1 Prolog

Rinai hujan sudah membasahi bumi sejak siang tadi. Butiran bening yang jatuh dari langit itu menambah suasana romantis diantara sepasang sejoli yang tengah tertawa-tawa lepas dijalanan Pandeglang yang cukup sepi kala itu. Dibawah rintik hujan, mereka mengendarai sepeda motor dengan sangat bahagia, seperti jalanan ini memang dibuat hanya untuk mereka berdua.

"Ar, lebih kenceng lagiii ... !!" Nayla berteriak dari belakang. Tanpa rasa takut dia merentangkan kedua tangannya dengan mendongakkan kepala keatas , seakan-akan dia menantang ribuan air hujan yang jatuh.

"Siap, Tuan Putri," Arkan balas berteriak. Meskipun terpaan air hujan yang terkena hembusan angin cukup membuat matanya pedih, tapi dia tidak menghiraukannya. Arkan malah terus menambah kecepatan dari motor kesayangannya itu. Asalkan Nayla bahagia, apapun akan Arkan lakukan.

"Waahh ... " Nayla berteriak kegirangan. Tak pernah ia merasa sebahagia ini sebelumnya, padahal selama 2 tahun menjalin hubungan dengan Arkan, tak jarang mereka menghabiskan waktu bersama dijalanan seperti ini.

"Sudah sampai, Tuan Putri," Arkan menghentikan motornya didepan sebuah rumah megah milik Nayla. Tapi, Nayla tak bergeming sama sekali.

"Silahkan turun, Tuan Putri yang cantik jelita," Arkan memang biasa menggunakan panggilan itu untuk memanjakan Nayla.

"Emm, Aku gak mau turun, masih mau disini," alih-alih turun, Nayla malah tambah mengeratkan pelukannya.

"Tuan Putri, hujan semakin deras, nanti Tuan Putri bisa sakit. Sebaiknya Tuan Putri turun, mandi, ganti baju, besok-besok kan, masih bisa jalan-jalan lagi," Arkan membujuk Nayla yang memang sangat manja itu, sambil mengelus lembut tangannya yang melingkar diperut Arkan.

"Sebentar, aku ingin melukis waktu dibawah derasnya air hujan," Nayla masih enggan untuk turun. Kali ini, ada rasa yang tak biasa dihati Nayla, seakan dia ingin bisa seperti ini selamanya, berada dalam pelukan Arkan. Dia tidak ingin melepaskan Arkan, padahal besok pun mereka akan bertemu lagi di sekolah.

"Sudah, ya, Tuan Putri. Silahkan turun," perlahan, Arkan melepaskan pelukan Nayla. Bukan tak ingin seperti itu lebih lama, hanya saja hujan semakin deras. Bisa-bisa, Nayla malah demam jika dibiarkan terlalu lama.

"Iya, iya, Pangeran Kodok. Aku turun," Nayla mendengus sebal.

"Senyumnya mana? Masa Pangeran mau pergi, malah cemberut," Arkan menggoda Nayla.

"Apa hebatnya jadi pangeran kodok? Kodok kan, jelek, dekil, burik lagi! Hahaha," Nayla berteriak mengalahkan suara air hujan, disambut oleh gelak tawanya sendiri.

"Setidaknya Pangeran Kodok punya bentuk, daripada kamu Putri Kecebong. Kepala, badan sama kaki, bentuknya sama, hahaha," Arkan membalas ejekan Nayla.

"Ihhh!!" Nayla kembali mendengus sambil memukul pundak Arkan.

"Putri Kecebong yang kejam," seperti biasa, Arkan juga tidak mau kalah. Kini dia malah mengacak-acak rambut Nayla yang sudah basah kuyup.

"Yaudah, sana pulang! Hus ... hus," Nayla berlagak mengusir Arkan. Padahal, dalam hatinya ia ingin terus bersama dengan cowok tampan itu.

"Yaudah, cepet masuk, diluar dingin. Sampai ketemu besok Putri Kecebong," Arkan melambaikan tangannya kepada Nayla.

"Bye, Pangeran Kodok."

Arkan menyalakan sepeda motornya, sebelum pergi dia memberikan kiss bye melalu isyarat tangan kepada Nayla.

"Muaaachh."

Nayla berpura-pura menangkap kiss dari Arkan, lalu menyimpannya kedalam hati. Nayla tersenyum melihat Arkan yang perlahan-lahan menjauh, hilang ditelan derasnya air hujan. Setelah Arkan benar-benar hilang dari pandangan Nayla, barulah dia bergegas untuk masuk kedalam.

