7 Pengantin baru ya?

Tian duduk disamping Aya setelah membersihkan diri. Membuka hpnya untuk mengecek berkas kasusnya.

"Kamu udah izin kantor belum? Kalau besok gak masuk kantor?"

"Astagfirullah. Lupa, untung lo ingetin."

Aya dan Tian kembali fokus pada hp mereka masing-masing. Masih bersyukur karena sinyal ditempat ini tidaklah buruk.

"Mbak, mas. Ayo makan dulu." Aya dan Tian bangkit mengikuti Bu Sum, wanita yang menawari tempat untuk tidur secara cuma-cuma ini.

Tak lupa Aya dan Tian menyapa suami Bu Sum yang baru saja pulang dari menyawah.

"Malam mbak mas."

"Malam. Mari makan pak." Saat sang tuan rumah memulai makan, baru Tian dan Aya berani menyuapkan nasi pada mulut mereka masing-masing.

Mereka makan dengan keheningan malam, tanpa ada suara bising dari kemacetan ibukota.

"Mbaknya sama masnya pengantin baru ya?" Aya dan Tian tersedak teh secara bersamaan.

"Bapak tu lho, malu kan mereka." Peringat Bu Sum pada suaminya.

"Gak apa-apa mbak, mas. Gak usah malu. Kita juga pengantin baru walaupun sudah agak berumur." Aya dan Tian hanya bisa tersenyum kikuk.

"Pasti mbak sama mas mau ketemu mbah Saripah mau minta wejangan supaya cepat dapat anak ya?" Tian terbatuk-batuk dibantu Aya yang memukul punggung Tian perlahan untuk meredakannya.

"Aduh, masih malu-malu banget. Gak apa-apa mas mbak, kita juga lagi berjuang biar cepet dapet anak."

Tian menatap tajam Aya, mengatakan lewat tatapan. Salah kamu kita nginep disini. Jika bukan karena gratis dan rumah yang terlihat sedikit bagus diantara semua rumah yang Aya lihat, Aya ingin pergi mencari tempat lain untuk tidur.

Aya membalas tatapan Tian, berkata aku juga gak tahu bakal gini jadinya.

Terjawab sudah mengapa Aya dan Tian hanya diantar ke satu kamar sedangkan mereka berdua.

Diantara Aya dan Tian tidak ada yang ingin mengutarakan kebenaran. Sudah terlalu lelah untuk pergi keluar mencari penginapan lain yang mungkin sudah penuh.

*

"Yan lo tidur bawah bener nih?"

"Iya." Kata Tian, masih fokus pada pekerjaannya lewat hp.

"Besok lo gak ada sidang kan?"

"Bisa diatur."

"Ya udah, gue tidur duluan ya?" Baru beberapa menit Aya mencoba tertidur dihawa dingin pegunungan ini, Aya terganggu oleh suara desahan dari sepasang suami istri pemilik rumah.

Aya terduduk, merasa gelisah. Aya jadi teringat mimpi tentang Citra. Aya takut mimpi itu akan menjadi kenyataan. Aya takut jika sekali lagi Aya hanya bisa menjadi saksi bisu dari banyak kematian.

Jika dibawa ke hukumpun, mimpi Aya benar-benar tidak berguna, karena Aya tidak bisa membuktikan kebenarannya.

Bunyi kasur berdecit. Aya melihat Tian duduk disampingnya, kemudian memasangkan sebelah headset miliknya ke telinga Aya.

Suara musik klasik menyambut Aya untuk segera memejamkan matanya. Semakin larut dalam kegelapan malam.

*

Aya terbangun dengan kepala yang terasa pening, Aya melirik jam di hp Tian. Rupanya baru satu jam Aya tertidur sambil bersandar pada Tian.

Aya melirik Tian yang rupanya sudah terlelap dengan wajah yang sangat pucat.

"Yan, lo gak apa-apa?"

Aya mencoba menyadarkan Tian. Perlahan-lahan Tian membuka matanya dan seketika tubuh Tian menggigil.

"Yan lo kedinginan." Aya menggenggam tangan beku Tian. Sudah tahu sedang tidak vit, masih saja berkutat dengan pekerjaan di hpnya.

Aya bangkit ingin mengambil segelas air hangat untuk Tian, namun Tian menahan tangannya, meminta Aya untuk tidak meninggalkannya.

"Ambil minum aja, bentar kok." Tian menggeleng. "Sini aja."

Aya mengambil hp Tian dan menaruhnya di nakas tepat di sampingnya.

