9 Ketiganya setan

Aya meninju keras bahu Tian, saat kehilangan jejak mobil sedan yang mirip dengan mobil Tian namun berbeda warna itu.

"Lo sih Yan, ngebut kek, kan hilang mobilnya."

"Lampu merah Ya. Kamu gak lihat? Aku masih pengen kita hidup."

"Ya tapi, Citra gimana?" Pikiran Aya melayang, bagaimana jik Citra disakiti?

"Tenang Ya. Citra gak bakal kenapa-napa. Percaya sama aku." Aya melihat keseriusan dari mata Tian. Ingin mempercayai perkataan Tian, namun Aya rasa mimpinya lebih valid.

"Tapi Yan." Aya benar-benar khawatir bila terjadi sesuatu pada Citra. Mata Aya berkilat, melihat jalan yang tampak familiar ini.

"Yan, kayaknya aku kenal jalan ini. Coba deh belok kanan." Sesuai instruksi Aya, Tian memberhentikan mobilnya di sebuah perumahan yang khas dengan ketenangannya.

"Kamu pernah kesini Ya?" Aya mengangguk antusias, berharap Citra benar-benar aman dirumahnya bersama Umi dan Abi, bukan berduaan dengan Farhan.

"Rumah yang ini, rumahnya Citra. Ini mobil Farhan tadi. Yuk turun." Aya memasuki rumah yang ditunjuknya tadi dengan leluasa, seperti sudah akrab.

Tian mengikuti Aya dibelakangnya, santai. Melepas jasnya dan menggulung lengan kemejanya hingga siku, rambutnya sudah acak-acakan tidak memedulikan penampilan. Jika saat ini Tian berjalan di sebuah karpet merah, mungkin Tian akan banyak mendapat teriakan histeris. Sayangnya, ini hanya sebuah lingkungan perumahan yang sepi.

Aya langsung menekan bel rumah, begitu menyadari pemikiran bodohnya tentang Tian.

"Assalamu'alaikum, Umi." Aya tersenyum sumringah saat menyadari ada Umi dirumah.

"Wa'alaikumsalam wr. wb. Aya. Masuk yuk. Eh sama siapa ini?" Aya mencubit lengan Tian perlahan, memberi isyarat untuk menyalimi tangan Umi.

"Temen Aya Umi. Namanya Tian."

"Oh sahabat Aya, yang biasa Citra suka cerita. Hati-hati loh Ya. Berdua sama laki-laki ketiganya setan."

"Hehehe, iya Mi. Gak berdua terus kok." Tian hanya menganggukkan kepalanya setuju.

"Siapa Mi yang dateng?" Teriak Citra dari dalam rumah. Tak lama setelah itu Citra keluar, berdiri disamping Uminya.

"Oh, Aya sama Tian toh. Jangan dikasih masuk Mi. Suruh pulang aja." Aya tercengang mendengar perkataan dingin yang dilempar Citra. Bahkan setelah mengatakan itu Citra bergegas masuk, tidak repot mengucapkan salam atau hal lainnya.

"Maaf ya Ya. Citra lagi banyak masalah. Apalagi habis dimarahin Abinya." Umi Citra segera menuntun Aya dan Tian keluar dari pekarangan rumahnya.

"Gak apa kok Mi. Yang penting Aya udah lihat Citra gak sendirian dirumah. Ada Umi."

"Emang kenapa kalau gak ada Umi?"

"Gak ada Umi, Abi bolehlah. Asalkan jangan berdua, ntar ketiganya setan." Aya terkikik geli, menirukan perkataan Umi tadi. Umi tertawa pelan sembari menutupi mulutnya yang tertawa dengan tangan kanannya. Benar-benar kalem.

"Oh iya Ya. Umi mau tanya."

"Tanya aja Mi." Aya melihat keraguan dari Umi.

"Gini Ya. Umi bukan bermaksud nuduh ya Ya? Jadi jangan sakit hati sama perkataan Umi nanti ya?" Setelah menyiapkan hati, Umi menjelaskan semua kejadian keributan Abi dan putrinya.

"Jadi Ya, apa bener kamu pernah bawa Citra ke club malam?" Aya menggeleng cepat.

"Gak pernah Mi. Aya bukannya gak pernah kesana, sesekali kesana itu cuma pas klien minta ketemuan disana. Selain itu Aya gak kesana, apalagi sampe ajak Citra."

"Terus Abi kok bisa tahu kamu bawa Citra kesana ya?"

"Maafin Aya Mi, nyembunyiin ini. Aya pernah jemput Citra dari club itupun karena Farhan yang ajak Citra kesana. Citra marah ke Aya Mi, gara-gara Aya dikira bocorin masalah ini ke Abi sama Umi. Tapi tadi Umi bilangkan, kalau Abi tahunya Aya yang ajak kesana."

