13 Part 12 : Toko Buku

awalnya Nayla berdiri di sebelah kanan Reno, tapi Nayla terlalu takut kalau-kalau ada sepeda motor yang menyerempetnya. Akhirnya, Nayla pindah posisi ke sebelah kiri. Padahal, di situ ada arwah Arkan.

"Gue jalan sebelah sini ya, biar kalau ada apa-apa Lo duluan yang ke tabrak," kata Natal.

Nayla yang tidak bisa melihat makhluk astral itu pun dengan santainya berjalan, hampir saja tubuhnya menabrak arwah Arkan.

"Ee buset, woyy ada gue di sini. Gila kali ya ini cewek," Arkan sangat geram, tapi untungnya dia menghindar secepat kilat. Dari posisinya saat ini, dia bisa melihat wajah Nayla sangat dekat.

"Mata itu ... " sorot mata Nayla sangat teduh, jauh di dalam bola matanya yang hitam legam ada luka yang mendalam. Tapi, bagi Arkan sorot mata Nayla itu menembus ke dalam jantung, mengobrak-abrik seluruh ruang di hatinya. Arkan merasa ingin selalu melihat mata itu. Pertanyaan serupa pun muncul kembali dalam benaknya.

"Siapa sebenarnya gadis ini? Apakah dulu dia dekat denganku?"

Reno sempat terbelalak ngeri, khawatir Nayla benar-benar menabrak arwah Arkan, sebelum akhirnya dia bisa bernapas lega.

Mereka terus bercengkrama, lebih tepatnya Nayla yang banyak bicara dan Reno hanya menjawab apa yang perlu dengan singkat. Tak lama,ereka pun sampai di toko buku.

Nayla mengajak Reno ke lantai tiga, tempat buku novel berada. Gadis itu menghirup aroma khas dari kertas yang masih baru. Telunjuknya menyusuri satu persatu deretan buku. Bukan, bukan untuk mencari sebuah buku, dia hanya ingin mengenang.

"Ka-kamu mau cari buku apa?" Tanya Reno, memecahkan keheningan.

"Em, gue ke sini bukan mau cari buku," jawab Nayla.

"Terus?" dahi Reno sedikit berkerut.

"Gue mau mengenang seseorang," ujar Nayla.

Seseorang? Siapa yang dia maksud? Hati Arkan bertanya-tanya. Dia berusaha mengingat sesuatu yang berhubungan dengan toko buku.

"Gue mau ... "

"Lo spesial,"

Sekelebatan percakapan bisa Arkan dengar, dia terus menutup matanya semakin dalam agar bisa mengingat lebih banyak. Tapi, yang dia lihat hanya deretan buku dalam rak, itu di mana? Sebuah bayangan berwarna hitam, kelam, semuanya gelap. Ah, Arkan tidak bisa mengingatnya, dia tidak yakin deretan buku yang ada dalam benaknya itu tempat ini atau bukan?

"Siapa, Nay. Apa orang itu spesial? Kenapa kamu harus mengenangnya?" Ingin sekali rasanya Reno menanyakan hal itu, namun dia sadar, bahwa dia tidak punya hak untuk mengetahui kehidupan pribadi Nayla. Jadilah, dia hanya mengikuti langkah Nayla, tanpa bertanya apapun.

"Arkan sayang, aku di sini. Di tempat yang bersejarah buat kita. Kamu inget kan, dulu kamu nembak aku di sini, itu hari pertama kita jadian," hati Nayla tak bisa berhenti berkata. Ada segumpal kerinduan di dalam sana. Obat rindu itu hanyalah temu. Maka bagi Nayla, kerinduan ini tak akan pernah terobati.

Kini, pandangannya mulai kabur karena banyaknya butiran bening yang menggumpal di pelupuk matanya. Nayla menopang tubuhnya yang mulai bergetar dengan berpegangan pada rak buku. Hatinya kembali sakit, jiwanya kembali terguncang.

"Nay, kamu kenapa?" Tanya Reno, dia melihat Nayla begitu rapuh. Ada apa sebenarnya dengan toko buku ini?

Begitupun Arkan, dia terus memperhatikan setiap gerak gerik Nayla.

"Gapapa, gue laper. Kita makan yuk," Nayla bergegas pergi dari tempat itu. Dia tidak bisa lama-lama di sana. Rupanya, toko buku tidak bisa lagi jadi tempat dia refreshing, justru sekarang toko buku menjadi tempat yang sangat menyakitkan.

"Nay, tapi ini aku nemu buku karya Habiburrahman yang terbaru," teriak Reno. Tapi, Nayla tidak menghiraukannya.

"Udah, cepet kejar tuh. Kayanya dia sakit deh," kata Arkan.

Reno mengangguk cepat, dia segera menyusul Nayla dengan setengah berlari.

"Nay, mau makan di mana?"

"Di cafe aja yuk,"

Reno sedikit terkejut. Cafe pasti mahal, dari mana dia punya uang untuk makan di cafe.

"Nay, kita makan siomay aja yuk. Aku tau, tempat siomay terenak di sekitar sini," Reno menolak ajakan Nayla secara halus.

"Bilang aja Lo gak punya duit, kan?" celetuk Arkan.

"Sttt ... " pemuda itu memberi isyarat kepada Arkan untuk menutup mulutnya.