Sepanjang jalan, Arkan tidak henti-hentinya tersenyum membayangkan wajah cantik Nayla yang sangat manja itu, apalagi saat Nayla cemberut, wajahnya itu sangat menggemaskan. Arkan tidak terlalu fokus ke jalanan, karena saat itu memang kendaraan yang melintas tidak ramai, hanya beberapa saja.

Saat di perempatan dekat rumah Nayla, Arkan akan berbelok kearah timur menuju rumahnya. Tiba-tiba, dari arah berlawanan ada sebuah truk tronton yang melaju dengan kecepatan tinggi. Padahal, saat itu dari arah timur sedang dalam posisi lampu merah, tapi truk itu malah menerobosnya. Arkan sangat terkejut melihat truk tersebut, dia tidak punya kesempatan untuk menghindari, hingga akhirnya...

BRAK!!!

Truk tronton tersebut menabrak motor Arkan, hingga dia terpental jauh. Tubuhnya terbentur keras diatas jalanan yang basah itu. Darah segar mengalir dari kepalnya bersatu dengan derasnya air hujan dan mengalir bersamaan.

"Arkan," Nayla yang baru saja masuk ke gerbang, masih bisa mendengar suara tabrakan yang cukup nyaring itu. Entah kenapa hatinya tiba-tiba cemas dan sedih, dia teringat pada Arkan yang baru saja pergi meninggalkan rumahnya. Padahal, dia tidak tahu tadi itu suara apa? Atau jika benar pun itu adalah sebuah kecelakaan, belum tentu juga itu Arkan?

Tapi, hati Nayla berkata lain. Dia ingin memastikan sendiri apa yang terjadi. Nayla berlari sekencang-kencangnya, kembali menorobos air hujan yang jatuh semakin deras. Hatinya berdebar kencang, perasaannya sudah tidak karuan.

Saat sampai di perempatan, banyak orang yang telah berkumpul disana. Nayla menyeruak kedalam kerumunan itu, dia ingin melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Nayla tertegun, seluruh persendiannya lemas, tenggorokannya terasa tercekik, sementara air matanya mulai meleleh.

"Arkaaaaannn...!!!" Nayla menjerit sekeras-kerasnya ketika dia melihat tubuh Arkan tergeletak di jalanan. Belum ada yang berani menyentuhnya sebelum Polisi datang, karena mereka mengira bahwa Arkan telah tiada.

Tapi tidak dengan Nayla, dia berlari menghampiri Arkan yang tengah terbaring lemah di atas aspal jalanan yang basah. Nayla mengangkat kepala Arkan yang sudah bersimbah darah keatas pangkuannya.

"Arkan..!! Ar bangun!! Pangeran Kodok bangun," Nayla menangis histeris, air matanya bercampur dengan air hujan dengan air hujan yang menerpa wajahnya.

Perlahan Arkan membuka matanya.

"Ar ... Ar, kamu harus bertahan, Ar," Nayla mengelus wajah Arkan.

"Tu-an Put-ri, ja-ga di-ri, ya. Sela-mat ting-nggal," itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Arkan kepada Nayla, sebelum dia menutup hidupnya dengan dua kalimat syahadat dan pergi untuk selama-lamanya.

"Arkaaaaannn!!!" Nayla menjerit mengalahkan gemuruh petir yang sahut menyahut, mengalahkan deru air hujan yang semakin deras.

"Kamu gak boleh pergi!! Jangan tinggalin aku sendiri, Ar. Arkan, bangun, aku mohon banguuunn ... " Nayla mendekap tubuh Arkan yang bersimbah darah itu sangat erat, berharap bisa memberikan kehangatan di tengah dinginnya air hujan, hingga Arkan bisa kembali membuka matanya.

Namun sayang, maut memang telah begitu kejam pada Nayla, dia merenggut Arkan secara paksa, tanpa permisi.

Hancur, hatinya benar-benar hancur!!!

Takdir memang tidak bisa ditebak, apalagi perihal meninggalkan atau ditinggalkan. Keduanya sama-sama berat untuk dijalani, terlebih oleh orang yang terikat dengan kata cinta.

Malam itu, Nayla merasa dunianya hancur. Laki-laki yang telah menemaninya selama beberapa tahun, kini telah pergi. Meninggalkan sejuta kenangan yang membekas di pikirannya, menorehkan sebuah luka mendalam di hatinya.

Entah kenapa, takdir selalu mempermainkan Nayla. Apa salahnya, sehingga dia harus di hukum sedemikian rupa??

Sungguh, setelah kepergian Arkan, tidak ada lagi sosok Nayla yang ceria dan periang, yang ada hanyalah wajah lesu dengan binar mata penuh luka.

avataravatar
Next chapter