4 Part 3 : Tiba-tiba Dijodohin

"Nayla, ayo sayang, kita berangkat sekarang," panggil Gerald dari ruang tamu yang berada dilantai dasar.

"Iya, Pah. Nayla turun," Nayla keluar dari kamarnya dengan memakai gaun malam berwarna silver, dia terlihat sangat cantik, gaun yang dipakainya itu simple, tidak terlalu glamour, tapi cukup membuatnya terlihat elegan.

"Ayo, Pah," ajak Nayla sambil tersenyum.

"Anak Papah cantik sekali," Gerald memuji putri sulungnya.

"Iyakan Nayla anak Papah, kalau anak tetangga sebelah, mana mungkin Papah mau puji," Gerald terkekeh mendengar perkataan putrinya. Dia memang orang yang sangat selektif dalam hal memuji orang lain.

"Hehe, bisa aja kamu. Ayolah kita berangkat," Gerald mengulurkan tangannya, disambut oleh tangan kecil Nayla.

Meskipun Gerald sudah berkepala empat, tapi dia masih terlihat awet muda dan tampan, terlihat seperti masih berumur dua puluh tahunan. Sehingga, Gerald dan Nayla terlihat seperti adik dan kakak, bukan seperti bapak dan anak.

Keduanya pun pergi ke sebuah restoran yang telah dipesan sebelumnya dengan mengendarai sebuah mobil. Kali ini, Vivi tidak ikut karena memang dia harus belajar untuk ujiannya besok. Tapi, Vivi tidak sendiri di rumah mewah itu, dia ditemani oleh pembantu rumah tangga.

"Ayo, masuk," ajak Gerald.

"Di mana teman Papah?" Nayla celingak-celinguk mencari orang yang akan ditemui olehnya.

"Mungkin belum datang, kita tunggu saja disini," lalu Gerald memilih sebuah meja di restaurant tersebut.

"Silahkan, Pak. Mau pesan apa?" Seorang pelayan laki-laki menghampiri meja Gerald dan Nayla.

"Nanti saja, kami masih menunggu seseorang," ucap Gerald.

"Baiklah kalau begitu, permisi," pelayan itu segera berlalu.

Beberapa menit kemudian, barulah orang yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang.

"Gerald," sapa seorang laki-laki yang tampaknya hampir seumuran dengan Gerald.

"Evans," Gerald balas menyapanya. Mereka saling berpelukan, seperti layaknya teman lama yang saling melepas rindu.

Evans adalah sahabat karib Gerald, selama beberapa bulan belakangan ini, keduanya sibuk dengan bisnisnya masing-masing sehingga tidak ada waktu untuk bertemu. Kali ini Evans datang bersama dengan istrinya, yaitu Emely.

"Emely, Evans, bagaimana kabar kalian?"

"Sangat baik," Evans tak kalah antusias karena bertemu sahabatnya itu.

"Gerald, apa itu Nayla, putri sulungmu?" Tanya Emely, sepertinya Emily belum pernah melihat Nayla. Karena Nayla memang tidak pernah ikut ke acara-acara bisnis papahnya.

"Hallo, Tante. Iya, aku Nayla."

"Hai, kamu cantik sekali," Emely terpukau melihat Nayla, dan itu cukup untuk membuat Nayla tersipu malu.

"Sepertinya kamu seumuran dengan anak Tante,"

"Iya, benar. Bukankah dulu kamu dan Dara hamilnya berbarengan, hanya terpaut beberapa bulan saja," kata Gerald.

"Ah, iya aku baru ingat."

"Ke mana anak kalian? Apa dia tidak ikut?" Gerald penasaran karena sedari tadi dia tidak melihat anak itu. Padahal, tujuannya mengajak Nayla ke sini adalah untuk menjodohkannya dengan anak Evans dan Emely itu.

"Ada, dia di depan. Sedang mencari kunci mobil, sepertinya jatuh di parkiran".

Ah, syukurlah. Lega hati Gerald mendengarnya.

"Sudah lama kita tidak bertemu," ucap Evans.

"Ya, terakhir waktu itu, kamu hanya mengutus anakmu untuk datang ke kantorku," Gerald mengingat kali terakhir mereka berhubungan.