"Astagfirullah. Bener Ya? Farhan ngajak Citra kesana? Tapi setahu Umi dia anaknya baik kok Ya."

"Nah itu Mi, anehkan. Tian udah nyelidikin Farhan Mi dan terbukti Farhan sering keluar masuk club malam." Aya mencubit lengan Tian, agar menambahkan satu kata yang menguatkan agrumennya.

"Iya tan. Tian udah buktiin sendiri."

"Umi tahu, Aya gak mungkin ngelakuin itu. Umi akui kalau semenjak kenal Farhan Citra suka nyembunyiin sesuatu ke Umi."

"Ya udah tan, pokoknya jangan biarin Citra berduaan aja sama Farhan ya?"

"Iya, Umi juga bakal cerita yang sebenernya ke Abi. Sekarang kamu pulang dulu, Umi takut kalau Abi lihat kamu malah tambah salah paham."

"Aya pamit Mi." Setelah mengucapkan salam Aya segera masuk kedalam mobil Tian. Aya mempercayakan semuanya pada Umi, berharap dengan tahu kejadian sesungguhnya, Umi dan Abi tidak membiarkan Citra dekat dengan Farhan. Dan dengan begitu mimpi Aya tidak akan menjadi kenyataan.

Aya harap, langit berpihak padanya kali ini.

*

Aya tersentak, terbangun dari tidurnya. Melihat kesekitar, terlihat dengan jelas disebelah kanannya sebuah pekarangan yang tadi sore baru saja dikunjunginya dan didepannya sebuah kolam renang besar yang terisi penuh dengan air.

Tunggu , ini berarti Aya berada dirumah Citra. Tepatnya Aya terbangun di balkon kamar Citra.

Nafas Aya memburu, keringat dingin mulai membasahi kedua telapak tangannya. Tubuhnya bergerak, mengintip di antara celah tirai yang terpasang pada pintu kaca kamar Citra.

Mata Aya bergerak melihat kearah kasur, Citra menangis tersedu-sedu dengan selimut tebal yang membungkus dirinya rapi. Mata Aya bergerak ke sosok Farhan yang sangat rapi dengan pakaiannya.

"Besok sore aku jemput. Jangan berani kabur!" Farhan mencengkram kedua pipi Citra. Setelah Citra mengangguk paham barulah Farhan melepaskan cengkramannya pada Citra. Ingin rasanya Aya berlari kesana dan memeluk Citra.

Prang!

Aya menoleh kebelakangnya, terdapat sosok besar yang kemudian sosok itu membekap Aya dan membawanya terjun kebawah.

Aya tersentak untuk kedua kalinya. Tangannya terasa membeku, pemandangan langit berwarna hitam pekat menyambut matanya yang terbuka perlahan.

Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, sulit sekali untuk bergerak. Syal berwarna merah yang melingkari lehernya membuat Aya merasa sedikit hangat.

Setetes salju mengenai matanya, membuat Aya sadar akan situasinya. Dimimpi yang lalu Aya tidak sadar bahwa dirinya mengenakan syal berwarna merah.

Aya segera menoleh kesampingnya, seorang pria berbalut mantel tak sadarkan diri tergeletak tak jauh darinya.

Aya ingin tahu siapa pria itu, pria yang mengalami hal mengerikan semacam ini bersama dirinya.

"Hei!" Panggil Aya pada pria itu. Namun tidak ada jawaban. Aya menggenggam erat tangannya saat menerima begitu banyak rasa sakit ketika mencoba mendekati pria itu, dan mencoba mengenali siapakah pria yang ada disampingnya.

Ah benar, sebuah cincin ada dijari manisnya. Air matanya keluar begitu saja, hatinya terasa sangat sakit, lebih sakit dari tubuhnya yang penuh dengan luka, melihat pria yang belum Aya ketahui identitasnya terbaring tak sadarkan diri.

*

Aya tersentak untuk ketiga kalinya. Mendapati air mata yang membasahi pipinya. Rupanya Aya tidur dengan posisi duduk, bersandar pada kasur dan memeluk kedua kakinya.

Aya mempererat pelukan kedua kakinya, menangis sejadi-jadinya. Tak bisa menyalahkan takdir buruk yang menimpa orang terdekatnya. Bukan, justru Ayalah yang membawa takdir buruk itu.

Lebih baik Aya tidak dekat dengan siapapun lagi.

Untuk pria yang ada di mimpi Aya tolong jangan datang menemui Aya. Jangan datang pada Aya.

Aya memohon dengan kuat didalam hatinya.

avataravatar
Next chapter