17 Yang pelan dong

"Aw!" Tian memekik dikala Aya mengerokkan koin dengan arah melintang pada punggung Tian.

"Jangan lebay!" Aya memukul punggung Tian gemas, karena sedari tadi Aya menggosokkan koin pada punggung Tian, Tian malah membuat suara yang aneh ditelinganya.

"Sakit Ya."

"Makanya anteng, baru kerok dikit aja badan udah kayak ulet gatel."

"Iya, anteng nih."

Aya melanjutkan kembali menuang minyak kayu putih dan mengeroki punggung Tian. Aya menghela nafasnya lega melihat Tian anteng, seperti perintahnya.

Pekerjaan seperti ini sangatlah kecil untuk Aya, karena sedari kecil jika ayahnya kelelahan setelah pulang bekerja, atau sedang tidak enak badan, Aya dengan sigap membantu ayahnya untuk memijat atau mengerokinya.

"Yang pelan dong Ya."

"Ini udah pelan bambank. Lagian punggung kamu yang gak rata gini, banyak ototnya makanya sakit pas dikerok."

"Masa sih?"

"Iyalah."

"Kamu gak suka ya badan kayak gini." Tian menggerakkan otot-otonya, membuat Aya menelan ludah kesusahan.

"Enggak suka!" Jelas saja Aya tidak suka, punggung yang sudah penuh garis kemerahan ini sangatlah peluk-able dan Aya tidak ingin kehilangan akal.

"Yah, padahal buatnya susah loh Ya."

"Buat aja yang gampang."

"Buat anak gampang. Bikin yuk Ya." Aya melotot, segera memukul punggung Tian dengan sangat keras.

"Lo kali yang lagi hamil. Lo kan yang muntah-muntah." Tanpa persiapan melindungi diri Aya memekik, saat Tian denfan cepat membalik badan, menyentilkan jarinya di dahi Aya dengan sangat-sangat keras.

Aya mendelik sebal, menatap punggung yang sudah kembali ke posisi awal itu. Aya tersenyum miring, memikirkan hal bagus untuk membalas perbuatan Tian.

"Aya! Jangan keras-keras." Aya menggosokkan koin itu lebih keras dari pada sebelumnya.

"Rasain tuh."

"Iya deh, aku minta maaf. Jangan keras-keras."

Aya menekan koin dengan keras satu kali sebelum akhirnya memelankan pergerakan tangannya.

"Yan, kamu tahu gak?"

"Gak tahu, kan belum kamu kasih tahu."

"Iya dengerin dulu. Malam pas gue cari Citra ke club kan gue ketemu sama nenek-nenek tuh. Lah terus tadi ketemu lagi pas pulang dari mini market."

"Jodoh berarti."

"Seriusan Yan."

"Terus kenapa sama nenek-nenek itu?"

"Nah entah malam itu atau tadi, nenek itu selalu bilang aku bakal kehilangan sesuatu yang berharga gitu." Tian merasakan pergerakan koin dipunggungnya terhenti.

Tian menarik tangan Aya yang bersandar pada bahu Tian, menggenggam tangan bergetar itu, menyalurkan ketenangan. "Tapi bukannya karena jam ditangan kamu ini, kamu berhasil nyelamatin Citra?"

"Iya, cuma anehnya nenek itu juga bilang aku gak boleh terlalu bergantung pada jam ini atau percaya sama ucapan mbah Suripah."

"Mbah yang kita kunjungin waktu itu?"

"Iya bener, mbah Suripah bilang kalau aku harus lawan mimpi kan? Sedangkan dari yang aku pahami, menurut kata nenek-nenek yang aku temuin dijalan, aku cuma harus menerima takdir yang sudah seharusnya terjadi dan katanya tindakanku itu percuma. Aku gak tahu mana yang harus kupercaya."

"Gak usah khawatir Ya, kalaupun seluruh dunia ini mati karena dapat mimpi dari kamu. Aku akan jadi satu-satunya yang gak akan menerima dan bakal nemenin kamu sampe akhir."

Mendengar itu, memori Aya kembali pada tahun-tahun dimana Aya dan Tian akan menginjak kelas satu SMA.

* Flash back

Tian menggedor-gedor kamar Aya berulang kali, namun Aya tak berniat membukakan pintu untuk Tian. Tak lama ayah Aya meminta Tian untuk kemari lagi nanti.

Baru setelah suasana sedikit lebih tenang, Aya membuka pintu perlahan mengintip diantara celah yang tercipta. Memperhatikan punggung Tian yang pergi menjauh dari kamarnya bersama dengan ayahnya.

Saat itu Ayah Aya dan Tian sangat dekat, jika dibilang karena Ayah kandung Tian sibuk bekerja dan jadilah Ayah Aya menjadi sosok pengganti bagi Tian. Namun jika dimasa kini Ayah Aya terlihat sedikit menjaga jarak pada Tian.