"Iya, benar. Waktu itu aku buru-buru harus segera pergi ke Hongkong"

"Wah, sukses pesat, ya. Bisnismu"

"Ya, Alhamdulillah"

Mereka terlibat perbincangan hangat untuk beberapa saat. Seorang anak laki-laki dengan postur tubuh tinggi dan wajah yang sedikit mencolok karena saking tampannya, datang mendekat.

"Pah, kuncinya ketemu," dia menunjukan sebuah kunci pada Evans.

"Nathan!" Nayla cukup terkejut melihatnya, ternyata anak dari teman papahnya itu adalah Nathan. Teman satu kelasnya di sekolah.

"Nayla," sama halnya dengan Nayla, Nathan pun sama terkejutnya.

"Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Evans.

"Wah, bagus kalau begitu. Jadi rencana perjodohan ini akan berjalan dengan lancar". Gerald tersenyum bahagia, itu artinya tidak akan sulit bagi Nayla untuk mendapatkan pengganti Arkan.

"Apa? Perjodohan?" Nayla benar-benar tidak mengerti maksud papahnya itu.

"Kenapa, Nay? Lo gak mau punya jodoh ganteng kaya gue, hah?!" Berbeda dengan Nayla, Nathan justru sangat senang mendengar berita perjodohan ini. Karena selama ini Nathan memang sudah mencintai Nayla. Nayla pun tahu akan hal itu, karena dulu Nathan pernah menyatakan perasaannya pada Nayla. Bahkan, sampai sekarang pun dia seperti masih berharap. Akan tetapi, perasaan Nayla dari dulu hingga saat ini masih sama, hanya untuk Arkan.

"His, penyakit narsis Lo kayanya mulai kumat, tuh," Nayla mendengus sebal.

"Sudah, sudah. Jangan ribut," Evans menengahi mereka.

"Iya, sudah, lebih baik sekarang kita makan malam dulu".

"Pelayan!" Gerald memanggil seorang pelayan yang tadi sudah menghampirinya.

"Silahkan, mau pesan apa?" Tanya pelayan tadi, dia masih sangat muda, sepertinya dia masih seumuran dengan Nayla dan Nathan.

"Pesan paket keluarga, ya. Yang paling lengkap," ujar Emely.

"Sama spaghetti bolognese satu, ya. Jangan pake pedes sedikit pun," kata Nathan, spaghetti adalah makanan kesukaannya.

"Baik, tunggu sebentar, ya."

Tak beberapa lama, pelayan tersebut datang lagi dengan membawa pesanannya.

"Silahkan, dinikmati," Pelayan itu terlihat sangat ramah.

"Wah, Spaghetti," Nathan langsung menyantapnya, air liur Nathan sudah menetes sejak melihat saus yang lumer di atas Spaghetti.

"Huhah..huhhhah! pedas ... pedas ...," Nathan menutup mulutnya yang penuh dengan spaghetti, agar tidak keluar.

"Nathan, ya ampun. Ini minum dulu," Emely menyodorkan gelas berisi minuman kepada Nathan. Emely tahu, anak tunggalnya itu sangat anti pada makanan pedas.

Nathan meneguknya dengan cepat hingga tak tersisa setetes pun.

"Hahh ... pedaass," mukanya tampak memerah karena kepedasan, apalagi bibirnya.

"Sialan!" Kini dia tampak terlihat sangat geram.

"Pelayaan!" Nathan memanggil pelayan yang tadi.

"Nathan, kamu mau apa?" Tanya Evans, tapi Nathan tidak menggubrisnya.

Pelayan tadi datang menghampiri, Nathan langsung beranjak dari duduknya.

"Sialan, Lo. Gue kan, udah bilang, jangan pake pedes sedikit pun. Lo sengaja mau bikin gue mati, hah!!" Nathan mencengkeram kerah baju pelayan tadi.

"Ma-maaf, saya tidak sengaja," Pelayan berkacamata tebal itu terlihat sangat ketakutan.

"Siapa nama Lo? Oh, Reno" Nathan melihat name tag yang dipakai oleh pelayan tersebut.

