15 Tentang Citra 2

Aya melihat tersisa satu potong pizza terakhir, mengambilnya dan melahapnya hingga habis. Citra dan Wati yang melihat itu melongo, sebenarnya bagi Citra itu sudah sangat sering dilihatnya, namun dilihatnya berkali-kali tetap menakjubkan.

Sedangkan Wati baru pertama kalinya melihat hal tersebut. Mereka nampak terkejut lantaran Aya memakan hampir separuh dari semua makanan yang mereka pesan.

Wati menatap perutnya sendiri, mungkin jika porsi makannya sebanyak Aya, perutnya akan terlihat buncit saat ini.

"Makan itu sebelum kenyang berhenti Ya." Nesehat Citra, namun Aya justru menunjukkan gigi ratanya dengan sebuah senyuman.

"Belum kenyang kok. Kalau masih ada masih kuat." Aya memukul-mukul perutnya sendiri, merasa bangga karena banyak makanpun tidak akan bisa membuatnya gemuk.

Citra hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan temannya satu ini. Aya dan Citra beralih menatap Wati yang terlihat kesusahan berjalan kembali dari dapur.

"Rasanya enak!" Citra sontak berdiri hendak merebut minuman yang dibawa Wati, namun Wati terlihat tidak ingin minumannya direbut. Wati sudah berdiri dengan sempoyongan dengan wajah yang memerah.

"Ya bantuin gue."

"Emang itu apasih?"

"Ini alkohol yang pernah Farhan sembunyiin di rumah ini, udah dikumpulin jadi satu buat dibuang. Ini anak malah nemu terus diminum sampe teler nih." Dengan sedikit usaha Aya berhasil merebut botol itu, membuat Citra terheran-heran. Wati langsung terduduk lemas, merasa kehilangan.

Citra mengambil dua botol soda dari dalam kulkasnya, satu masing-masing untuknya dan untuk Aya. Itung-itung sebagai ganti dari minuman berakohol itu.

Baru saja Aya meminum seteguk, Wati sudah meracau tak jelas. Dasar seharusnya hati-hati dalam memasukkan sesuatu kedalam tubuh.

"Gue mau jadi janda hahaha." Aya dan Citra menggeleng-geleng mendengarnya.

"Hiks, tapi gue sebenernya gak mau pisah. Gue udah terbiasa sama dia. Walau dia gak beri sepeser uangpun, dia tetep perhatian sama gue. Kayak masangin galon, kayak masangin gas." Wati menangis tersedu-sedu, Aya dan Citra mendekat, mengelus-elus bahu Wati, menyalurkan kekuatan.

"Ya cepet bantuin masuk ke kamar aku. Kalau ke kamar tamu nanti jatuhnya yang nyuci pembantu, kalau bau alkohol pasti aku kena amuk. Grrrrr." Aya terkikik geli. Membantu memapah Wati, ini mengingatkannya seperti dulu saat Aya memapah Citra.

Aya dan Citra menjatuhkan Wati tepat dipinggiran kasur. Kemudian mereka beranjak pergi menggosok gigi. Tidak lupa melakukan ritual sebelum tidur, yaitu skincare.

*

Aya memandang sinar rembulan yang belum sepenuhnya nampak ini. Setelah selesai memastikan Citra dan Wati tertidur dengan pulas, seperti kebiasaannya setiap malam hari, Aya menyeduh kopi.

Menemaninya di malam sunyi ini. Sudah pukul sepuluh malam, Aya rasa tidak ada tanda-tanda Farhan akam datang ke rumah Citra.

Semoga setelah malam ini mimpinya tentang Citra menghilang dan tidak akan pernah muncul lagi.

Aya menikmati angin malam ini dengan duduk di kursi ayunan yang ada di balkon Citra. Sesekali memastikan kedua orang yang tidur itu, masih terlelap dengan nyenyak.

Aya membulatkan mata saat sebuah tangan muncul menggenggam pagar besi balkon. Aya bangkit dan segera menuju arah pintu.

"Tian?!" Aya hampir memekik saat sebuah kepala muncul dan naik dengan mudahnya.

"Kamu ngapain disini?" Tanya Aya sedikit berbisik.

"Kamu gak jawab telfon aku." Aya teringat hpnya masih ada diruang tamu.

"Kenapa kesini, nanti kalau ada yang lihat gimana?"

"Aku kasih tahu, kamu lihat dua mobil itu. Disisi kiri sama kanan rumah ini, itu semua temen-temen aku. Buat cegah Farhan kesini."

"Kamu minta temen-temen kamu lakuin ini?"

"Iya, gak apa-apa Ya. Siapa tahu dengan begini mimpi kamu gak jadi kenyataan."

"Makasih Yan, tapi kalian mending pulang deh. Aku udah bawa atasan aku, yang kemaren minta kamu jadi pengacaranya. Itung-itung salah satu pencegahan juga."

"Wati?"

"Iya, jadi kalian mesti pulang aja."

