1 Mimpi itu lagi

Hari itu aku terbangun disebuah malam yang sangat dingin. Seluruh tubuhku rasanya sangat sakit dan sulit digerakkan seperti akan membeku. Aku terbangun oleh sinar cincin yang kupakai.

Bukankah ini cincin pertunanganku? Aneh rasanya disaat Aku belum bertunangan, tapi Aku bisa tahu pasti bahwa cincin itu adalah cincin pertunangan.

Samar-samar aku melihat seorang pria yang sedang berbariing tak sadarkan diri dibalik cahaya lampu jalan yang terpantul dari cincinku.

Aku mencoba menghampirinya, tapi sekali lagi saat aku mencoba menggerakkan tubuhku salju disekitarku berubah warna menjadi merah. Itu benar-benar aneh saat aku tinggal disebuah negara tropis namun bersalju. Ah, apa ini di luar negeri?

Saat tanganku hampir meraihnya, pandanganku menjadi kabur dan aku mulai kesulitan bernafas.

*

Aya tersentak saat seseorang dengan sengaja memencet hidungnya, agar Aya tidak bisa bernafas dan akhirnya terbangun untuk kedua kalinya. Namun kali ini, Aya terbangun di dunia nyata bukannya mimpi.

Saat Aya melihat pria itu berada disampingnya dengan menatap jahil seperti ini, Aya tahu itu hanya mimpi buruk. Tapi kenapa bisa sampai berulang kali Aya memimpikannya?

*

Aya menatap kesal temannya yang sedang sibuk memasak mi instan didapur rumahnya. Temannya ini terlalu akrab dengannya atau mungkin seenaknya sendiri menganggap rumah Aya seperti rumahnya sendiri.

"Yan, lo bangunin gue pake cara yang bisa bikin mati cuma buat makan mi? Gak ada yang mewahan dikit gitu?" Tian tak menjawab pertanyaan Aya malah sibuk meniriskan mi yang sudah matang dan mengaduk mi hingga bumbunya tercampur rata.

Aya yang duduk dimeja makan menunggu jawaban merasa semakin kesal tak direspon oleh Tian.

Saat Aya hendak bangkit, Tian segera meletakkan dua piring dihadapan mereka masing-masing.

"Dimakan dulu. Udah dimasakin juga." Aya memakan mi itu mau tak mau. Tak ingin melihat Tian menghabiskan mi instan enak ini sendirian.

"Marah?" Tanya Tian setelah beberapa saat melihat Aya hanya memainkan mi instan, bukannya segera dimakan.

Aya mendelik mendengar pertanyaan Tian. Kenapa harus tanya lagi? Jelas terlihat Aya marah dan kesal dari ekspresinya.

"Gak!" Aya memutar bola matanya jengah saat Tian hanya mangut-mangut melanjutkan makannya. "Ya iyalah, gak usah tanya. Bangunin cewek tu yang lembut."

"Lembut gimana? Cium?" Aya hampir merona sebelum Tian melanjutkan perkataannya. "Yang ada kamu tambah molor."

"Lagian ya, ini hari minggu ngapain kerumah gue? Udah tau gue pasti tidur. Bukannya ngikut tidur malah ngerjain gue lo." Tian mengambil piringnya yang sudah kosong menuju tempat cuci piring dan mulai mencucinya.

"Aku lihat kamu tidur gak nyenyak gitu, ya aku bangunin lah." Aya segera mengunyah cepat minya dan segera menghampiri Tian yang sedang mencuci piring meletakkan didekat Tian agar Tian mencuci nya sekalian.

"Ya tapi gak gitu juga caranya bambank." Tian malah terkekeh. "Maaf, besok lagi aku cium." Aya mencubit pinggang Tian dengan keras. Tian mengaduh kesakitan namun diikuti tawa yang renyah.

"Lagian mimpi apa sih Ay? Sampe keringetan gitu, mimpi buruk ya?" Aya hanya diam. Aya belum menceritakan mimpinya ini kepada siapapun kecuali Ayahnya.

Aya selalu memimpikan satu mimpi yang sama berulang kali, selalu mimpi tentang kematian seseorang yang dikenalnya. Akhirnya mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan dan meninggalkan luka yang dalam untuk Aya.

Aya akan berhenti memimpikan mimpi itu, jika mimpi itu menjadi sebuah kejadian nyata. Setelah itu Aya akan mendapatkan mimpi lain, yang akan terus berulang sampai menjadi kenyataan. Mimpi itu bagaikan kutukan bagi Aya setiap menerimanya.

Mimpi pertama Aya yang menjadi kenyataan adalah mimpi yang Aya alami saat masih kecil. Aya memimpikan dirinya berlibur berdua dengan Bundanya disebuah taman hiburan. Dalam perjalanan pulang, Aya dan Bundanya menaiki sebuah bus kota yang ramai akan penumpang.