"Reno, gue akan buat Lo dipecat dari sini".

"Jangan ... saya mohon, jangan lakukan itu," Pelayan yang bernama Reno itu semakin terlihat ketakutan.

"Nathan!! Lepas!" Nayla berdiri menarik tangan Nathan dari kerah baju Reno.

"Tapi, Nay. Gue harus kasih pelajaran sama pelayan ini."

"Nathan!" Evans angkat bicara, dia tidak bisa tinggal diam melihat anaknya yang bertingkah sangat keterlaluan seperti itu.

"Pah, Nathan bener, ko. Dia kan, memang anti sama makanan pedes. Itu emang salah si pelayannya," bagitulah Ibu, akan selalu membela anaknya tak peduli sang anak benar atau salah sekali pun.

"Tenang, Om. Biar Nayla yang bicara sama Nathan," Nayla juga ikut menahan Evans, dia takut jika masalah ini semakin besar dan akan menimbulkan keributan di sini.

"Ayo, Nathan, ikut gue," Nayla menarik tangan Nathan, mau tak mau Nathan harus mengikutinya.

"Awas, Lo," Nathan mengacungkan jari tengahnya.

Nayla mengajak Nathan keluar restoran untuk berjalan-jalan dan menikmati udara segar, Nayla berharap angin malam akan memadamkan emosi Nathan.

"Nay, mau ke mana, sih?" Nathan masih mengikuti langkah Nayla

"Cari angin, biar kepala dan hati Lo adem."

"Abisnya itu pelayan ngeyel, gue kan ... "

"Stop! Gue ajak Lo kesini supaya Lo tenang, bukan mau dengar Lo marah-marah," Nayla memotong ucapan Nathan sambil menutup telinganya.

"Iya, iya, maaf."

Mereka kini berjalan beriringan di atas trotoar, lalu berhenti di sebuah jembatan yang di bawahnya adalah jalan tol menuju ke Tangerang.

Angin malam berembus sepoi-sepoi, memainkan anak rambut Nayla tak tentu arah.

"Di sini ternyata adem, ya," Nathan memulai pembicaraan, kini suasana hatinya sudah tidak lagi panas.

Nayla hanya mengangguk. Pandangannya menerawang jauh. Dia justru teringat akan sosok Arkan yang seringkali mengajaknya berhenti di sebuah jembatan seperti ini, untuk menikmati indahnya suasana malam. Hati Nayla sakit, ketika melihat banyak sepasang kekasih yang sedang berboncengan, juga ketika dia melihat motor Pixeon yang mengingatkannya pada motor kesayangan Arkan.

'Bagaimana aku bisa melupakannya, jika semua hal mengingatkanku padanya?' Kata Nayla dalam hati.

"Nay, Nayla," Nathan memanggil-manggil Nayla, tapi yang di panggil tidak bergeming sedikit pun.

"Nay," Kali ini, Nathan menyentuh bahu Nayla, membuat lamunan Nayla buyar seketika.

"Ihh, kebiasaan, hampir jantung gue copot," Nayla memukul punggung Nathan cukup keras.

"Abisnya, Lo bengong terus. Kenapa?"

"Semenjak, Arkan meninggal muka Lo itu jadi MADESU, alias masa depan suram. Gak ada bahagia-bahagianya," lanjut Nathan.

"Ihh, so tahu, kaya dukun," Nayla memasang mimik muka kesal. Entah kenapa setiap bertemu Nathan, Nayla sering sekali di buat kesal oleh cowok jangkung itu.

"Nay, gue tau, pasti Lo itu merasa kehilangan Arkan, gue juga sama. Sebagai temannya, gue juga sedih karena Arkan meninggal," padahal selama ini, Nathan dan Arkan lebih cocok disebut rival ketimbang teman. Karena, mereka itu seperti kucing Siberia yang tidak pernah akur. Faktor utamanya adalah karena mereka memperebutkan cinta Nayla. Sayangnya, Nayla lebih memilih Arkan.

"Udah dong, Nay. Sedihnya. Senyum Napa," Nathan tersenyum lebar, berharap agar Nayla pun ikut tersenyum. Tapi, Nayla justru malah memalingkan wajahnya.