"Ngomong-ngomong nih soal Wati, ternyata dia istrinya Verdi temen aku loh."

"Verdi yang punya club?"

"Kok tahu?"

"Dikasih tahu Yuda."

"Udah sana pulang."

"Gak, kalian semua cewek."

"Ya udah tapi jangan buat keributan ya?"

"Okesip."

"Kamu beli jam tangan baru? Jam tangan yang aku beliin gak pernah kamu pakai, tapi kok pakai yang ini."

"Ini jam dari Ayah. Kenapa?"

"Gak apa-apa. Kalau dari Ayah boleh kok dipakai. Hehe."

"Emang mereka tahu wajah Farhan?"

"Tadi udah aku tunjukin fotonya, semoga mereka hafal."

Prang! Bruk!

Aya dan Tian sontak menoleh pada sumber suara. Sosok lelaki yang terkapar lemas di dalam halaman rumah Citra.

Aya segera menuntun Tian keluar kamar, baru setelah itu membangunkan Citra untuk melihat apa yang terjadi.

*

Aya berlari keluar bersama Citra, melihat lelaki yang mencoba menerobos kedalam rumahnya.

"Farhan?!" Ucap Citra pelan. Aya membukakan pintu pagar rumah Citra, membiarkan beberapa lelaki yang diketahuinya merupakan teman Tian, mengamankan Farhan.

"Dia naik pager buat nerobos rumah kamu." Tian menjelaskan.

Citra mendekat kearah Farhan yang sudah terlihat tidak berdaya itu.

"Kamu ngapain kesini? Ha! Udah jelas-jelas Abi aku udah usir kamu dari sini. Kamu masih berani datang?!"

"Aku kangen banget sama kamu."

"Tapi cara kamu salah. Rubah dirimu sendiri dulu, setelah itu baru kamu kembali kesini. Jika kamu kesini sebelum merubah dirimu jadi lebih baik, maka aku akan menghilang selama lamanya darimu!" Citra menitikkan air matanya, tak kuasa menahan tangisnya.

"Jangan ngomong kayak gitu. Aku gak mau kehilangan kamu." Aya menangis sembari memeluk Citra. Berterima kasih pada Sang Maha Kuasa yang mengabulkan doanya siang dan malam.

"Syukurlah, gak jadi kenyataan. Syukurlah." Ucap Aya masih sambil menangis tersedu-sedu.

*

"Pak polisi tolong dijaga, jangan sampai kabur." Sedikit warga yang datang memeriksa keadaan, kembali kerumah masing-masing untuk melanjutkan tidur mereka.

"Aku udah telfon Abi. Kalian boleh nginep disini." Semua teman Tian saling bertatap-tatapan.

"Ya kalian bertujuh, udah izin pak rt juga kok. Yuk, banyak kamar kosong kok, emang luarnya aja yang kelihatan sederhana, tapi dalemnya banyak kamar kok."

"Eh enggak, kita mau nginep dirumah Rian aja, rumahnya gak jauh dari sini kok. Gak enak juga gak ada Abi sama Umi kamu, kok banyak laki-laki yang nginep."

"Bener?"

"Iya, kita semua pamit pulang dulu. Assalamualaikum."

"Sekali lagi makasih bantuannya, Wa'alaikumsalam."

Kini tersisa Tian dan Verdi. Verdi mendekat ke Citra. "Istri aku disini kan? Aku boleh nginep sini. Agak gak tenang ninggalin kalian yang cewek-cewek." Citra terkikik geli.

"Bilang aja mau berduaan sama istri." Verdi tersenyum malu-malu. Kemudian ketiganya masuk, mendapati Aya membawa beberapa gelas berisi minuman.

"Loh yang lain mana?"

"Pada pulang, gak nginep sini."

"Yah, sia-sia dong teh bikinan aku."

"Sini aku habisin semua." Tian merebut nampan yang dipengang Aya dan meletakkannya pada meja makan di dapur. Mulai meminumnya satu persatu.

"Jangan banyak-banyak, aku, Citra sama Verdi belum minum tahu."

"Ya udah nih aku sisain tiga." Citra dan Verdi menandaskan minuman mereka sedangkan Aya masih belum diberi segelas teh oleh Tian.

"Oh iya ver, Wati ada di kamar aku, pintu putih polos di lantai dua. Kamu tidur sana aja."

"Maaf merepotkan ya."

"Gak repot kok." Verdi meninggalkan dapur, menuju kamar yang ditempati istrinya.

"Kamu tidur di kamar tamu lantai dua sama aku Ya. Tian tidur disitu, pintu kayu jati. Awas aja aku lihat kamu tidur kesana Ya."

"Gak lah buat apa, Tian kalau tidur ngorok. Ganggu. Yuk tidur."

Aya cepat-cepat menarik Citra, meninggalkan dapur, menuju kamar tamu. Meninggalkan Tian dengan banyak gelas dan banyak pertanyaan mengenai kebiasaan tidurnya diotaknya.

Masa sih?

y

avataravatar
Next chapter