webnovel

Berpengalaman

Suasana kantor yang tadinya tenang, kini menjadi sangat ramai saat jam menunjukkan pukul empat sore, bertanda jam kantor telah usai dan semua karyawan akan pergi kerumah masing-masing meninggalkan meja kerja.

Semua diruangan ini sibuk menata berkas-berkas dan mematikan komputer, tak lupa memasukkan benda pribadi milik mereka kedalam tas.

Aya buru-buru menghampiri Citra yang sedang menunggu lift terbuka setelah memastikan tidak ada barang tertinggal di meja.

"Cit, gue nebeng ya?"

"Duh, sorry banget Ya. Gue bareng Farhan nih."

"Lah terus mobil lo?"

"Mau dipake sama adek, katanya ada acara dipuncak." Aya meluruhkan bahunya tidak bersemangat. Mobil Aya sedang dibawa Ayahnya dan Aya tidak bisa menolak.

Aya dan Citra tetap berjalan keluar kantor bersama.

"Eh mobil itu kayak kenal deh." Aya menyipitkan matanya menatap mobil yang ditunjuk Citra. Aya tahu itu mobil Tian, teman masa kecilnya. Mobil yang hanya ada lima di seluruh dunia itu, berhasil dimiliki Tian.

Tidak ada yang mustahil bagi Tian untuk memiliki segala hal yang ada didunia ini. Tian bekerja sebagai pengacara, bukan pengacara biasa tapi pengacara kondang termuda.

Kasus yang dipegang Tian memiliki kemungkinan kecil untuk kalah. Maka dari itu banyak artis atau orang kaya lainnya yang berebut membayar jasa Tian dengan harga yang tak main-main.

Kebiasaan Tian, suka menjemput Aya tanpa mengabari. Jadi jika Aya membawa mobil, Tian akan meminta Aya untuk meninggalkan mobilnya.

"Eh Tian toh." Tian keluar dari mobilnya, menghampiri Aya dan Citra.

"Ganteng njir."

"Astaga, dia pengacara yang terkenal itu kan?"

"Septian namanya."

"Ganteng banget aslinya deh."

"Jemput siapa sih?"

"Oh si Aya."

"Ternyata seleranya gak benget."

"Percuma gantengnya kalau sukanya model kayak begituan."

Aya menulikan telinganya, memang apa yang salah darinya. Aya cantik kok. Aya menatap dirinya dari pantulan hpnya.

Rambut digulung asal-asalan, make up luntur, lipstik yang hampir menghilang, kemeja biru langit yang tidak disetrika, rok hitam selututnya yang menjadi kegemarannya. Terakhir, sepatu hak yang tidak ditali. Aya benar-benar pantas dihujat sekarang.

"Ya, gue duluan ya. Udah dateng orangnya. Oh iya sementara ini jangan bilang Abi dulu, soalnya lo tau Abi gue seketat apa sama cowok. Ntar gue disuruh ta'aruf lagi. Gue belum siap."

"Iya, udah sana."

"Makasih. Bye Aya. Bye Tian." Pamit Citra saat Tian yang sudah berdiri dihadapan Aya.

"Dijemput siapa tuh si Citra?"

"Udah yuk, cepet pulang." Aya menarik Tian untuk segera memasuki mobil. Telinga Aya sudah cukup pedas mendengar racauan gadis nakal di sekitarnya.

Tian membukakan pintu mobil untuk Aya, kemudian berputar kearah kursi kemudi setelah Aya benar-benar duduk dikursinya. Kemudian menjalankan mobilnya keluar dari area parkir menuju jalanan yang macet.

"Itu tadi pacarnya Citra ya?" Aya mendelik kaget. Bagaimana Tian bisa tahu? Kalau Tian sampai berbicara kepada Abi, bisa gawat.

"Kok lo tahu?"

"Taulah. Gak biasanya juga Citra pulang bareng cowok, bisa-bisa dicoret dari kartu keluarga." Benar juga, karena keluarga Citra yang begitu ketat dalam beragama membuat Citra kurang dalam pengalaman cinta.

"Aku juga udah pengalaman kali Ya, sama kasus-kasus backstreet. Entah alasan perjodohan, perselingkuhan atau kayak Citra gitu." Tambah Tian, Tian sebenarnya tidak ingin membahas Citra, tapi Tian rasa pernah melihat pria yang bersama Citra.

"Kamu kenal pacarnya?"

"Ya enggaklah. Kamu tahu alasannya." Tian merasakan firasat buruk dari ini. Namun Aya merasa tenang-tenang saja, Tian rasa mimpi Aya akhir-akhir ini bukan tentang Citra.