"Nay, liat sini," Nathan memalingkan muka Nayla, agar gadis itu bisa melihatnya.

"Okey, dokeyo, is the true love. Yes," Nathan mulai menggerakkan badannya, mencoba untuk menirukan gaya dance BTS. Nayla hanya melirik sebentar, lalu kembali berpaling.

"Nay, uuu-aaa-uuu-aaa," kini Nathan berganti menirukan gerakan kera dengan ekspresi yang sangat lucu. Wajah ganteng cowok itu seketika berubah menjadi sangat jelek.

"Hahaha, udah. Muka Lo serem," akhirnya, Nayla tak bisa menahan tawanya.

"Asik, akhirnya Lo bisa ketawa," Nathan tersenyum puas.

"Nay, jujur, gue bahagia banget, waktu tahu tentang perjodohan ini. Gue rasa kita itu emang ditakdirkan untuk bersama," katanya kemudian.

"Tapi gue nggak," ucapan Nayla cukup menohok di hati Nathan.

"Kenapa, Nay? Kenapa Lo gak pernah bisa lihat tulusnya cinta gue? Dulu, Lo lebih memilih Arkan daripada gue, sekarang apa? Nay, kasih satu aja kesempatan buat gue," Nathan akhirnya mengeluarkan semua yang selama ini tersimpan di hatinya. Semua rasa sakit yang dia rasakan ketika melihat Nayla dan Arkan bersama.

"Lo tau, Nay. Selama gue idup, gak ada satu pun cewe yang pernah nolak gue kecuali Lo," itulah Nathan, selalu memiliki kepedean di atas rata-rata.

"Lo mau tahu?" Nathan mengangguk cepat.

"Karena Lo itu sombong, songong, banyak gaya, emosional, pemalas, ... "

"Buset, Nay. Udah," wajah Nathan terlihat mengkerut, tapi dia sadar yang Nayla sebutkan tadi memang sifat-sifatnya.

"Dan ... " Nayla berhenti sejenak.

"Masih ada? Itu kekurangan gue apa daftar belanjaan? Banyak bener," Natha menggaruk-garuk kepalanya.

"Ada, satu lagi, tingkat kepedean Lo dan narsismenya itu ketinggian, bikin gue ilfil. Eh, lupa gue, satu lagi ternyata. Lo itu terlalu masa bodo sama pelajaran di sekolah," meskipun Nathan ganteng dan kaya, tapi dia adalah salah satu siswa dengan nilai terendah di kelas.

"Jadi, karena itu Lo nolak gue. Masalah itu mah gampang, gue bisa berubah," Nathan berpikir, wajar selama ini Nayla lebih memilih Arkan, karena sikap Arkan memang 180⁰ berbeda dari dirinya.

"Gak segampang itu juga kali,"

"Gue janji, kalau misalnya Lo kasih gue kesempatan, gue akan berubah," Nathan mengulurkan jari kelingkingnya sebagai tanda perjanjian.

Nayla akan sangat senang jika dia bisa merubah seseorang menjadi lebih baik. Tapi, menerima orang baru di saat hatinya sedang berantakan, sama sekali tidak dia inginkan. Jika pun suatu saat nanti, dia menemukan pengganti Arkan, maka hatinya harus tulus dalam mencintai orang itu, bukan karena apa pun.

"Lo pikir gue cewe apaaan? Pusara Arkan aja masih basah, masa iya gue udah jadian sama Lo," kata Nayla sambil beranjak pergi.

Nathan terdiam, rasanya baru kali ini dia merasa sangat kesulitan mendapatkan seorang cewe, bahan jauh lebih sulit dari rumus logaritma.

"Nay, Lo mau kemana?" Nayla sudah berjalan cukup jauh.

"Balik ke resto, orang tua kita pasti nungguin," teriak Nayla. Akhirnya, Nathan pun Mengikutinya.

Malam itu, acara pertemuannya jauh dari harapan. Tapi, Gerald tetap senang melihat Nayla yang sebentar lagi akan menemukan pengganti Arkan.

avataravatar
Next chapter