webnovel

Adhitya Pramanta

"Kau resmi berpacaran?!" pekik Reva begitu mendengar pengakuan Zera jika ia mendapatkan kado istimewa hari ini dari seorang playboy yang paling terkenal seantero sekolah. Adhitya Pramanta.

"Tidak," jawab Zera dengan kekehan ringan. "Hanya sekadar hadiah."

Reva menghela napas panjang lalu mencengkeram tangan Zera dengan pelan. "Kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu kalau arti dari kalung dan cincin itu sangat dalam?"

Zera mengedikkan bahunya cepat sehingga memberi petunjuk bagi Reva untuk melepaskan tangannya dari tangan Zera. Namun Reva tetap terfokus pada tatapannya akan Zera yang terus membaca novel tebalnya.

"Kalung," ujar Reva keras-keras hingga Zera tidak memiliki pilihan lain selain mendongak memerhatikan ucapan Reva, "artinya ia siap untuk melindungimu, mengayomi dan sebagai tanda bahwa ia ingin untuk selalu diandalkan dalam segala hal. Kalung juga bisa bermakna cinta yang ia miliki sedang bergelora."

Zera hanya menatap. Ia tidak tahu harus bereaksi apa. Ia sudah tahu semua penjelasan itu. Tapi dipaparkannya oleh wanita paling pintar seantero sekolah membuatnya bergidik ngeri. Artinya, wanita itu bersungguh jika arti dari pemberian itu adalah benar yang dimaksudkan oleh Adhitya. Senyumnya mengembang, namun ia berusaha untuk tetap menyembunyikannya. Ia tidak boleh terlalu berbahagia sebelum semuanya jelas di depan matanya sendiri. Bahwa apa yang ia pikirkan tentang Adhitya adalah benar, jika lelaki itu memang tidak hanya memandangnya sebatas sahabat.

"Cincin," lanjut Reva, "dia ingin memiliki hubungan yang lebih denganmu."

"Cincin ini berkat karena kau telah menerimaku sebagai sahabatmu," ulang Zera dalam benaknya. "Mendadak menjadi hal yang lebih dari yang kau kira."

"Oh no," gumam Zera sambil membekap mulutnya.

"Kau terlalu polos, Zer," gerutu Reva sambil menoyor kepala Zera. "Kau suka kepada playboy cap gajah itu?"

Zera mencoba untuk mengatur napasnya, mencoba berpikir dengan tenang. Jantungnya harus baik-baik saja setelah ini. Setelah ia tahu jika sebenarnya Adhitya memang menaruh perasaan lebih daripada yang ia kira. Cincin sebagai tanda bahwa lelaki itu menginginkan yang lebih, 'kan? Kalau mereka berpacaran maka Adhitya ingin menikahinya. Kalau mereka bersahabat, maka lelaki itu ingin dia sebagai kekasihnya adalah benar?

Zera memejamkan mata dengan pekikan dalam hati. Ia terlalu senang pagi ini. Di hari ulang tahunnya sendiri. Kado teristimewa sepanjang hidupnya. Adhitya beserta kalung dan cincinnya itu. Zera terus mengerutkan hidungnya untuk menahan diri agar tidak bertingkah agresif di hadapan Reva. Apalagi pertanyaan-pertanyaan dari wanita itu begitu menjebak. Ia harus berhati-hati dalam menjawab. Harus tenang dan tidak boleh berlebihan. Serta tatapan wanita itu yang 'tak lain 'tak bukan adalah menantangnya untuk berkata dengan jujur tanpa adanya kebohongan sedikitpun.

Zera mengangguk membenarkan. "Ya. Biarkan saja dia berulah. Aku tidak bisa memungkiri bahwa ia adalah lelaki yang sangat tampan, pintar dan perfect dari segala sisi."

Reva mengacungkan jarinya sembarangan. Ia bingung dengan jawaban Zera. Tapi ia menyadari hal lain di tengah kebingungannya itu. "Kau tahu semua arti dari kalung dan cincin itu, 'kan?"

Zera mengedikkan bahunya sekali lagi. Tidak ingin menjawabnya secara frontal. Tahu kalau Reva akan membunuhnya habis-habisan ketika ia tahu bahwa Zera sudah mengetahui semua arti itu dan tetap membuat Reva mengatakannya.

Reva mendelik tidak senang akan reaksi Zera. Jawaban Zera juga terlalu jujur dan Reva tidak nyaman dengan itu. Well, mungkin salahnya juga telah memaksa Zera jujur secara tidak langsung, tapi bukan jawaban itu yang menjadi maksudnya. "Kau sudah gila, Zer."

"Salahkah aku yang mencintai sahabatku sendiri? Aku adalah wanita normal yang tahu bagaimana nyamannya diperlakukan dengan sangat lembut dan penuh dengan kepedulian," sahut Zera dengan senyum tipisnya. Ia menghela napas singkat. "Adhitya mampu memberikannya padaku dan menolaknya, aku tidak yakin."