Sama seperti Citra, Aya juga kurang pengalaman tentang cinta, namun dalam konteks yang berbeda.

Setelah menyadari Aya memiliki kutukan mimpi. Aya menjauhi semua teman-temannya dan berakhir dikenal sebagai anak yang penyendiri.

Banyak juga psikolog datang menemuinya, namun akhirnya menyerah karena Aya begini bukan karena sepeninggal ibunya. Tapi karena hal lain yang tidak bisa Aya ceritakan pada siapapun.

*

Sudah pukul sebelas malam, Aya masih menajamkan matanya pada gambarnya di notebooknya. Aya berterima kasih pada Tian, jika bukan karenanya. Mungkin Aya akan berdesakkan di bus atau merogoh kocek dalam untuk taksi.

Kebiasaan Aya untuk mengingat mimpi yang selalu didapatkannya. Setiap gambaran baru dari mimpinya, Aya akan menggambar mimpi itu dalam sebuah notebook hingga penuh.

Aya benar-benar tersiksa saat mengingatnya. Tapi ini dilakukannya karena rasa bersalahnya kepada orang-orang yang tak berhasil diselamatkannya.

Aya mengabaikan panggilan masuk yang muncul di layar hpnya. Jika Aya tidak menggambar ini sekarang Aya rasa Aya akan kesulitan mengingatnya, karena saat Aya tidur dirinya akan mendapatkan gambaran baru dari mimpinya.

Aya terfokus pada gambarnya sampai panggilan masuk itu sudah berbunyi sebanyak hampir dua puluh kali.

Aya menyerah, Aya meletakkan alat gambarnya yang setengah jadi. Aya meraih ponselnya yang ada diatas  kasurnya.

18 panggilan masuk dari Citra.

Aya memencet tombol telfon balik saat dering dari Citra berhenti.

"Halo, Cit ada apa?" Lagu yang keras seketika menyambut telinga Aya.

"Ayaa! Tsemen gueh yang supeeer dupeeeer cueknya naudzubillah. Kenapa lama banget sih ngangkatnya." Aya merasa aneh dengan nada bicara Citra yang sedikit terdengar manja?

"Kenapa cit?"

"Jemput gueeh dong."

"Lo dimana?"

"Jemput!" Bentak Citra.

"Ya makanya lo dimana?"

"Gue? Gue ada di hehehe. Farhan ah, aku mauh pulang." Aya segera mengganti piyamanya dengan celana jeans dan kemeja asal-asalan.

"Cit, jangan bilang lo di klub malam?"

"Iya hehe. Suuut. Jangan bilang Abi. Ntar dimarahin." Aya tak habis fikir, kenapa Citra mau kesana? Kalau tidak salah dengar Citra disana bersama Farhan.

"Klub mana? Aku jemput sekarang." Aya keluar rumah sambil terbirit-birit, tak perlu repot karena rumahnya menggunakan kode akses yang apabila pintu tertutup maka akan terkunci otomatis.

Aya segera memesan taksi online, Aya yakin bus atau angkutan yang lainnya di tengah malam begini sudah tidak ada. Aya takut jika Citra masuk ke jalan yang salah.

Seorang tertawa cekikikan, membuat Aya menoleh mencari sumber suara. Rupanya seorang nenek dengan bau khas minyak urut.

"Nenek malem-malem mau kemana?" Hampir saja Aya mengira bahwa tawa yang didengarnya berasal dari suara tawa makhluk bernama tente kunti.

"Kamu harus cepat, selamatkan temanmu sebelum terlambat." Nenek itu kembali tertawa dan langsung pergi melewati Aya begitu saja.

Aya tercenung, bagaimana nenek itu bisa tahu?

*

Aya memasuki klub yang Citra katakan beberapa menit lalu. Suasana klub benar-benar sangat berisik dan ramai. Aya ingin segera keluar dari tempat ini.

Aya bertanya pada bartender dengan memperlihatkan foto Citra. Aya berterima kasih dan segera menuju tempat yang ditunjuk oleh bartender.

Private room. Kamar-kamar yang terletak di lantai dua, yang sudah jelas fungsinya untuk apa.

Aya tergopoh-gopoh menaiki tangga. Mulai merasa ragu saat melihat dari ujung ke ujung lorong penuh dengan kamar. Aya tak tahu kamar mana yang didalamnya terdapat Citra.

Aya tidak punya waktu untuk berfikir, dengan langkah cepat Aya membuka satu persatu kamar disana.

Next chapter