webnovel

Mimpi pengganti

Lagi. Aya tersadar sedang berlarian di lorong-lorong rumah sakit yang tidak asing ini. Nafasnya tersengal-sengal karena terburu-buru dan tangisannya yang tidak dapat terbendung lagi.

Langkah Aya berhenti didepan sebuah tanda bertuliskan ICU. Hatinya berdebar dengan kencang, ditambah dengan rasa gelisah yang memuncak.

Semua orang yang dilewati Aya, menatapnya aneh dan heran.

Aya kembali berjalan secara perlahan kearah dimana ICU itu ditunjuk. Aya bisa merasakan buliran air mata yang terus mengalir di pipinya. Matanya Aya memperhatikan setiap nomor bangsal di ICU ini.

Saat mata Aya terpaku pada bangsal bernomor 406 dan melihat dua orang yang terlihat sudah berumur keluar dari sana. Namun saat Aya hendak menghampiri keduanya, seseorang menabrak Aya dengan kencang hingga terjatuh.

*

Aya terbangun dikala sinar matahari masuk menusuk penglihatannya. Silau. Entah sudah berapa kali Aya memimpikan kejadian dimana Aya berjalan di lorong rumah sakit itu, karena semenjak Aya datang ke apartemen Tian, seringkali Aya tertidur.

Apa maksud dari mimpi itu sebenarnya? Apakah akan ada yang celaka? Aya harap tidak.

Aya menatap Wati yang masih tertidur disampingnya dengan perasaan bersalah. Andai Aya punya keberanian lebih, Aya akan mengusir Wati dan Verdi yang seharusnya menikmati weekend mereka.

Aya menyebabkan Wati dan suaminya menderita, karena harus mengurusnya yang sudah dewasa. Padahal Aya tahu mereka punya kehidupan sendiri, disisi lain Aya benar-benar tidak ingin sendirian.

Sudah tiga hari ini Aya berdiam diri di dalam rumah Tian dan tidak berniat meninggalkan apartemen ini sedetikpun. Wati dan Verdipun beberapa kali berusaha membuat Aya keluar untuk menghirup udara segar, namun nihil. Aya tetap tidak tertarik.

Aya mengguncang pelan tubuh Wati untuk membangunkannya.

"Wati." Bisik Aya. Tak lama kemudian Wati membuka matanya.

"Aya." Wati meregangkan seluruh tubuhnya. Sudah lama tidak menghabiskan waktu dengan banyak berbaring.

"Kamu bangunin Verdi gih. Ini hari senin pasti kerja kan?" Wati menepuk jidatnya sendiri, lalu segera bangkit keluar menuju ruang tamu. Dimana suaminya masih tertidur dengan pulas di sofa empuk.

Setelah dirasa Wati dan Verdi terbangun, Aya segera menuju dapur untuk membuatkan keduanya sarapan. Setidaknya hanya ini yang bisa Aya lakukan untuk berterima kasih.

Wati dan Verdi mendekat kearah Aya

"Ya." Aya berdeham menanggapi panggilan Wati.

"Aku udah diskusi sama Verdi. Jadi.. aku berencana niat libur sampai Tian udah pulang." Aya berhenti sejenak.

"Verdi kerja?" Tanya Aya dan Wati mengangguk menjawab Aya. "Iya, kamu gak apa kan? Cuma sama aku disini? Soalnya Verdi hari ini pembukaan restoran."

Aya tersenyum. "Bukan gitu. Kamu berangkat juga gak papa. Sekalian minta tolong timku dipantau, sama izinin aku ya?" Wati tertawa.

"Aku kira kenapa. Tapi bener nih aku tinggal sendiri gak apa-apa?" Wati sedikit khawatir jika harus meninggalkan Aya sendirian.

"Ya gak apa-apa dong. Udah mateng nih, sana Verdi dibangunin." Wati beranjak pergi membangunkan suaminya sekali lagi.

*

Semenjak mimpi dimana Aya berjalan menuju ruang ICU semakin jelas. Aya semakin takut untuk tidur.

Aya takut dan tidak ingin tahu siapa orang yang dimaksud mimpinya. Aya belum menyiapkan hatinya untuk kehilangan seseorang lagi. Maka dari itu sebisa mungkin Aya tidak tertidur untuk waktu yang lama.

Aya semakin sedih saat tahu Tian mengingkari janjinya. Tian sudah pergi selama lima hari dan tidak bisa dihubungi. Sebelum itu Tian berjanji untuk pergi selama tiga hari saja.

Sudah dua hari ini juga Aya selalu berusaha mengusir Wati dan Verdi untuk melakukan aktivitas mereka masing-masing. Ketimbang menemani Aya yang tetap tidak bisa membagikan fikirannya pada mereka.

Aya harap timnya baik-baik saja tanpa Aya.

Sejujurnya Aya bosan. Untuk itulah Aya pergi keluar dari apartemen Tian di sore ini untuk mencari udara segar, sekalian mengisi stok makanan di kulkas.

