3 Part 2 : Best Friend

Karena terlalu lelah menangis, Nayla akhirnya tertidur. Padahal, jam sudah menunjukkan dini hari.

Kebetulan, hari ini adalah hari Minggu dan juga saat itu Nayla sedang haid. Jadi, tidak ada alasan yang membuatnya harus bangun pagi.

Tapi, tiba-tiba...

Tok Tok Tok!!

Pintu kamarnya diketuk, entah siapa yang berani mengganggu tidurnya di pagi hari seperti ini. Nayla termasuk orang yang mudah sekali terbangun meski hanya mendengar suara-suara kecil.

"Nayla...!!" Panggil seseorang yang suaranya sangat familiar ditelinga Nayla. Dengan enggan, Nayla beranjak dari tempat tidurnya.

"Hoaamm..." Nayla menguap sambil mengucek matanya. Dia masih sangat mengantuk.

"Naylaaaa...!!" Saat pintu terbuka, tampaklah dua makhluk yang sedang tersenyum lebar dengan kedua tangan direntangkan, berdiri dihadapan Nayla.

"Uuuhh, thayang. Baru bangun, ya," dengan kelebayan tingkat dewanya, Fanny mencubit pipi Nayla dengan gemas, lalu memeluknya.

"Ihh, Fanny jorok. Itu Nayla baru bangun, masih bau jigong," Jessy menarik Fanny dari pelukan Nayla.

"Sembarangan, mana ada gue bau," Nayla mendelik sambil menghempaskan rambut panjangnya ke samping.

"Iya, ih, Jessy. Nayla itu cantik, dan orang cantik pasti wangi. Emangnya Jessy," Fanny malah membela Nayla.

Jessy terbelalak, "what? Kenapa malah gue yang di bully?"

"Hahah, tau rasa. Mangkanya, Jangan macem-macem sama gue. Karena, gue punya pembela setia," Nayla merangkul pundak Fanny. Cewe berambut pirang itu hanya tersenyum lebar.

"Fan, gue punya foto terbaru si Jojo, loh. Yakin gak mau?" Jessy berbisik ditelinga Fanny. Kini, mata belo Fanny berbinar senang. Sudah lama, dia menyukai seorang cowok bernama Jojo, namun Jojo tidak menerima cintanya selama ini.

"Sorry, Nay. Ternyata benar kata Jessy, Nayla bau," kata Fanny dengan cepat. Sambil buru-buru merangkul Jessy.

"Jessy lebih wangi," dia tersenyum sambil mengedipkan matanya pada Jessy.

"Wah, ini namanya sogok menyogok. Lo harusnya setia sama gue, Fan-Fan," Nayla memukul Fanny, pelan.

"Hahaha," kini, Jessy tertawa puas atas kemenangannya.

Begitulah, saat mereka bertiga sudah berkumpul, maka seisi ruangan akan penuh dengan canda dan tawa. Diantara ketiganya, Fanny-lah yang paling lemot dan juga polos. Karena kepolosannya itulah, dia sering jadi bahan bercandaan oleh Jessy dan Nayla. Meski begitu, Fanny tidak pernah marah, dia justru malah senang karena bisa menghibur teman-temannya.

"Nay, cepet mandi 'gih, sana," Jessy mendorong Nayla ke kamar mandi.

"Apa, sih? Datang-datang suruh gue mandi," Nayla mengelak.

"Yaudah, jangan mandi. Ganti baju aja, dandan yang cantik."

"Ih, jangan dengerin kata-kata Fanny, dia itu ajaran sesat. Meskipun, sekarang ini Lo jomblo. Tapi, mandi itu wajib," Jessy menyanggah kata-kata Fanny. Tapi, Perkataan Jessy tadi tampaknya cukup membuat Nayla kembali merenung.

"Eh, sorry, Nay. Bukan maksud gue mau buat Lo jadi sedih lagi," Jessy sadar kalau perkataannya tadi membuat Nayla teringat akan kenyataan pahit itu.

Nayla tersenyum, "santai kali. Perkataan Lo bener. Sekarang gue jomblo," suasana malah berubah menjadi haru.

"Fanny juga jomblo, kok, Nay. My dear Jojo belum nembak-nembak Fanny," Fanny memilin jarinya sambil memasang mimik wajah memelas.

"Mana mau Jojo pacaran sama cewe kaya Lo, Fan-Fan," ejek Jessy. Dia memang orang yang paling hobi mengejek Fanny.

"Ih, Jessy jahat!" Fanny mendengus kesal, "suatu saat nanti, My dear Jojo akan jadi milik Fanny," lanjutnya, sambil menungkupkan kedua tangannya di dada. Penyakit halu Fanny sepertinya mulai kambuh.

"Halu terus," Jessy menutup kedua telinganya, enggan mendengarkan hayalan receh Fanny.

"Emangnya, kalian mau ajak gue kemana?" Tanya Nayla, mengalihkan pembicaraan.

"Ya, kita hangout aja, Nay. Kita happy-happy. Seperti biasa."

