20 Kado spesial

"Mbak, uangnya kelebihan."

"Ambil aja pak." Dengan cepat Aya turun dari taksi, memasuki kawasan rumah sakit tidak terlalu ramai malam ini.

Aya tidak mungkin membuka tirai UGD satu-persatu sama seperti ketika Aya membuka pintu ruangan di club untuk mencari Citra. Aya menghampiri meja informasi yang dijaga oleh dua orang suster disana.

"Permisi, mbak saya mau tanya pasien yang namanya Septian tidur di sebelah mana ya mba?" Untuk sesaat dua perawat itu saling bertatap-tatapan.

"Itu lho mbak, pengacara terkenal." Entah mata Aya yang salah atau memang dua suster itu tiba-tiba menunjukkan raut tidak suka pada Aya.

"Maaf, mbaknya ini siapanya pasien?"

"Saya.."

"Eh lo Aya ya?" Aya menoleh mendapati seseorang dengan jas dokternya menghampiri Aya. Jelas, Aya tidak mengenalnya, tapi entah bagaimana pria ini bisa tahu namanya?

"Maaf, gue temennya Tian. Nama gue Rian, namanya mirip tapi gue lebih ganteng."

"Ya jelas ganteng pak dokter dong." Aya tercengang mendengar percakapan mereka. Apa mereka buta?

"Lo kesini mau cari Tian ya?"

"Iya pak dokter." Aya membulatkan matanya tak percaya, dua suster itu terus menjawab pertanyaan dari dokter bernama Rian itu.

"Oh gitu, yuk gue tunjukin." Aya memilih diam, tak banyak bicara mengikuti Rian.

"Tadi Tian dibawa kesini, pingsan di kantor." Pingsan? "Kebetulan gue shift malem, jadi bisa mantau Tian." Gak tanya. "Pas nongkrong Tian suka ceritain tentang lo, makanya kita-kita tahu soal lo." Gak peduli.

Aya mendengarkan sambil berjalan dibelakang Rian, sebenarnya sedikit merasa tidak ingin mendengarkan cerita tidak penting ini.

Kaki Aya berhenti melangkah ketika Rian membalik badannya memperhatikan Aya.

"Kata Tian lo itu cerewet kok sekarang pendiem aja." Aya hanya bisa meringis terpaksa, ingin segera berpisah dengan Rian. Satu lagi, Aya hanya tidak ingin mengenali Rian supaya tidak mendapat mimpi.

Aya kembali berjalan mengikuti Rian dengan tenang. Mendengar ucapan Rian dari telinga kanan keluar telinga kiri. Padahal UGD tidak seluas itu, tapi entah mengapa perjalanan ini terasa begitu panjang.

"Ini tempatnya Tian."

Aya menoleh ke kanan dan ke kiri. Bukankah ini tepat berada di depan meja informasi tadi? Sialan. Teman Tian mengerjainya. Dua suster itu masih terlihat menatap Aya dengan tidak suka.

"Masuk aja." Aya terdiam sejenak.

"Terus keadaan Tian gimana?"

"Oh iya, maaf malah cerita yang gak penting. Cuma kecapean aja, suruh banyakin tidur gih. Pasti kalau malam banyak olah raga sama kamu, makanya kecapean." Aya langsung membuka tirai itu, tidak ingin mendengar perkataan terkahir dari Rian.

Aya mendapati Tian sedang tertidur dengan lelap. Aya melangkah dengan pelan meletakkan tasnya di kaki ranjang dengan perlahan, meminimalkan suara yang mungkin dapat mengganggu tidur Tian.

Dengan langkah yang sangat hati-hati sekalipun, Tian tetap terbangun. Menyadari kehadiran Aya.

"Aya." Aya membantu Tian bangun.

"Gimana? Udah mendingan belum?" Tian mengangguk-anggukan kepalanya lemas.

"Butuh energi." Tian merentangkan kedua tangannya. Aya memutar bola matanya malas, masih saja bisa mencari kesempatan di keadaan seperti ini. Walau begitu Aya tetap menyambut uluran Tian dan memeluknya beberapa saat.

"Apa gak nginep dulu disini semalem, biar enakan badannya?" Aya mengambil tempat, duduk ditepi ranjang kecil milik UGD ini.

"Enggak Ya. Tadi cuma disuruh ngehabisin satu infus sama udah dikasih obat, habis itu katanya boleh pulang."

"Lo sih, makanya jangan sok sibuk kalau gak kuat. Gimana? Pulang sekarang?"

"Iya."

"Tapi janji dulu sama aku. Kalau pulang langsung tidur. Ipad kamu aku sita, kamu gak boleh pegang kerjaan."

"Iya janji."

"Eh bentar." Sebelum benar-benar pergi dari sana, Aya menyentuh dahi Tian dengan punggung tangannya, mengukur suhu badan.

"Oke, yuk pulang." Aya membiarkan Tian mengambil tangannya untuk digenggam. Keluar dari sana menuju bagian informasi tempat dua suster itu berada.

"Sus, tagihan aku masukin ke dokter Rian ya." Dua suster itu mengangguk-anggukan kepala antusias.

