mudah kubaca dan kupahami isinya. Di ruangan 3 × 3 meter persegi itu, Ayah mengisinya dengan sebuah meja dengan kursi empuk berkaki tinggi. Lalu, tiga almari menempel pada dinding yang saling berhadapan dengan ragam jenis buku yang nyaris tak pernah kusentuh walaupun Ayah tidak keberatan sama sekali.

Ayah mengajar Antropologi di almamater tempat dulu ia mengemis ilmu bersamaan dengan beasiswa. Di mana di antara segambreng kegiatan kampusnya mempertemukannya dengan Ibu yang tergila-gila dengan tanaman.

Gara-gara itu, aku berpikir bahwa mereka sebetulnya tidak saling cinta. Tetapi perasaan mereka lebih didorong karena ketertarikan pada "ketertarikannya" masing-masing terhadap apa yang mereka yakini bernilai luhur. Ibu dalam mencintai tanaman. Ayah dalam serenteng kegiatan-kegiatan monoton dan arus mereka bertemu pada satu titik yang saling mengikat dan mendukung. Sehingga kehidupan yang telah mereka lalui pasti lebih lama dari yang sanggup kupahami.

Aku duduk di kursi empuk itu sampai kira-kira pukul setengah satu. Buku yang kubaca adalah soal tanaman yang pada sampulnya tertulis judul dengan huruf kapital yang dicetak timbul. Tulisannya MORFOLOGI TUMBUHAN.

Sebetulnya, ada satu buku yang judulnya membuatku tertarik. Pada sampul belakangnya terdapat keterangan bahwa buku itu membahas tentang mahluk supernatural. Namun sayangnya itu bukan buku terjemahan meskipun desain sampul dan judulnya membuatku tertarik. Sehingga hampir pasti aku sudah kelelahan di sepertiga awalnya saja.

Jadi, aku memilih buku dengan sampul yang gambarnya berupa dedaunan hijau menyegarkan. Buku itu jelas tidak menyulitkanku. Walaupun tulisannya tidak disusun dengan kata-kata yang sederhana, akan tetapi aku cukup dapat memahami isinya. Sehingga, aku hanya menutup buku karena sudah saking ngantuknya.

*

Keesokan paginya, aku bangun dengan sendirinya. Suara yang kudengar pertama kali adalah kelontang panci dari dapur di antara cakap-cakap tak jelas antara Ayah dan Ibu. Di antaranya ada suara Ziya berbicara terbata-bata dengan bahasa yang baru kudengar.

Karena bangun cukup pagi—sekitar pukul lima lewat lima, Ayah dan Ibu menyambutku dengan senyuman ceria, aku punya cukup waktu luang untuk membantu Ibu menyapu lantai lalu menyiapkan teh. Ketika selesai, dan waktunya masih lebih dari cukup, aku memutuskan sarapan terlebih dahulu sebelum mandi.

Selama makan hingga berlanjut ke sepanjang perjalanan mengantar kami ke sekolah, Ibu tidak berhenti membayangkan seperti apa bentuk Apotek Hidupnya setelah dirombak nanti. Lebih dari itu, ia berharap bahwa misinya akan berhasil.

"Kita butuh lebih banyak pot," kata Ibu. Suara penuh semangatnya seakan-akan dipompa oleh kekuatan seluruh alam.

"Ya," tukas Ayah menanggapi.

"Ukurannya nggak boleh sama. Harus beda. Tapi sama juga nggak apa-apa, sih. Tapi ya bakalan monoton ya kalau ukurannya sama. Jadi, yang beda aja."

"Ya. Dan pot tanah liat atau plastik?"

"Manfaatin barang bekas," Ziya menimpali. Lebih dulu menjawab sebelum Ibu. "Sayang duit kalau harus beli baru."

Ayah menoleh Ziya lewat kaca mobil. Senyumannya mengembang. "Nah itu oke," katanya.

"Boleh juga," kata Ibu sambil tersenyum senang. "Kalau gitu nanti siang kita mulai kumpulin dan sortir barang bekas yang masih oke di belakang."

"Yang di belakang aja? Kayaknya ibu nyimpen banyak barang yang nggak dipake juga di dapur deh. Daripada menuh-menuhin, mending pakai aja yang itu."

Ibu menoleh, menatap Ziya. "Itu masih dipake. Masih bisa dipake."

"Tapi itu udah lama nganggur. Mana tahu fungsinya udah enggak baik lagi."

"Ya. Itu nanti siang berarti dicek lagi."

