3 STALKER

Demi semua kenangan pahit yang telah menjadi horor, aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan Koko! NEVER. NEVER. NEVER.

Baiklah, itu mungkin berlebihan, tetapi sepak terjang Koko menguntitku sudah luar binasa kelewatan. Aku berusaha menyimpan air mata kekesalan yang mulai menggenang di sudut pelupuk mata. Malu kalau ketahuan oleh semua orang satu dojo, apalagi sensei. Mau ditaruh di mana lubang hidungku?

"Manda, ada cowok yang menunggu kamu di luar." Sensei Juned, senseiku yang masih muda, ganteng, tapi lugu, berbaik hati memberi tahu. Naura, sahabatku yang juga ikut latihan bareng aku, lantas memberi kode “merah besar” di matanya-BAHAYA. Jantungku langsung melorot ke bawah, lalu tampaklah kepala Koko celingak-celinguk di depan pintu aula dojo kami.

Hah? Apa yang dia lakukan di sini? Aku langsung memasang jurus bersembunyi dalam kawanan dan balik menatap Naura ketakutan. Siapa yang memberitahu Koko kalau aku latihan karate di dojo ini? Mataku membulat kepada Naura. Ia hanya mengangkat bahunya “TAK TAHU” seakan memahami tanda tanyaku. Duh, mampus, deh, aku hari ini! Cowok itu bahkan dengan sengaknya mengirimkan pesan lewat salah seorang pelatihku. Siapa sudi ketemu dia? Ogah.

"Manda, dari tadi ada yang cari kamu, tuh!" Kini giliran kohai seperguruanku yang memberi tahu.

Aku langsung menggeleng. "Gak kenal," jawabku.

Kejadian serupa terus berlangsung berulang-ulang lewat penyampai pesan yang berbeda. Jumlah murid di dojo ini puluhan orang, apa Koko mau request mereka satu per satu? Alamak, malunya! Kohai-kohai-ku mulai berbisik curiga. Sementara, Koko sudah mengendus titik keberadaanku dan melambaikan tangannya dengan ceria tanpa rasa bersalah.

"Manda, maunya Koko apa, sih?!" Naura berang.

Naura saja berang, apalagi aku!

"Manda." Sensei Juned menyamperi aku lagi. Duh, apa lagi sih. Kalau bukan karena dia senseiku dan sikapnya yang sopan, aku pasti sudah memasang wajah kesal. Naura pernah bilang kalau Sensei Juned punya rasa sama aku dan sedang dalam upaya PDKT, tapi kenapa dia tidak peka sama sekali kalau aku sedang berusaha mengirim sinyal darurat butuh bantuan? Jelas-jelas aku sudah menolak bertemu Koko! Ah, Sensei Juned orangnya terlalu polos dan baik hati, sih. Kalau aku bilang Koko itu mantanku yang sedang stalk aku, gimana reaksinya coba? Boro-boro, dia pasti langsung mundur.

Virus akhirnya menyebar juga. Dengan percaya dirinya, Koko masuk ke dalam ruang dojo, lalu mendekatiku di antara denshi (siswa karate) yang sedang break latihan. Sialnya, ada Sensei Juned di sampingku.

"Manda, ikut aku, yuk!" ajaknya memaksa menggamit tanganku yang langsung kutepis dengan kasar.

"Siapa, Manda?" Sensei Juned malah bertanya padaku. Dari tadi dia bolak-balik menyampaikan pesan, baru kepikiran, ya? Sensei, oh, Sensei ….

"Pacar," jawab Koko singkat langsung memancing emosiku.

"Udah putus, juga!" Naura menimpali.

"Oh. Aku pergi dulu ya, silakan bicara." Sensei Juned malah mengeluyur pergi dengan ekspresi tidak nyaman.

Eh? TIDAAAK, jeritku nelangsa dalam hati. Sensei, jangan tinggalkan aku sendiri!