"Ini ada bingkisan dari kita."

"Gak usah. Terima kasih." Tolak Tian, namun kedua suster itu masih berusaha membuat Tian menerimanya.

"Gak apa kok, ini service disini, setiap ada pasien pulang kita selalu kasih kok." Kenapa mereka memaksa? Aya memutar kedua bola matanya malas.

"Ya sudah, makasih ya." Aya mendelik, buat apa Tian menerimanya? Kalau mau diakan bisa beli sendiri.

Aya segera ditarik pergi dari sana setelah Tian menerima bingkisan itu.

"Ya, ngapain melotot gitu matanya?"

"Seneng ya dapet kado?"

"Kado apa sih?" Aya menunjuk bingkisan itu dengan tatapannya.

"Gak boleh menolak rezeki."

"Bilang aja suka kalau di ganjenin cewek."

"Kamu juga mau kado?" Mata Aya bersinar.

"Beneran? Black card kalau ada?" Kedua tangan Aya sudah terulur untuk menerimanya. Namun Aya malah terkejut dengan perlakuan Tian.

Dengan cepat Tian mengecup dahi Aya, membuat seluruh tubuhnya terbujur kaku. Tersadar ketika Tian mencubit pipinya.

"Aw, sakit Yan." Aya mengelus pipinya yang kemerahan.

"Ciee, udah belum cemburunya?"

"Cemburu? Aku?!" Wah, Aya tertawa tidak percaya. Aya merebut tas Tian dan membawanya berjalan dengan cepat meninggalkan Tian.

Aya tersenyum senang didalam tas Tian terdapat kunci mobil milik Tian, Aya berenca meninggalkan Tian disini, membawa kabur mobilnya.

Tunggu, apa berarti kedua suster tadi melihat Tian mencium dahinya? Entah mengapa Aya tersenyum memikirkannya.

*

Aya meletakkan semangkuk bubur di hadapan Tian, tidak membutuhkan waktu lama Tian menghabiskannya dengan lahab. Rupanya Tian belum menyentuh sedikit makanan sedari siang. Mungkin itu sebabnya Tian bisa sampai pingsan.

"Apa sepenting itu pekerjaan daripada kesehatan?"

"Kan buat nyekolahin anak kita."

"Yan, aku serius."

"Iya deh, aku gak bakal lupa makan lagi." Aya mengambil piring Tian yang sudah kosong, menggantinya dengan obat resep dari dokter.

Sembari Aya menunggu Tian meminum obatnya, Aya mencuci mangkok yang Tian gunakan untuk makan dan panci yang tadi digunakannya untuk memasak, sekalian mencuci piring kotor yang sudah menumpuk.

"Yan, kalau udah minum obat langsung tidur." Aya mengernyitkan dahinya tidak mendapat jawaban dari Tian, atau mungkin Tian sudah pergi tidur? Mungkin saja, Aya mencoba tak menghiraukannya dan melanjutkan aktivitas mencuci piringnya.

Aya hampir menjatuhkan satu piring saat tangan Tian melingkar memeluknya dari belakang, dan kepalanya disembunyikan di bahu Aya, menghirup aroma favorit sepanjang hidupnya.

"Yan, minggir." Peringat Aya, namun Tian tidak memedulikannya malah mengeratkan pelukannya.

"Kenapa? Masih ada yang sakit?" Tian menggeleng. "Terus kenapa?"

"Ya."

"Hm. Kenapa?"

"Aya."

"Kenapa Yan?"

"Kayak kamu melawan mimpi Citra, kamu mau gak ngelawan mimpi anonim kamu?" Aya mengelap tangannya ke celemek sebelum akhirnya membalik badannya menghadap Tian.

"Maksudnya?"

"Gak ada Ya. Gak jadi." Aya menjentikan jarinya ke dahi Tian.

"Aneh." Tian memijat dahinya yang kemerahan.

"Nanti temenin sampe tidur ya? Nanti kamu tidur kamar sebelah aja, udah malem jangan pulang."

"Iya sana masuk kamar terus gosok gigi. Nanti aku nyusul kalau udah selesai." Aya menatap punggung lebar yang berjalan dengan lesu itu.

Sebenarnya Aya tahu kemana arah pembicaraan Tian tadi. Hanya saja Aya tidak bisa membiarkan siapapun mengambil peran dalam mimpi Aya. Dimana di mimpi itu Aya sadar bahwa dirinya sedang menjalin sebuah hubungan percintaan dengan seseorang.

Aya tidak ingin siapapun merelakan dirinya untuk pergi menuju kematian yang sudah tertulis di mimpi yang Aya dapatkan, terlebih lagi Tian. Aya tidak bisa membiarkan hal tersebut.

Lebih baik Aya hidup melajang sampai mati. Bukankah hidup melajang bukanlah hal yang asing lagi?

Semenjak mendapat mimpi itu Aya telah menutup pintu hatinya. Dari arah manapun dan oleh siapapun itu.

Sialnya, sudah beberapa kali Tian hampir berhasil untuk merobohkan pertahanan yang Aya bangun.

*

avataravatar
Next chapter