"Berapa lama ngeceknya? Kalau yang pakai listrik ya jelas bakal buang-buang listrik, Bu."

"Enggak apa-apa. Sekali-sekali ini. Nggak sepanjang tahun, kan?"

"Ya tapi kalau ntar disimpan lagi. Terus besok-besok mau dipakai lagi ya musti dicek lagi dong. Ribet ah. Mending langsung angkut."

"Ya ribet sedikit nggak apa-apa. Daripada ntarnya nyesel karena asal bertindak. Hayo?"

Ziya mengangkat bahu. Lalu mengalah.

Sementara itu, Ibu amat bahagia dan semakin tak sabaran manakala aku memberi tahunya perihal Kris dan yang lain tidak keberatan soal hari Minggu nanti hendak dikaryakan sebagai kuli. Namun begitu, aku tak memberi tahunya mengenai Putra. Ini bukan karena aku ingin membuat kejutan. Sungguh. Tetapi, kurasa akan terlihat normal kalau seorang cowok kuno "tiba-tiba" mampir ke rumah teman ceweknya dan, kurasa itu bukan sesuatu yang seharusnya dijelaskan intensinya sejelas-jelasnya. Sungguh.

Namun, apabila ditanyakan alasan kenapa aku memberi tahu Ibu, tentu saja jika alasan itu betul-betul diperlukan adalah karena aku butuh sesuatu yang dapat melarutkan isi kepala yang tidak henti menayangkan adegan mimpi yang semalam.

Nah, itu. Alasan ini jelas. Tak mengada-ada. Apalagi dilebih-lebihkan. Sungguh sama sekali tidak. Aku ingin mimpi itu segera enyah. Dan sekalipun itu hanya sekadar kembang tidur, tetapi ia tak bisa tidak menggangguku.

Jadi dalam mimpiku, semua orang datang pada hari Minggu. Semuanya memakai pakaian serba putih. Putra, ia jangkung dan ramping, berdiri di tengah-tengah Apotek Hidup yang seluruh tumbuhannya berbunga kembang matahari dengan kelopak berjumlah enam. Senyuman samar merekah di antara wajah putihnya yang pucat. Menyembunyikan sorot matanya yang penuh maksud.

Sementara aku, ya aku berada dalam terusan warna putih dengan atasan dada terbuka. Rambutku digelung ke belakang. Sepatu yang kukenakan adalah bot hitam yang lebih sering dipakai Ayah pas musim hujan yang solnya sudah licin.

Di tangan kiriku, aku memegang sepotong parka dengan gunting tanaman di tangan yang lain. Parka itu mengeluarkan cericit panjang yang bunyinya seperti sebuah senandung pada sebuah ritual pemujaan.

Lalu, seiring musik yang entah dari mana datangnya, Putra mengendalikan sekop. Menggiring setiap tamu masuk ke dalam pot tanah liat. Lalu mengubur kaki mereka hingga sebatas betis dengan tanah dan pupuk. Setelah itu, ia memberi label pada tiap-tiap pot berupa tanggal panen. Tanggalnya tidak jauh dari pertama kali benih itu ditanam.

Dan begitu ia selesai bekerja, sebuah seringai mengerikan ia dekatkan ke wajahku.

Aku tak bisa memutuskan seberapa menyeramkan mimpi itu. Atau malah tidak. Tetapi, bahwa kondisinya sangat menggangguku, itu tidak bisa diragukan.

"Kamu sakit, La?" kata Ibu tiba-tiba.

Aku terkesiap. Menatap Ibu yang menoleh dari depan. "Nggak," kataku.

"Masa? Tapi kok dari tadi diam saja."

Aku tahu Ziya tengah mencermatiku. Tapi aku tak akan memberinya kesempatan untuk mengolok-olokku seperti biasa.

"Aku ada ulangan. Nggak mau hafalanku buyar," aku jelas bohong dan itu diketahui dengan baik oleh Ayah. Tidak kalau ia tidak menolehku lewat kaca mobil dan pandangan kami bertemu beberapa detik.

"Ulangan apa?" tanya Ziya.

"Biologi sama Kimia."

"Ulangannya bareng? Kok pakai hafalan?"

"Beda jam."

"Ulangan lisan?" tanya Ibu. Aku mengangguk. "Ibu baru tahu kalau Biologi sama Kimia ulangannya pakai lisan juga."

Aku menaikkan alis. "Itu salah satu cara paling mutakhir dilakukan guru. Menjauhkan siswa dari kemungkinan nyontek juga."

Ayah menolehku lagi lewat kaca mobil.