"Berhati-hatilah dengannya, Zera. Adhitya adalah playboy paling terkenal di sekolah ini. Kau bermasalah dengan setiap wanita yang menyukai Adhitya. Mengingat semua wanita di sekolah ini--tidak terkecuali aku--juga menyukainya, kau akan mendapat masalah yang sangat-sangat besar. Apa kau siap?" tanya Reva tanpa menyembunyikan maksudnya.

"Rev," desah Zera lelah dengan omelan sahabatnya itu. "Aku yakin dengan kalung ini artinya dia juga akan melindungi perasaanku, 'kan?"

Reva menghela napas panjang lalu meremas jemari Zera perlahan. "Dia bisa mematahkan hatimu kapan saja ia mau. Tentukan saja tanggalnya. Hari ini? Besok? Lusa?"

Zera mengangkat novelnya tinggi-tinggi dan berpura-pura membacanya dengan hikmat. Ia bergeming menatap semua kemungkinan yang dipaparkan oleh Reva mungkin terjadi padanya cepat atau lambat. Tapi Zera bersikeras bahwa Adhitya tidak akan melakukan itu terhadapnya. Semua kenyataan akhirnya tetap terarah kepada lelaki playboy itu. Sebesar apapun keinginannya untuk membatasi hubungan di antara mereka.

Zera menghela napas. Pantas ia playboy. Zera tidak bisa menyangkal. Ia hanya bisa untuk terus membenarkannya dari waktu ke waktu. Seberapa keras ia mencoba untuk berbohong tentang perasaannya terhadap Adhitya, perasaannya justru semakin dalam dan dalam hingga tidak menyisakan tempat untuk pria lain di muka bumi ini.

"Mencintai Adhitya tidak terdengar benar di telingaku," tambah Reva ketika ia membanting novel Zera ke lantai.

Biasanya Zera akan marah. Namun kali ini Zera sampai pada tingkat kegilaannya akan Adhitya. Sebab ia hanya tersenyum dan berujar, "Adhitya memintaku untuk menjadi kekasihnya."

Reva siap memaki-maki Zera yang dengan santai memberikan informasi tidak masuk akal itu kepadanya. Ia juga siap untuk menghujani Zera dengan ribuan peringatan untuk tidak menerima lelaki itu sebelum tiba-tiba Zera menambahkan, "Berkali-kali. Dan aku menolaknya."

Reva melongo tajam lalu bertanya, "Dalam rangka apa kau menolaknya?"

"Aku ingin ia merasa sulit untuk mendapatkan diriku. Tertatih-tatih saat mengejarku dan supaya ia ingat jika melepasku suatu hari nanti bukanlah ide yang bagus sama sekali," tutur Zera santai sambil memungut novelnya yang masih tergeletak di lantai. "Aku sudah gila dan aku tidak perlu mendengar kalimat itu keluar dari mulutmu lagi."

"Kau tahu itu dan tetap mengharapkannya?" tukas Reva dengan nadanya yang kian meninggi. "Zera, apa kau lupa jika lelaki seperti Adhitya hanya perlu merapikan rambutnya, menata rapi pakaian yang ia kenakan lalu menjentikkan jarinya untuk mendapatkan seorang wanita?"

Zera mengerutkan dahinya dengan sukses. "Apa maksudmu?"

"Kau sungguh lupa jika Adhitya semenarik itu hingga mendapatkan wanita baru baginya akan sangat mudah? Jika kau tidak menginginkan dirinya, ia hanya perlu melakukan setiap hal kecil untuk memperbaiki dirinya lalu menjentikkan jari. Dan dalam sekejap setiap wanita di dunia ini akan berlari untuk  mengejarnya," jelas Reva dengan penuh antusias sekaligus perasaan bersalah setelah mengatakan semua itu pada sahabatnya sendiri.

"Kau membencinya," ketus Zera.

"Aku membencinya karena ia akan menghancurkan hatimu begitu kau memberi ruang untuk dia memasuki hidupmu."

"Adhitya itu sebenarnya laki-laki yang sangat baik. Apa hanya aku yang bisa melihat hal itu darinya?"

"Tidak, Zera. Kau hanya terlalu buta kepada cinta yang berusaha ia manipulasi. Mungkin ia tidak benar mencintaimu. Ia hanya menginginkan dirimu sebagai salah satu mainannya. Dan sekarang kita bisa lihat bagaimana akhirnya kau terjebak di dalam pesona lelaki itu," gemas Reva.

Zera meneguk air liurnya dengan susah payah. Berusaha menangkal semua ucapan Reva. Apa mungkin ia terlalu luluh di dalam pesona lelaki itu? Apa benar ia sudah kehilangan akal karena menyukai lelaki itu dengan begitu payah?

"Bolehkah aku membuktikan saja pada dirimu jika Adhitya tidak akan melukai hatiku?"

Next chapter