Awalnya mimpi itu terasa menyenangkan, tapi saat rambu lalu lintas berubah berwarna hijau. Sebuah truk yang datang dari arah kanan bus menabraknya, hingga bus kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh kesamping.

Bunda Aya memeluk Aya kuat-kuat dalam mimpi itu sambil terus mengucapkan kata "maaf".

Dari mimpi yang menjadi kenyataan Aya mendapatkan sebuah bekas luka di bahu kanannya. Juga bekas luka dihatinya, saat Bundanya meninggal setelah koma di rumah sakit satu bulan penuh.

Bukan hanya satu mimpi itu saja yang menjadi kenyataan. Ada juga mimpi-mimpi lain yang sudah menjadi kenyataan.

Maka dari itu Aya takut saat mimpi itu muncul kembali setelah sekian lama Aya tertidur nyenyak karena tidak bermimpi, terlebih Aya belum mengetahui pasti siapa pria yang ada dalam mimpinya saat ini.

Aya menganggukan kepala. "Iya, mimpi buruk." Tian hanya mengangguk paham, kemudian menjatuhkan dirinya di sofa mulai memejamkan matanya, meninggalkan Aya yang hanya bisa menatap Tian yang mulai terbang ke alam mimpi.

Aya benci tidur, karena setiap tertidur dirinya selalu mendapati satu mimpi yang terus berulang, sampai mimpi itu menjadi kenyataan.

Aya memang manusia biasa yang tetap memerlukan tidur. Jika bisa Aya tidak ingin tidur, tapi itu mustahil. Akhirnya Aya meminta bantuan dari kopi, sehingga Aya dapat meminimalkan jam tidurnya menjadi 4-5 jam setiap harinya.

*

Aya menelan dua buah pil vitamin sekaligus, karena selalu kurang tidur, Aya rutin meminum vitamin untuk menjaga stamina tubuhnya. Aya masih memiliki Ayahnya yang harus selalu di jaga senyumannya.

Lift berdenting, begitu lift terbuka Aya turun memasuki kawasan ruang kerjanya yang luas. Tentu, ini bukan ruang kerja pribadi miliknya. Aya hanya karyawan biasa di perusahaan yang bergerak dalam pengembangan aplikasi.

Aya mendaratkan pantatnya mulus ke kursi empuk miliknya, menaruh tas diatas meja, menyalakan komputer dan membuka dokumen yang belum sempat Aya selesaikan kemarin.

"Aya." Baru saja Aya mulai fokus untuk mengerjakan pekerjaannya. Citra, teman satu kantornya menghampirinya.

Takut Aya akan memimpikan seseorang lagi, membuat Aya menjaga jarak dengan semua orang, lebih baik tidak mengenal siapapun lagi. Hanya Citra, teman sekantornya dan Tian, teman Aya dari kecil yang keras kepala mendekati Aya yang mengabaikan mereka mati-matian.

Namun Aya tetap bersyukur, berkat Citra dan Tian kehidupannya tidak terlalu sepi. Karena mereka berdua juga Aya masih bisa tersenyum sampai sekarang.

Citra memeluk Aya gemas. "Akhirnya gue jadian sama Farhan Yak. Seneng banget deh gue." Aya tersenyum, Aya kira kenapa sampai Citra sesenang ini. Ternyata Citra berhasil mendapatkan pria incarannya.

"Selamet ya, jangan lupa traktirannya." Cintra tersenyum lebar, melepas pelukannya pada Aya. "Itu nunggu gajian. Hehe." Aya menghela nafas, kemudian beralih menatap komputer, memeriksa email masuk.

"Jangan marah dong, nanti habis gajian, bener deh. Ya Yak?" Aya melirik Citra. "Beneran?" Citra mengangguk antusias.

"Yak, kamu begadang lagi ya? lingkar matamu hitam loh." Aya mengambil bedak yang didalamnya terdapat cermin. Aya meneliti warna disekitar matanya, hitam.

Belum sempat Aya meminjam concelear milik Citra, Citra sudah lebih dulu kembali ketempatnya. Ternyata dari dalam lift sudah keluar Wati, kepala divisinya. Walaupun Wati umurnya tidak jauh dari Aya, namun Wati memiliki kepemimpinan yang tegas, bahkan yang lebih tua dari Wati tidak berani membantah kata-kata Wati.

Wati berhenti tepat didepan meja kerja Aya. "Ya, pake make up." Ujar Wati sedikit berbisik dengan gestur menepuk-nepuk bedak tepat di bawah matanya. Aya mengangguk paham.

Andai mimpi-mimpi itu lenyap, Aya tidak perlu pusing untuk memakai make up berat setiap harinya. Sekali lagi Aya hanya bisa menghela nafas panjang.

*

avataravatar
Next chapter