"Ya juga, tapi apa waktunya cukup?" nada itu sangsi. Penuh kecurigaan.

"Cukup," aku memandang Ibu untuk meyakinkannya. "Setiap siswa punya jatah satu pertanyaan yang enggak sama."

"Kok cuma satu. Standar ulangan harian kayaknya minimal lima deh buat satu kali ulangan."

"Tapi guru bikin konsepnya emang gitu. Lagian, ntar pas ulangan tengah semester juga kejatah soal yang enggak sedikit."

Ibu mengerutkan dahi.

"Terus, kan waktunya singkat ya. Apa itu pakai pertanyaan singkat?"

"Ya."

"Ya kalau begitu sih kayaknya mudah, ya?"

"Ya. Kalau hafalanku enggak diganggu."

Ibu tersenyum meminta maaf. Aku mengangkat bahu membalasnya.

Yang terdengar selanjutnya ialah pengulangan kalimat-kalimat serupa mengenai pot, barang bekas, hari Minggu, ginseng, beberapa tanaman bonsai, nama-nama temanku yang disebut dengan sangat akrab seolah-olah mereka lebih terbiasa dengan mereka ketimbang aku. Lalu gurauan yang tak ingin aku dengar dan yang membuat Ziya menggumam.

Aku, sementara itu menoleh ke luar. Memandangi langit pagi yang cerah yang dilimpahi cahaya matahari. Sekelompok burung bangau terbang rendah di bawah awan-awan yang menggantung lembut menuju ke arah barat.

Perasaanku menghangat seiring dengan perjalanan panjang yang pasti akan berakhir di suatu tempat. Sekumpulan burung bangau itu. Dan karenanya, kurasa disebabkan oleh itu, sebuah perasaan samar muncul malu-malu bahwa aku tak ingin pergi ke sekolah.

Perasaan yang tiba-tiba ini tidaklah cukup aneh. Ini seperti ketika aku terlampau malas untuk pergi di hari pertama masuk sekolah. Hanya saja, kemarin dulu aku tidak memiliki alasan yang bisa dibilang cukup masuk akal. Hari ini, manakala perasaan itu muncul, aku berpikir bahwa mimpiku yang semalamlah penyebab utamanya.

Ya. Itu jelas. Tak ada lagi yang bisa disalahkan. Bagaimana mungkin aku menjadi sebegitu tak berminatnya tanpa sebab. Sedangkan mimpi itu tiada hentinya menggangguku. Membuatku tidak mungkin tidak bisa berpikir bahwa gangguannya akan membentuk jarak yang tak bisa kuhindari nanti. Ketika aku bertemu dengannya. Duduk selama beberapa waktu yang tak mungkin kulalui dengan siksaan rasa canggung yang menyebalkan.

"Kak, udah sampai."

Aku tergeragap. Menoleh Ziya yang menatapku dengan kedua alis hampir bertemu.

"Ya," kataku kemudian sambil mengalihkan perhatian semua orang.

"Lo ngelamun, kan? Ati-ati lo. Ntar gampang disetanin. Udah gue bilangin juga. Sekolah lo itu sarang demit."

Aku tertawa mengejek. "Elo setannya. Lagian pagi-pagi gini mana ada setan coba? Ngaco."

"Ada. Banyak banget malah. Tuh buktinya. Salah satunya ya yang bikin elo ngelamun kayak orang bego sepagi ini."

Ibu menggeleng. Tapi Ziya tak peduli.

"Iya. Bener banget. Dan salah satu setannya itu elo," aku meraih pintu dan membukanya.

"Kak, gue seriusan," Ziya menatapku.

"Oke. Trim's." Ujarku sambil keluar.

"Kak, jangan bilang gue enggak bilangin lo kalo besok-besok lo kesurupan," Ziya sedikit meninggikan suaranya.

Tawaku meledak. Menandak-nandak di atas wajah Ziya yang memberengut. Meski begitu, aku tidak bisa tidak-memikirkan kata-katanya.

Ya. Bisa saja dia benar. Mungkin, aku malah sudah dirasuki. Tidak kalau mimpi yang semalam tidak betul-betul menggangguku.

Hanya saja, bagaimana aku dapat mengamsumsikannya demikian sementara aku tidak memiliki pengalaman sama sekali?

Aku melambaikan tangan mengusir keluargaku usia menutup pintu. Ziya tampaknya mengatakan sesuatu lagi. Tapi aku memilih tidak memperhatikannya selain tersenyum melihat tangan ibu menjulur lewat jendela membalasku. []

avataravatar