Aya membantu Tian untuk berbaring, kemudian menutupi tubuh Tian dengan dua lapis selimut. Sekarang Aya yang kedinginan, karena dua selimut di ruangan ini dipakai Tian.

Tian menarik-narik tangan Aya yang masih digenggamnya. Meminta Aya berbaring disampinya.

Aya menurutinya tanpa kata, masuk kedalam selimut dan membiarkan Tian tidur sambil memeluk perutnya untuk mencari kehangatan.

Sesekali Aya mengelus puncak kepala Tian. Kemudian segera memejamkan matanya untuk menyusul Tian.

Untung Tian sahabatnya sedari kecil. Kalau bukan sudah Aya tendang saat Tian dengan berani memeluknya seperti ini.

Untuk bintang dilangit, semoga Aya bermimpi indah.

*

Aya dan Tian langsung berpamitan kepada dua orang pemilik rumah tempat mereka menginap semalam. Tidak menunda waktu lagi Aya dan Tian segera menemui mbah Suripah.

Mereka melihat seorang nenek yang masih nampak bugar sedang menyapu halaman di pekarangan rumahnya.

"Assalamu'alaikum, mbah Suripah kan?"

"Waalaikumsalam, mbak, mas. Iya saya mbah Suripah."

Aya dan Tian dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Tak lama mbah Suripah masuk meninggalkan mereka diruang tamu, mbah Suripah datang kembali membawa dua buah gelas berisi teh hangat.

"Diminum dulu mbak, mas. Buatan saya beda lho dari buatan orang lain."

"Terima kasih mbah." Aya dan Tian menyeruput teh panas itu sedikit demi sedikit, menyisakannya separuh. Saat Aya teh itu masuk sepenuhnya dalam perut, sensasi luar biasa dirasakan Aya dan Tian.

Rasa khas teh yang seolah mengajakmu pergi kesebuah perkebunan teh hijau yang sejuk, seperti berdiri dipinggir pantai, bahkan aromanya seperti berada ditengah taman bunga.

"Ayah kamu kemana?" Aya tersadar dari kenikmatan teh itu. "Ayah lagi dinas luar kota mbah."

"Terakhir kali Ayahmu datang sendiri meminta hal yang sangat besar padaku tentang mimpimu. Apa yang buat kamu kesini kali ini?"

"Mbah tahu kalau saya punya kutukan mimpi?"

"Mbah bahkan tahu pikiran kalian, mbah bukan paranormal atau orang pinter atau malah dukun." Aya dan Tian mengangguk serempak. "Mbah hanyalah perantara yang dipilih Tuhan untuk membantu dengan kemampuan lebih yang mbah miliki."

"Sekarang ada masalah apa lagi tentang mimpi kamu?"

"Aku mulai bermimpi lagi setelah hampir aku gak inget tepatnya berapa lama aku tidak bermimpi lagi."

"Jadi sudah selesai?" Aya dan Tian saling bertatapan, tak mengerti maksud pertanyaan mbah Suripah.

"Selesai apanya mbah?"

"Kamu ingat tadi mbah bilang ayah kamu kesini bukan?" Aya mengangguk. "Saat itu ayahmu meminta agar mimpi mu itu dialihkan. Tapi rupanya tampungan mimpi itu sudah penuh."

"Jadi itu alasan Aya mulai bermimpi lagi?" Mbah Suripah mengangguk. "Kutukan mimpi itu memang kembali lagi mbah, tapi anehnya aku jadi bermimpi dua kejadian sekaligus. Yang satu anonim dan yang satunya mimpiin temanku." Mbah Suripah nampak berpikir keras.

"Itulah sebabnya mbah larang ayahmu untuk menghentikan mimpi walau itu hanya untuk sementara. Tapi ayahmu keras kepala, sekarang inilah akibatnya."

"Kemungkinan terburuknya apa mbah?" Mbah Suripah sekali lagi kembali terdiam, kembali menyelami pikirannya dalam-dalam.

"Kemungkinannya bukan hanya orang yang kamu kenal saja yang kamu mimpikan, bahkan orang yang hanya kamu lihat sekilas dijalanan juga bisa muncul dalam mimpimu. Mungkin kamu bisa mendapatkan lima mimpi sekaligus."

Aya meremas kedua tangannya sendiri, menahan tangisnya. Entah sampai kapan dirinya akan terus menderita karena mimpi itu.

Tian memegang kedua tangan Aya yang terkepal kuat. "Apa tidak ada cara untuk menghentikannya nek?"

"Tidak ada! Mimpi itu sudah tidak bisa dihentikan."

avataravatar
Next chapter