"Oh ya, di mana?" Tanya Nayla.

"Yuk, ikut aku," Reno terus berjalan di atas terotoar membawa Nayla ke sebuah tempat yang sarat dengan pedangan kaki lima. Banyak gerobak-gerobak yang bertengger di sekitar sana menjual berbagai makanan.

Nayla melihat sekelilingnya dengan pandangan aneh, karena dia belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya. Maklumlah, Nayla itu anak konglomerat.

"Sini, Nay," Reno berhenti di sebuah gerobak yang bertuliskan "siomay Bandung".

"Bang, pesen siomay di porsi, ya," kata Reno.

"Siap, Nak Reno," balas si pedagang. Rupanya dia sudah mengenal Reno karena seringnya Reno makan siomay di situ.

Nayla masih berdiri kaku. Dia melihat sekelilingnya, memastikan bahwa tempat itu bersih.

"Tenang, Nay. Bersih ko," Reno seakan tahu apa yang sedang Nayla pikirkan.

"Iya," Nayla perlahan duduk di atas bangku plastik yang sudah di sediakan di sana.

"Ini, silahkan," si mamang siomay menyuguhkan dagangannya.

Nayla mencicipi sedikit bumbu kacang di ujung sendoknya, saat bumbu itu menyentuh lidahnya, ada sensasi tak biasa, rasa gurih, manis, pedas, semuanya bercampur jadi satu menciptakan rasa yang benar-benar menggoyang lidahnya. Mata Nayla membulat, baru kali ini dia menemukan siomay dengan sensasi rasa yang seperti ini.

"Gimana? Enak kan?" Tanya Reno, dia tersenyum melihat ekspresi wajah Nayla.

"Ini sih lebih enak dari siomay di resto," Nayla menyia-nyiakan waktu lagi, dia segera melahap sendok demi sendok siomay tersebut.

"Eh, Lo tau tempat ini dari mana?" Tanya Nayla dengan mulut yang sedikit penuh oleh makanan.

"Dari Ibuku. Dulu, awalnya aku gak mau di ajak ke sini, biasalah waktu kecil aku pengen kaya anak-anak yang lain, bisa makan di restoran,"

"Terus?"

"Terus Ibu bilang, katanya siomay ini enak, sampe-sampe Spiderman, Iron man, sama Batman juga makan siomay di sini buat nambah kekuatan. Mangkanya aku mau," kata Reno dengan wajah polosnya. Sontak saja, tawa Nayla pecah seketika mendengarnya.

"Masa Batman makan siomay di sini," kata Nayla di sela-sela tawanya. Tawa Nayla begitu lepas, hingga rambut panjangnya itu terombang ambing begitu saja. Matanya semakin menyipit saat tertawa.

Reno dan Arkan seperti terhipnotis melihat itu, tak ada raut wajah sedih seperti sebelumnya, kecantikan Nayla bertambah saat tertawa seperti ini.

"Ketawanya merdu banget, gak kaya mbak Kunti," kata Reno dalam hati.

"Tawanya indah banget. Rasanya gua pengen selalu liat dia ketawa kaya gitu," pikir Arkan.

"Eh, sorry ya, gue gak bermaksud ngetawain Lo. Tapi itu beneran lucu tau," Nayla jadi salah tingkah, dia baru sadar kalau ketawanya berlebihan.

"Gak apa-apa ko," kata Reno.

Tak sampai sepuluh menit, dua piring siomay telah ludes, berpindah ke perut Nayla dan Reno. Mereka segera membayar siomaynya, lalu beranjak pulang.

"Ren, Lo mau langsung pulang?" Tanya Nayla.

Reno menggeleng, " aku mau kerja dulu,"

"Oh, jadi Lo masih kerja part time,"

"Iya, Nay,"

"Kenapa Lo harus kerja?" Nayla bertanya karena dia memang begitu penasaran.

"Buat biaya hidup sama pengobatan Ibu," jawab Reno sedikit menunduk.

Nayla mengerutkan keningnya, "Ibu Lo sakit apa? Terus emang ayah Lo kemana?"

"Ibuku sakit Leukimia, dan aku udah yatim sejak beberapa tahun lalu," kini Reno benar-benar menunduk sedih.

"Ya ampun, sorry ya, pasti pertanyaan itu bikin Lo sedih. Gue tau ko gimana rasanya di tinggalin orang tersayang," Nayla menepuk bahu Reno pelan.

Arkan yang berdiri di samping Reno, kali ini tidak banyak bicara. Karena ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya, dia hanya terus memperhatikan setiap tingkah Nayla.

"Iya, gak apa-apa, Nay,"

"Yaudah, gue duluan ya, dah. Makasih udah nemenin gue hari ini," Nayla melambaikan tangannya sekilas seraya masuk ke dalam mobil yang baru saja datang menjemputnya.

Reno terus memandangi mobil Nayla sampai hilang di tikungan, Reno merasa begitu nyaman di samping Nayla hingga ia tidak merasa gugup lagi seperti biasanya. Baru kali ini, Reno bisa mempunyai teman yang berwujud manusia.

Tanpa mereka sadari, rupanya sedari tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikan keduanya dari kejauhan.

avataravatar
Next chapter