16 Jangan malu gitu

Aya menguap, merasa tidak bisa menahan kantuknya lagi. Padahal sekarang bukan waktunya untuk tidur. Aya harus tetap membuka lebar matanya untuk melanjutkan proyek yang sudah didepan matanya.

Aya menatap jam tangan pemberian ayahnya yang sedang ditaruhnya diatas meja, merasa terganggu bila memakainya saat mengerjakan pekerjaan.

Aya tersenyum, mengingat manfaat jam itu yang benar-benar ampuh untuk mengusir mimpi Aya agar tidak menjadi kenyataan.

Sesekali Aya memandang kursi kosong tempat biasa Citra duduk mengerjakan pekerjaannya. Sudah tiga hari semenjak Aya mendengar kabar terkahir Citra yang hendak pergi dinas ke luar kota.

Namun sampai saat ini Aya belum mendengar kabar apapun lagi dari Citra, temannya. Aya melirik hpnya yang sangat ramai notif dari Tian. Namun tak ada satupun notif dari Citra.

Aya menunggu dengan sabar, menanti kabar dari Citra.

Wati mengetuk meja Aya, menyadarkannya dari lamunan.

"Udah sampe mana proyeknya?"

"Udah tahap akhir kok. Dua hari lagi jadi."

"Oke, saya tunggu." Tak langsung pergi, Wati menarik kursi mendekati Aya. "Ya, katanya Farhan mau pindah keluar negeri loh."

"Oh, bagus dong."

"Ya kan, kita bisa tenang deh. Lagian udah tahu suka sama Citra, harusnya merubah diri dong, malah ngajak Citra ikut-ikutan sesat."

"Biarin ah, urusan dia sendiri. Lha kamu sendiri gimana? Udah baikan belum sama suami."

"Gimana ya, dari awal kita emang gak ada pertengkaran. Cuma saling cuek aja. Sekarang sih, dia udah agak lebih perhatian, tidur dikamar juga, gak ngajak cewek lagi kerumah, bahkan ngasih gue black card loh."

"Alhamdulillah, itu artinya dia sadar. Sekarang gimana? Masih mau tetep pisah gak?"

"Kalau itu kayaknya harus aku pertimbangin deh."

"Kenapa? Kayaknya kemaren ngotot mau cerai? Kamu suka kan sama suami kamu?" Goda Aya membuat pipi Wati bersemu merah.

"Apasih Ya. Suami sendiri masak gak boleh disukain?"

"Cieee."

"Apaan sih cie-cie, yang harusnya dipertanyakan itu lo sama Tian."

"Emang kenapa? Kita selama ini akur-akur aja kok."

"Dia ada niatan buat lamar kamu mungkin?"

"Lamar apasih. Aku sama Tian cuma temen, gak lebih."

"Iya deh, temen tapi mesra." Aya ingin sekali menimpuk kepala Wati.

"Btw,  Citra kok belum berangkat ya? Harusnya dinasnya selesai kemaren loh. Hari ini masuk kantor."

"Masa? Kok aku gak tahu dari hari pertama juga gak pernah kasih kabar. Dihubungin gak bisa."

"Ya udah kamu lanjut kerja, biar aku cari tahu keadaan cabang yang dikunjungi sama Citra."

"Oke."

Aya senantiasa mencegah segala fikiran buruk yang hinggap di kepalanya. Berdoa kepada Sang Maha Pencipta agar Citra baik-baik saja.

*

Aya berjalan santai sambil membawa dua kantong besar, bersenandung ria, sesekali melompat-lompat kecil. Aya mengecup jam tangan pemberian ayahnya. Jika seperti ini Aya akan terus memakai jam tangan itu.

Aya akan mencoba melawan dan menghadapi mimpi-mimpinya mulai saat ini, karena jam tangan ajaib ini  seakan memberinya kekuatan dan keberanian.

Teringat baru tadi sore mendapat kabar dari Citra bahwa banyak kendala diperusahaan cabang, jadi Citra masih ingin mengawasinya disana. Yah, Wati hanya bisa mengizinkan.

Sedangkan masalah Aya tidak bisa menghubungi Citra, rupanya hp Citra terjatuh dalam kubangan air dan tidak bisa terselamatkan, untuk menservice hp itu juga butuh sedikit waktu.

Intinya saat ini Aya sangat tenang dan bahagia.

"Kamu akan kehilangan sesuatu yang berharga."

Aya tersentak ketika melihat sorang  nenek muncul entah dari arah mana?

"Kamu tidak bisa merubah takdir seseorang, kamu hanya memundurkan waktunya. Yang kamu lakukan itu sia-sia."