"Iya, Nay. Semenjak Arkan meninggal, Nayla gak pernah lagi ikut hangout , shopping, ataupun hunting, sama kita," Funny terlihat sedih.

Memang benar, semenjak kepergian Arkan, Nayla selalu mengurung diri di kamar. Dia hanya keluar jika pergi ke sekolah, setelah itu dia akan kembali mengurung diri.

Nayla menggeleng, "males," hanya itu yang dia katakan sebagai bentuk penolakannya.

"Kenapa?" Jessy mengerutkan keningnya. Padahal selama ini, tidak pernah sekalipun Nayla menolak ajakan Jessy dan Funny.

"Gue males keluar. Jalanan cuma buat gue tambah sedih dan inget sama tragedi malam itu," pandangan Nayla menerawang jauh.

"Nay, ayolah, kalau cuma gue sama Fanny, rasanya kurang. Kalau kata pepatah, bagai sayur tanpa garam," Jessy masih membujuk Nayla.

Nayla kembali menggeleng, dia masih bersikeras tidak ingin pergi kemana pun, "please, jangan paksa gue. Buat sekarang, gue belum bisa keluar. Sorry," kali ini Nayla yang memasang wajah memelas. Mereka terdiam beberapa saat.

"it's ok, no problem, kita tunggu sampai Lo mau, Nay," akhirnya Jessy mengalah.

"Iya, Nay. Kita setia, kok."

"Thanks, gays," Nayla terharu melihat teman-temannya yang begitu pengertian akan keadaannya saat ini.

"Peluk, Nayla," kata Funny dengan nada manjanya. Mereka pun saling berpelukan penuh kasih sayang. Jessy dan Funny tahu, bahwa Nayla sangat mencintai Arkan, wajar jika Nayla sangat sulit untuk mengikhlaskan kepergian Arkan.

"Yaudah, kita pulang dulu," kata Jessy.

"Kita pasti kesini lagi, kok, Nay."

"Kalau lo butuh teman curhat, jangan lupa telpon kita. Gue dan Funny akan selalu ada buat lo."

"Pasti, kalian kan sahabat gue."

"Dah, Nayla."

"Sampai ketemu besok di sekolah," Jessy dan Funny melambaikan tangan kepada Nayla. Lalu mereka pun pulang kerumahnya masing-masing.

Detik demi detik terus bergulir, jarum jam terus bergerak, matahari pun tak hanya diam, tapi cinta di hati Nayla masih sama, kepergian Arkan tidak membuat cintanya berkurang. Selama ini, dia hanya diajarkan untuk mengingat, karena itu, melupakan sama sekali bukan keahliannya.

***

Matahari masih tersenyum, bersinar terang diatas cakrawala. Membakar semangat sebagian orang yang sedang melakukan rutinitasnya. Tapi tidak bagi Nayla, secerah apapun senyum sang mentari, hari-harinya masih terasa gelap, tanpa kehadiran sang kekasih yang amat dicintainya itu.

Disebuah meja makan yang megah, dengan berbagai macam lauk pauk sebagai hidangan diatasnya, terlihat hanya ada dua orang yang menempati meja itu.

"Vi, kemana Kakak kamu?" Tanya Gerald kepada putri bungsunya.

"Biasa, Pah. Ada dikamar," Vivi menjawab sambil menyendok sesuap nasi.

Gerald menarik nafas panjang, "semenjak kepergian Arkan, Kakak kamu tidak ceria seperti dulu. Dia menjadi pemurung dan selalu mengurung diri dikamar."

"Iya, Pah. Vivi juga khawatir sama keadaannya Kak Nay," kata Vivi.

Gerald tahu bagaimana perasaan Nayla, dia pasti sangat hancur saat ini. Tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa orang yang sangat dicintai, ternyata harus pergi lebih dulu. Sama halnya seperti saat Gerald kehilangan sang istri. Tak mudah untuknya bisa kembali bangkit dan menata kehidupan yang sudah benar-benar hancur. Jika bukan karena Nayla dan juga Vivi, mungkin saat ini Gerald pun masih terpuruk.

Karena sampai sekarang, Gerald masih sering menangis di malam hari, ditengah sunyinya malam, dia mencurahkan segala kerinduannya kepada istri tercinta.

Gerald mencoba berpikir keras, dia ingin membuat putri sulungnya itu kembali ceria. Gerald tidak ingin melihat Nayla terus menerus bersedih dan mengurung dirinya seperti itu. Bagaimana pun, kehidupan Nayla masih panjang, dia masih punya masa depan yang harus dia persiapkan dari sekarang. Satu-satunya cara untuk membuat Nayla kembali ceria adalah dengan menemukan sosok pengganti Arkan dihidupnya. Itulah solusi terbaik yang ada dalam pikiran Gerald saat itu.

Gerald teringat pada salah seorang anak dari sahabat karibnya yang sempat menemuinya beberapa waktu lalu. Gerald rasa, dialah orang yang paling tepat untuk menggantikan posisi Arkan dihidup Nayla. Selain tampan, anak itu juga sepertinya baik. Maka, Gerald langsung mengatur pertemuan dengan sahabatnya itu.

***

avataravatar
Next chapter