2 SKANDAL

Aku tidak berani mengangkat wajah saat ini karena banyak pasang mata seolah sedang menghakimiku. Diam-diam, kulirik remaja berseragam putih biru di balik jaket hoodie abu-abu yang duduk di kursi pojok ruangan. Ya Tuhan, kuatkanlah hamba-Mu ini, doaku dalam hati.

Aku tidak mengerti kenapa masalahku bisa menjadi besar begini. Peristiwa kemarin berujung pada pemanggilan diriku oleh Pak RT. Tapi, kenapa seluruh orang berkumpul di ruangan ini? Rasanya seperti sedang dalam prosesi pengadilan saja. Oh, nasibku.

"Manda, Bapak harus membicarakan masalah ini terus terang sama kamu. Sejak awal, ibumu telah mengamanahkan perihal dirimu pada Bapak selaku Ketua RT di sini. Kalau punya masalah dengan cowok bernama Koko itu, jangan sungkan bercerita. Tidak perlu ada yang kamu sembunyikan lagi."

Hah? Aku terkejut. Ternyata, masalah yang sedang kuhadapi telah menjadi skandal di kediaman Pak RT. Tidak terbayangkan betapa malu rasanya diriku. Oh, Mama, kenapa diceritakan kepada semua orang? Baiklah, ini bukan sepenuhnya salah ibuku. Akulah titik pangkal dari masalah ini karena akulah yang punya hubungan dengan Koko, aku mencoba berpikir dewasa.

"Maafkan saya, Pak, saya sudah bikin ribut kemarin. Saya janji kejadian ini tidak akan terulang lagi. Saya benar-benar menyesal." Aku memohon maaf yang sebesar-besarnya pada beliau. Entah bagaimana caranya nanti, aku sungguh tidak ingin berada dalam situasi seperti ini lagi. Hell you, Koko. You made my life up in troubles!

"Baguslah kalau begitu. Kamu harus ingat. Kalau kamu tidak bisa mengatasi gangguan laki-laki itu sendiri, kamu bisa minta tolong sama Bapak. Bapak selalu jaga di gerai depan. Lalu, kenapa kemarin kamu tidak memanggil Bapak?"

Kawasan rumah Pak RT memang besar. Halamannya luas dengan deretan indekos membentuk kompleks perumahan tersendiri. Sementara, di depan pintu gerbangnya ada gerai pulsa tempat Pak RT berjualan tiap hari.

"Malu, Pak ...," jawabku dengan muka merah.

"Manda, Manda. Untung kemarin ada Senna. Kalau kamu diganggu cowok itu, bagaimana?"

Oh, jadi nama cowok SMP itu Senna. Ya ampun, aku baru sadar kalau aku lupa mengucapkan terima kasih atas bantuannya kemarin. Sedari tadi perhatiannya tidak teralihkan dari gawai di tangannya. Dasar .... Anak-anak zaman sekarang mainannya tak jauh dari benda satu ini.

"Jadi, si Koko itu masih suka menguntit kamu, ya?" Bu RT bertanya padaku yang hanya bisa kubalas dengan anggukan.

"Dia pernah, tidak, menguntit ke kampus kamu?"

Aku menggeleng. Tolong … jangan ingatkan aku lagi pada mantanku itu. Jangan sampai pula dia berani datang ke kampusku. Ngeri. Sejauh ini, rekor stalk Koko yang paling parah adalah mengikuti sampai ke rumah. Ih, Meremang horor kalau ingat-ingat yang dulu. Untung dia tidak bertemu ibuku, walau sempat mengacau di rumah dan bikin Airinda, adikku, gigit jari.

Aku merasakan tatapan dingin dari putri sulung Pak RT yang duduk di samping ibunya. Aku tidak tahu siapa namanya, tetapi kupikir usianya sebaya dengan usia Airinda. Gadis itu menatapku lekat. Mungkin dia heran padaku yang sebesar ini sungguh lebay terlibat masalah dengan stalker. Tatapannya itu, lo ... rasanya mampu melesakkan harga diriku ke dasar bumi. Hidup memang kejam, Manda.

Klik. Dengan cueknya, gadis itu menekan remote dan menyalakan televisi di belakangku. Rasa canggung menyergap tiba-tiba. Kenapa aku masih ada di sini? Buru-buru aku pamit pergi dari rumah Pak RT.

"Kalau ada masalah lagi, lain kali cerita ke Bapak, ya," pesan beliau.

Iya, Pak, terima kasih. Aku tidak mau bikin masalah lagi, tekadku dalam hati lalu kabur keluar pintu. Akhirnya ....

"KAK MANDA!" Tiba-tiba ada yang memanggil namaku. Aku berbalik dan melihat Senna menuju ke arahku. Astaga, ada apa lagi?

"Nih, simpan," katanya sambil menyodorkan secarik kertas. Aku menerimanya tanpa sempat memperhatikan lebih jauh. "Buat jaga-jaga kalau Kak Manda butuh bantuan. Jangan lupa, ya, Kak!" sambungnya lagi.

Oh, iya. Aku belum mengucapkan terima kasih padanya.

"Terima kasih sudah menolong Kakak kemarin, ya." Aku membungkukkan kepala dalam-dalam di hadapannya.

Eh, untuk apa pakai acara memberi hormat segala, Manda? Aku mengutuk sikap canggungku yang tiba-tiba dalam hati. Aku tidak sedang berada di dojo dan dia juga bukan senpaiku. Kebiasaan jangan dibawa-bawa sampai salah sikon dan tempat, deh.

Sret. Lalu aku merasakan tarikan di ujung rambutku yang panjang tak terikat. Alamak ... rambutku tersangkut di ritsleting jaket Senna!

Kyaaa. Buru-buru kutarik paksa rambut sialan itu sampai putus setelah bilang permisi dulu padanya, karena mau tidak mau, aku harus memegang ritsleting jaket Senna untuk melakukannya. Aku bisa melihat seringainya menertawakan kekonyolan yang telah kubuat. Ketahuan, deh, kalau aku adalah makhluk kikuk nomor satu.

Aku hanya bisa minta maaf berkali-kali padanya sambil memegangi rambut yang kusut jadinya dengan kedua tangan. Aku tidak sanggup melihat bagaimana ekspresi wajahnya kemudian karena rasa malu luar biasa menyergap. Aku langsung kabur ke kamar indekos yang terletak tepat di samping rumah Pak RT.

Uh. Baru aku bisa bernapas lega setelah berada di dalam kamar. Penasaran, kubuka carikan kertas yang diberikan Senna padaku tadi, lalu menemukan sederet angka dua belas digit ditulis besar di sana dengan sebaris nama di bawahnya, “AVICENNA”. Aku langsung memahaminya, ini adalah nomor telepon. Kututup mulut tak percaya. Kenapa Senna memberi aku nomor teleponnya?

Hidup memang abu-abu.

avataravatar
Next chapter