Untunglah Naura tidak ikut-ikutan meninggalkanku. Sahabatku ini mengambil langkah nekat dengan menarik tanganku. Kami lalu mencari area perlindungan di dekat Sensei Iskandar, pimpinan dojo yang sedang asyik berdiskusi dengan seorang pelatih lainnya. Tidak kami pedulikan tatapan keheranan denshi yang lain, yang penting selamat dari kejaran Koko.

Untuk sementara. Selanjutnya? Aku panik.

Lalu, mataku melebar teringat sesuatu. AVICENNA.

Ya Tuhan... baru beberapa hari yang lalu dia memberiku nomor telepon dan aku sudah meminta bantuannya? Malunya .... Tapi aku betul-betul ketakutan sekarang. Lebih baik malu minta bantuan sama Senna daripada malu ketahuan satu dojo. Kira-kira, dia mau tidak, ya, bantu aku?

"Kok malah main HP, sih?" Naura mencak-mencak menatap gerakan jariku yang terburu-buru mengetik sebuah pesan darurat.

"Minta dijemput, Ra," tukasku malu-malu.

"Siapa? Ibumu?"

Aku menggeleng. Ya, enggaklah. Bakal perang dunia kalau Mama bertemu Koko sekarang. Lagipula, Mama mana ada waktu?

"Ada deh," tukasku lagi singkat karena terlalu cemas untuk menjelaskan situasinya sekarang.

Kriiing. Tiba-tiba ponselku berdering. Yup. Aku enggak pakai ringtone macam-macam.

"Di mana, Kak?" Sebuah suara agak dalam terdengar di seberang sana dan aku langsung gelagapan menjelaskan keberadaanku sekarang. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Senna bakal menggubris pesanku tadi. Instan, pula. Perasaanku jadi lebih kalem.

Tak kurang dari seperempat jam kemudian, wajah penyelamatku itu muncul di pintu dojo, aku merasa terharu, nyaris berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Setelah memberi hormat di depan pintu, Senna masuk ke ruang dojo dengan gaya percaya diri dan menarik perhatian semua orang. Bagaimana tidak? Saat itu, dia juga masih mengenakan celana karate, walaupun uwagi-nya (seragam atasan karate) sudah diganti dengan kaus dan hoodie. Seorang karateka asing masuk ke dojo orang kesannya mau menantang kumite (bertanding) saja.

"Osu." Senna langsung membungkuk memberi salam pada Sensei Iskandar yang lantas membalas.

"Avicenna?" sapa Sensei Iskandar mengenalinya.

"Iya, Sensei. Saya ke sini mau jemput kakak," jelasnya langsung.

Lo? Sensei Iskandar dan Senna sudah saling kenal?

"Oh, silakan. Yang mana orangnya?"

"Kak Amanda." Dia menunjukku yang sedari tadi mengekor tak jauh dari tempat pria berusia empat puluhan itu. Aku hanya bisa meringis malu pada beliau.

“Saya pamit dulu, Sensei,” ujarku malu-malu.

“Silakan.” Sensei Iskandar mengangguk ramah.

"Osu." Avicenna berpamitan padanya.

"Manda, Avicenna, Man!" Naura berbisik di telingaku dan mencubit pinggangku takjub. Lo, kenapa cewek ini reaksinya heboh? Apa Naura juga kenal sama Senna? Atau … jangan-jangan semua orang di sini kenal dia, ya? Kok bisa?

"Pulang sekarang, Kak Manda?" Dia memutus keherananku. Kulihat dia sedang tersenyum manis padaku sehingga aku salah tingkah mengiakannya. Melihat wajah penyelamatku saja aku sudah sangat bersyukur, apalagi jika dikasih bonus begini. Sikapnya bikin aku nervous saja.

"Naura, sori, aku duluan ya!" pamitku pada sahabatku yang tampak belum ikhlas merelakan kepergian kami. Di wajahnya tampak begitu banyak pertanyaan yang nanti pasti jadi PR panjangku malam ini di Whatsapp untuk menjelaskan.

"Manda!" Koko memanggilku.