Aya menutup pintu itu, menimbulkan bunyi yang membuat Tian dan Ayahnya menoleh kembali ke kamar Aya.

Keesokannya lagi Tian akan mengetuk pintu kamar Aya sambil berkata. "Aya dua hari lagi aku mau pindah rumah? Yakin gak mau main sama aku."

Dan Aya akan berteriak. "Pergi aja. Gak usah kesini."

Sekali lagi Aya mengintip kepergian Tian.

Keesokannya lagi Tian mengetuk pintu Aya, menunggu Aya selama tiga jam didepan pintu kamar.

"Aya besok aku pindah. Hari ini kesempatan terakhir buat main bareng. Kamu yakin gak mau main?"

"Kamu gak takut sama aku? Bunda meninggal karena aku, kamu gak takut mati?"

"Aku sudah bilang berapa kali aku gak takut dan aku percaya sama mimpi kamu."

"Bohong! Sana pergi." Aya melempar kotak pensilnya pada pintu kamarnya yang masih tertutup rapat.

Setelah itu Aya mendengar langkah kaki yang menjauh. Aya menangis sembari memunguti alat tulisnya yang berserakan.

Aya membenci dirinya yang meneriaki Tian. Aya membenci suara pergerakan jam besar yang ada dirumahnya. Mengingatkannya pada alat yang dimiliki para psikolog atau dokter kejiwaan yang merawatnya.

Aya meremas bahunya yang memiliki bekas luka itu dengan kuat. Ini merupakan satu-satunya bukti bahwa mimpi Aya benar adanya menjadi keyataan dan Aya sama sekali tidak gila.

Keesokan paginya saat barang-barang rumah Tian sedang diangkat menuju truk besar itu, Tian kembali menghampiri Aya yang terlihat sibuk menggambar dikamarnya. Kali ini Aya sengaja membiarkan pintunya terbuka.

"Aya, aku mau pamit."

"Hm." Tian berjalan semakin mendekat.

"Aya, kamu gak mau peluk aku?"

"Buat apa? Lebih baik kamu cepet pergi dari sini sebelum aku bermimpi tentang kamu."

"Aku gak takut Ya, lagian walau rumah aku pindah kita tetep bisa ketemu disekolah baru kita."

"Kamu kan gak sekolah di.., maksud kamu?"

"Aku diterima disekolah yang sama kayak kamu." Sorot mata Aya memancarkan kebahagiaan, namun kembali suram saat mengingat ketakutannya jika suatu hari nanti Aya bermimpi tentang Tian.

"Tenang aja, walau gak jadi di luar negeri. Dengan otak encer ini aku bisa jadi apapun yang aku mau. Hehe." Aya mengalihkan perhatiannya kembali pada gambarnya.

"Kenapa? Lebih baik kamu jauh-jauh dari aku."

"Aku gak mau, aku akan ikuti kemanapun kamu pergi." Aya menatap Tian berkaca-kaca, Tian tersenyum lembut pada Aya sembari mengelus-elus rambut Aya.

"Jadi kalau semua orang diseluruh dunia mati karena kamu mimpiin mereka. Aku akan jadi satu-satunya orang yang gak akan mati dan bakal selalu ada disamping kamu sampai kita menua nanti." Tian mengecup pelan dahi Aya, membuat Aya terkejut.

Sebelum Tian meninggalkan Aya dengan keterkejutannya, Tian menyempatkan diri mengacak-acak rambut Aya.

Aya tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara mesin truk yang dihidupkan. Menyadari Tian sudah tidak ada diruangan ini lagi.

Aya segera berlari menuruni tangga, keluar rumahnya, berhenti di depan pagar rumahnya. Menatap truk yang sudah berjalan jauh hingga truk itu menghilang.

Ayah Aya menghampirinya, merapikan rambut anaknya.

"Masuk yuk Ya. Tante tadi ngasih sayur buat kita, katanya setelah ini mungkin gak bisa sering kasih lagi." Aya mengangguk.

Setelah itu Aya berhenti menemui psikolog dan mulai menghabiskan waktu dengan menggambar hingga kuliah dan berhasil memenangkan banyak kejuaraan sehingga berhasil membeli rumahnya sendiri. Keluar dari bayang-bayang bundanya.

Tian? Tentu Tian berhasil menjadi pengacara hebat seperti keinginannya. Ucapannya benar-benar dibuktikan, Tian selalu mengikuti Aya kemanapun Aya pergi, bahkan ke kampus yang sama, walaupun sekarang berbeda kantor tapi Tian adalah panggilan cepat nomor satu di hp Aya.

avataravatar
Next chapter