"Maksud nenek bagaimana?" Tanya Aya kebingungan dengan maksud nenek itu yang sebenarnya.

"Dengarkan perkataanku ini, jangan sedikitpun percaya dengan Suripah dan jangan terlalu bergantung pada satu hal yang ada pada jam tangan itu."

Aya hanya bisa terdiam, saat nenek itu pergi meninggalkannya seorang diri disana, dengan banyak pertanyaan yang mulai menyerang.

Bagaimana nenek itu bisa tahu tentang mbah Suripah? Padahal Aya tidak pernah menceritakan kunjungannya pada siapapun. Aya rasa Tian juga tidak mungkin, karena Tian sangat menjaga kerahasiaan kliennya.

Lalu bagaimana nenek itu tahu ada sesuatu didalam jam tangan yang dipakainya? Kenapa Aya tidak boleh terlalu bergantung pada jam ini? Padahal jam inilah yang membuat mimpinya tidak menjadi kenyataan untuk pertama kalinya.

Jika seperti ini, Aya harus mempercayai siapa? Aya tak tahu. Yang Aya yakini keputusan yang diambilnya sudah benar.

Semoga saja benar.

*

Aya terkejut bukan main saat membuka pintu rumahnya dan mendapati seonggok manusia yang terduduk bersandar pada sofa sambil memejamkan matanya.

Aya membanting pintunya, sengaja menciptakan bunyi gebrakan yang keras agar manusia itu terbangun dari tidurnya.

"Pulang sana, udah malem juga."

"Laper."

"Beli makan dong, disini bukan warung."

"Itu kamu bawa makanan."

"Ini chiki, bukan makanan berat. Gak bakal kenyang walaupun habis sebungkus besar."

Aya segera berlalu dari sana menuju dapur untuk menuangkan dua gelas susu kedalam gelas, meninggalkan Tian sendiri disana dengan ucapannya yang tertahan karena kepergian Aya.

Tunggu, kenapa Aya menuangkan susu pada dua gelas? Satu saja sudah cukup untuk perutnya. Aya membuang nafas, melihat Tian sudah terduduk rapi didepannya.

"Ini diminum, buat ganjel perut." Tian memalingkan muka sembari menutupi mulutnya, menahan keinginan untuk muntah. Sedangkan Aya menghabiskan segelas susu itu dengan santai.

Aya menghampiri Tian yang wajahnya nampak sangat pucat.

"Yan lo gak apa-apa?"

"Gak tau Ya. Sedari pagi badan aku kayak gini rasanya."

"Masuk angin ya?"

"Mungkin, semalam aku habis begadang."

"Ya udah, mau gue kerokin? Susunya minum nanti aja, ini gue masukin kulkas dulu."

"Aku gak suka kerokan Ya. Yang lain aja."

"Gak ada obat Yan."

"Beliin apotek depan."

"Lo kayak cewek, rewel banget. Apoteknya tutup tadi aku lewat."

"Jamu herbal ada? Gamau Udara?" Ucap Tian menyebutkan salah satu merk.

"Habis Yan, gue belum beli astaga. Kerok aja ya? Janji gak sakit deh." Tian mengangguk dengan pasrah.

"Good. Gue cariin koin sama minyak kayu putih dulu. Kamu tunggu diruang tamu."

Aya terkekeh, melihat punggung lebar Tian yang terlihat sangat tidak bersemangat seperti biasanya. Aya sedikit bersyukur karena Tian, Aya melupakan hal-hal aneh yang dikatakan nenek-nenek dijalan tadi.

*

Aya menjerit sekencang mungkin, melihat Tian hanya mengenakan celana bahannya dengan santai diruang tamu, yang kemejanya entah raib kemana. Bagaimana jika ayahnya datang dan benar-benar membuat Tian babak belur?

"Ya, udah malem, kalau ada tetangga kesini gimana?"

"Lagian kenapa lepas baju sih?" Kata Aya masih menutupi matanya yang suci dengan kedua telapak tangannya.

"Kan mau kerokan punggung, bukan ditangan, ya buka baju lah."

"Kan bisa dinaikin aja."

"Lagian kenapa sih, bukannya pas kecil malah udah lihat satu badan aku ya? Ini cuma baju aja lho."

"Bed.." Aya hampir berteriak untuk yang kedua kalinya saat melihat Tian sudah berada dihadapanya ketika Aya membuka matanya.

"Ya udah, jangan malu gitu ah. Ntar kalau udah jadi suami juga terbiasa."

Tian sialan!

avataravatar
Next chapter