Astaga, aku lupa dengan makhluk satu ini. Tentu saja, kalau dia tidak muncul di dojo hari ini, Senna juga tidak bakalan ada di sini, bukan? Dia terlihat sangat kesal bergantian menatapku dan remaja di sampingku.

"Sekarang kau mainnya sama anak kecil, ya?" tuding Koko marah.

Uh, tidak sopan betul bicaranya! Aku melotot habis-habisan pada Koko. Namun, Senna hanya menanggapi dengan dingin.

"Kalau mau berantem, yuk di luar, aku layani! Beraninya jangan cuma sama cewek."

Aku bisa melihat urat-urat di wajah Koko mengeras. Dia tampak sangat marah, tetapi hanya bisa menelan ludah. Entah kenapa sepertinya dia tidak berani menjawab tantangan Senna dan akhirnya membiarkan kami pergi dari sana dengan tenang, meskipun kemudian Koko terlihat membuntuti kami jauh di belakang. Sepertinya, mantanku itu sedang menilai keadaan.

***

Ternyata, Koko masih diam-diam mengikuti setelah kami keluar dari gedung tempatku latihan karate, tetapi aku yakin seratus persen kalau Koko tidak bakal berani mendekat dari gerak-geriknya yang teramat waspada menatap punggung Senna. Lucu juga melihat cowok besar itu takut sama yang lebih muda.

Sesampainya di parkiran, aku sempat menoleh ke belakang dan kuperhatikan Koko langsung masuk ke dalam mobilnya lalu diam menunggu di sana. Mungkin dia sedang mencari kesempatan untuk mendekatiku dalam perjalanan pulang mengingat cowok ini adalah seorang stalker sejati.

"Abaikan saja, Kak. Koko enggak bakal berani selama ada aku," ujar Senna penuh percaya diri. Aish. Tapi … memang betul, sih. Aku benar-benar merasa aman berada di sampingnya.

"Senna, terima kasih, ya, sudah menolong Kak Manda hari ini." Aku sungguh merasa tertolong olehnya.

"Yang penting Kak Manda gak kenapa-kenapa," timpalnya malah bikin aku baper sendiri karena sikapnya yang sangat perhatian.

Duh, andaikan aku sungguh punya adik lelaki macam dia, pasti urusanku sama Koko sudah kelar dari dulu. Andai oh andai.

"Kenapa, Kak? Kok senyum-senyum sendiri?"

Ampun, kelihatan, ya?

"Mmm, Kak Manda cuma berpikir kepingin punya adik cowok kayak kamu," jawabku jujur.

Senna malah tertawa lepas mendengar jawabanku. Geeez, tak hanya senyumnya. Ternyata suara tawanya juga manis. Kupingku sampai memerah mendengarnya.

"Biar bisa jadi bodyguard Kak Manda, gitu?" tebaknya tepat sekali.

Aih! Aku pasti kelihatan seperti suka memanfaatkan orang.

"Tidak perlu jadi adiknya Kak Manda pun, aku mau jadi bodyguard Kakak."

"Eh? Kamu kok baik banget?" tukasku tidak percaya.

"Khusus buat Kak Manda," senyumnya polos.

Hah? Kenapa jawabannya ambigu begitu? Perasaanku mulai menjadi aneh, nyaris keluar rel. Segera kutepis jauh-jauh perasaan itu dari dalam hatiku. Deg-degan …. Pasti wajahku benar-benar merah sekarang.

"Kak Manda tadi ke sini pakai apa?" Dia mengembalikanku ke jalur pembicaraan.

"Oh, eh …,“ aku gugup sebentar, “nebeng teman kakak naik motor."

"Mau kupanggilkan ojek?" tawarnya berbaik hati. Hei, aku bisa melakukannya sendiri kalau mau. Akan tetapi, kulihat mobil Koko masih ada di parkiran. Aku takut dipepet seperti dulu, jadi lekas kutolak ide itu.

"Kalau kamu?" tanyaku pada Senna.