Aya memasuki sebuah pasar swalayan besar. Mengambil semua yang diperlukannya untuk tinggal dirumah Tian. Mulai dari sabun cuvi muka, bodylotion, sampai makanan ringan kesukaannya. Aya rasa, dirinya akan lebih lama tinggal dirumah Tian.

Aya belum berani masuk kedalam rumahnya sendiri. Takut dengan hantu? Yang menyerupai ayahnya. Aya sendiri tak tahu harus menyebut makhluk itu sebagai apa.

Aya membulatkan matanya sempurna melihat seluruh langit sudah menjadi gelap saat keluar dari swalayan. Perasaan Aya tidak menghabiskan waktu lebih dari satu jam di dalam swalayan.

Aya menatap sekitar, entah mengapa sejak kejadian Aya bertemu 'hantu' seluruh dunia menjadi seperti tidak nyata dimata Aya. Bagaimana mengatakannya ya? Fiksi? Intinya seperti ilusi, bagaikan hidup di dunia lain.

Dengan kaki yang bergetar, Aya memantapkan hati untuk melangkah pergi dari cahaya terang swalayan. Menuju ke jalanan gelap dengan penerangan yang minim.

Semoga 'hantu' itu tidak muncul dihadapan Aya.

Berhasil!

Aya berhasil memasuki loby apartemen dengan selamat dan tanpa gangguan. Beruntung jarak swalayan tidak begitu jauh dari apartemen Tian. Aya segera memasuki lift.

Saat pintu lift hampir tertutup. Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang menahan pintu lift agar tidak tertutup. Aya terkejut setengah mati.

Tangan itu memiliki keriput, bagaikan tangan milik seorang yang berumur lansia. Namun semakin menyeramkan melihat warna kutek merah darah di tangan keriput itu, mencolok bagi siapapun yang melihatnya.

Aya meremat kedua plastik belanjanya dengan kuat. Keringat mulai mengalir di pelipisnya. Kakinya yang sudah tenang kembali bergetar tak karuan, saat perlahan pintu itu terbuka.

Aya menyipitkan matanya. Semoga hanya seorang lansia biasa.

Aya bernafas dengan lega saat hanya seorang nenek berseragam cleaning service yang memasuki lift. Aya tidak bisa melihat wajahnya, karena nenek itu menggunakan topi dan berdiri di posisi yang membelakangi Aya.

Suasana kembali mencekam saat pintu lift tertutup dengan sempurna. Aya mulai berfikir, apakah seorang cleaning service bekerja hingga malam hari?

"Nenek kok belum pulang?" Aya berinisiatif untuk bertanya, sekalian untuk menyingkirkan segala fikiran buruknya.

Nenek itu menoleh. "Aku masuk sift malam." Aya mengangguk mengerti. Jika Aya tidak salah mengenali orang,  nenek inilah yang mengatakan pada Aya untuk tidak percaya pada mbah suripah dan untuk tidak terlalu bergantung pada jam tangan pemberian Ayahnya.

"Nenek! Nenek yang waktu itukan?" Nenek itu semakin melebarkan senyumannya saat Aya mengingatnya.

"Kamu mengenaliku?" Aya mengangguk. Sungguh menyenangkan melihat seseorang berwajah familiar.

"Aneh, padahal tidak ada yang bisa mengingatnya." Aya mengernyit.

"Maksud nenek?" Nenek itu malah tertawa. Aya merasa sedikit horor.

"Sebentar lagi. Kamu akan membuktikan perkataanku malam itu adalah suatu kebenaran." Apa maksudnya?

"Maksud nenek bagaimana? Ucapan nenek tentang mbah suripah atau tentang jam tangan itu. Yang mana?" Tanya Aya penasaran.

"Keduanya." Tidak, semoga tidak ada hal buruk yang akan terjadi.

"Kamu pasti sudah mendapatkan mimpi pengganti dari teman yang coba kamu selamatkan?" Mimpi pengganti? Mimpi yang mana? Citra? Oh tolong, jangan Citra. Mungkinkah itu mimpi dimana Aya berjalan menuju ruang ICU? Berarti itu sebuah pentunjuk atas keberadaan Citra.

"Mim.." Ucapan Aya terhenti saat nenek itu mengangkat seluruh alat bersih-bersih dan segera keluar saat pintu lift terbuka.

"Nenek, jelasin dulu sama aku." Nenek itu berbalik sebentar menatap lift namun bukan kearah Aya.

"Jika kamu ingin tahu hal yang sebenarnya, tanya saja pada orang yang berdiri disampingmu. Aku masih ada shift kerja. Semoga setelah ini kamu melupakan wajahku." Aya menjatuhkan tatapannya tepat di ruang kosong sampingnya. Tidak ada siapa-siapa.

Aya hendak menanyakan satu hal lagi. Namun niatnya kandas saat pintu lift sudah tertutup sepenuhnya.

Aya menggigit bibirnya dengan kuat. Aya takut, jika Tian terkena dampak akibat membawa jam tangan itu. Juga khawatir karena Citra yang tak kunjung ditemukan keberadaannya.

Next chapter