"Aku naik sepeda."

Hihihi. Imut banget. Khas anak-anak.

"Kamu duluan saja, Sen, Kak Manda jalan kaki saja. Kan dekat sama kos." Aku menyuruhnya.

"Janganlah, Kak .... Nanti kalau di tengah jalan diculik Koko, bagaimana?"

Oh, ya ampun, Senna benar.

"Barengan aja jalan kakinya, Kak. Sepedanya bisa kutuntun kok," ajaknya. Aku hanya mengangguk pasrah.

Tiba-tiba, aku tersadar kalau aku belum ganti baju. Tolong. Aku terlalu takut balik ke ruang ganti dojo di dalam gedung karena ada kemungkinan Koko bakal menyusulku ke sana. Kalau aku minta ditemani sama Senna juga tak kalah malunya sama teman-teman yang lain.

"Kenapa, Kak?" Senna melihat ekspresiku. Pasti dia bingung dengan sikapku yang selalu peragu.

"Masih belum ganti baju, nih." Aku menunjuk karategi (seragam karate) milikku dengan sabuk putih yang masih terpasang.

"Mau ganti baju di mana, Kak? Kutunggu," ujarnya polos mengatakan hal yang sempat membuatku malu sebelumnya.

"Mmm … di sini saja!" Aku memutuskan. Aku, kan, pakai kaus di balik karategi? Senna hanya diam memperhatikan selagi aku melepaskan seluruh seragamku sehingga yang tersisa hanya celana ketat olahraga dan kaus lengan pendek dengan warna senada. Kupasang kardigan semata kaki berlengan panjang yang kubawa dalam tas ransel serutku sehingga rapilah sudah penampilanku sekarang. Aku bahkan tidak lupa untuk menyisir kasar rambutku dengan jari dan merapikan ulang kucir ekor kudaku yang panjang dengan cekatan.

"Wow," serunya. "Kak Manda sudah keren, nih!"

Baguslah, dia memujiku dengan netral. Untung dia tidak bilang yang aneh-aneh dan malah membuatku salah tingkah.

Lalu, Senna juga mengikuti langkahku dengan mengganti celana karateginya. Ternyata, dia sudah memakai celana gowes sebatas lutut di baliknya. Aku mendesah dalam hati. Sebenarnya, Sennalah yang keren dalam penampilannya sekarang, apalagi ketika dia memasang hoodie ke kepalanya. Kenapa malah jadi dia yang memujiku?

Tak ada waktu untuk memikirkannya, kami mau pulang sekarang. Namun, aku tidak lupa untuk memberikan sentuhan terakhir-maklumlah ribetnya cewek-aku mengeluarkan body spray andalanku dan mulai menyemprot di sana sini. Kan berkeringat setelah latihan? Semoga tidak bau-bau amat. Tentu saja itu berguna. Aku bahkan memejamkan mata menikmati kesegarannya di udara. Senna terheran-heran melihat apa yang kulakukan.

"Mau?" tanyaku menawarinya karena wajahnya seperti kepingin. Dia bermaksud meminta body spray-ku, bukan? Aku melemparkan benda itu ke tangannya dan dia menangkapnya dengan bingung. Sesaat, ekspresinya ragu seolah tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Eh? Jangan bilang kalau dia berubah pikiran. Aku menggunakan body spray unisex, kok. Dia tidak perlu malu begitu.

“Terima kasih.” Senna mengembalikan benda itu padaku sambil menyeringai. Dia tampak canggung saat menyemprotkannya tadi. Sekejap saja kami sudah rapi dan wangi bak keluar dari kamar mandi.

"Pulang, yuk! Ambil sepedamu," perintahku.

"Sepedanya kutitip di sini dulu, Kak."

"Lo?"

"Mumpung kita sudah ganteng dan cantik gini, jalan yuk!"

Eh? Apa katanya? Aku diserang kebingungan mendadak.

Senna menarik tanganku pergi dari sana.

avataravatar
Next chapter