webnovel

Salah Tingkah

"Memberi kamu pelajaran bagaimana cara kumur-kumur yang benar," Ardan menarik tangan Sekar hingga terduduk di sampingnya. Ardan menarik pinggang Sekar dan langsung mencium Sekar dengan kasar dan penuh nafsu.

Melihat Ardan melihatnya sedikit berbeda membuat bulu kuduk Sekar berdiri. Sekar lebih memilih Ardan bersikap seperti dulu agar ia bisa terus membenci dan tidak jatuh dalam pesona Ardan yang semakin lama semakin membuatnya tidak nyaman. Sekar menggoyangkan tangannya untuk membuyarkan lamunan Ardan.

"Kenapa saya harus duduk seranjang dengan Tuan?" pertanyaan Sekar membuyarkan lamunan Ardan. Ardan berusaha menormalkan debaran di dadanya dan ia memilih membuang wajahnya ke arah kanan agar Sekar tidak melihat perubahan mimik wajahnya setelah membayangkan hal yang mustahil ia lakukan.

"Sial! Kenapa aku memikirkan hal yang tidak mungkin aku lakukan. Wanita ini semakin lama semakin membuatku gelisah. Ini tidak bisa dibiarkan," gerutu Ardan dalam hatinya.

"Tuan?"

Ardan mengangkat tangannya dan memberi tanda supaya Sekar keluar dari kamarnya sekarang juga. Sekar menjulurkan lidahnya untuk mengejek Ardan. Ardan reflek memutar kepalanya dan melihat Sekar sedang menjulurkan lidahnya.

"Kamu berani mengejek saya!" teriak Ardan. Sekar memasukkan kembali lidahnya dan keluar dari kamar Ardan sebelum emosi Ardan meluap atau dirinya sendiri yang akan menerima resikonya.

Setelah pintu kamarnya tertutup, Ardan menatap foto pernikahannya dengan Maudy. Ada penyesalan di hati Ardan tentang tindakannya mengubah wajah Sekar menjadi wajah Maudy yang kini merusak ketenangan batinnya.

"Mungkinkah kamu marah karena aku mengubah wanita lain menyerupai kamu, sayang?" tanya Ardan dengan nada miris. Matanya masih menatap foto pernikahannya dengan Maudy. Ardan menutup matanya dan berusaha untuk menenangkan debaran jantungnya yang masih belum bisa berdetak dengan normal.

Ibu Marinka dan Tuan Felix meminta dokter jiwa mengurung Renata sampai tujuan mereka berhasil. Rontaan dan permintaan Renata untuk dikeluarkan dari kamar di salah satu rumah sakit jiwa diacuhkan Ibu Marinka. Keberadaan Renata bisa merusak semua rencana mereka dan Ibu Marinka tidak mau itu terjadi walau Renata anak kandungnya sendiri. Siapa pun akan disingkirkannya jika berani mengganggu rencananya.

"MAMI KELUARKAN AKU! AKU TIDAK GILA, YA TUHAN!" teriak Renata sekeras mungkin agar Ibu Marinka melepaskannya. Ikatan di tangannya sungguh membuatnya seperti orang gila.

"Stssss kamu akan Mami lepaskan kalau semua rencana Mami berhasil. Lebih baik kamu tidur dan tinggal di sini dengan tenang. Mami akan pastikan semua kebutuhan kamu tersedia tanpa kekurangan satu apa pun," Ibu Marinka mencium pucuk kepala Renata dan meninggalkan Renata yang tidak berhenti berteriak dan menangis.

"Aku tidak akan pernah memaafkan Mami, tega sekali Mami mengurungku di rumah sakit jiwa. Ardan … tolong …" ujar Renata dengan lirih. Harapan satu-satunya untuk bisa keluar dari rumah sakit ini adalah saat Ardan membuka email-email yang dikirimnya.

Tuan Felix mengekori Ibu Marinka dan ingin memberi tahu Ibu Marinka sebuah kabar yang baru saja ia dapatkan dari salah satu anak buahnya, "Ada kabar baik, Mbak." Ibu Marinka menghentikan langkahnya dan melihat Tuan Felix dengan wajah berbinar.

"Apa? Kamu bawa kabar apa?" tanya Ibu Marinka dengan antusias.

"Anak buahku menemukan keberadaan Kayla," ujar Tuan Felix dengan antuasias.

"Kayla? Siapa Kayla?" tanya Ibu Marinka.

Tuan Felix tersenyum licik dan mendekati Ibu Marinka, "Kayla di sini berperan lebih dari sekedar kartu AS. Dia memegang jackpot yang selama ini kita cari, jika kita berhasil menguasa jackpot ini …" Ibu Marinka mendorong Tuan Felix dengan kejam.

"Ah kelamaan! Buruan dan jangan buang waktu Mbak," ujar Ibu Marinka dengan kesal.

"Kayla mengasuh dan merawat satu-satunya anak kandung Ardan. Mbak tahu artinya? Harta Mahesa Group akan jadi milik kita jika anak itu kita kuasai," Tuan Felix melihat raut muka Ibu Marinka berbinar. Rencananya berhasil untuk mendapatkan kepercayaan Ibu Marinka lagi.

"Anak kandung? Maksud kamu wanita yang diperkosa Ardan ternyata hamil dan menghasilkan seorang anak, perempuan atau laki-laki?" tanya Ibu Marinka semakin antusias. Jika anak Ardan laki-laki, maka rencananya semakin mudah ia lakukan.

"Laki-laki, Tuhan sedang berbaik hati menolong jalan kita. Aku akan menyuruh anak buahku untuk menculik anak itu dan memastikan anak itu bisa kita kuasai," sambung Tuan Felix lagi. Ibu Marinka menggeleng dan menahan niat Tuan Felix. Ada hal penting yang harus mereka lakukan sebelum mengambil anak itu dari Kayla.

"Temukan ibu dari anak itu," perintah Ibu Marinka.

"Tapi …"

"Keberadaan anak itu tidak akan berguna jika ibu kandungnya tidak ada. Ardan harus menikahi wanita itu dan setelah itu … boom," Ibu Marinka membuat gerakan bom meledak dengan tangannya.

"Baiklah, aku akan terus mencari wanita itu."

Tok tok tok

"Masuk," ujar Sekar lirih. Sejak pagi kondisi tubuhnya lemah dan tidak ada semangat. Makanya seharian ini Sekar habiskan dengan tidur dan berbaring di kamar. Untungnya Ardan hari ini tidak banyak tingkah dan membiarkan Sekar istirahat.

"Mbak, kita bisa bicara?" Sekar melihat Nimas mengintip dari luar. Sekar tersenyum dan mempersilakan Nimas untuk masuk ke dalam kamarnya. Nimas pun masuk dan duduk di samping Sekar. Tangannya reflek memegang kening Sekar dan Nimas langsung berdiri saat suhu tubuh Sekar sangat tinggi dibandingkan biasanya.

"Mbak demam?" tanya Nimas.

"Ah nggak kok," Sekar semakin menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terasa dingin.

"Mas Ardan harus tahu kalau Mbak sedang sakit," saat Nimas akan memanggil Ardan, Sekar langsung menahan tangan Nimas.

"Mbak nggak apa-apa kok. Biasanya jam segini dia tidur dan kamu tahu sendiri kalau dia sedang tidur jangan diganggu bisa-bisa dia murka," tolak Sekar.

"Tapi Mas Ardan akan tambah murka kalau tahu Mbak sakit dan kami membiarkannya," Nimas mengacuhkan penolakan Sekar dan memutuskan memberi tahu Ardan tentang kondisi Sekar.

Nimas berdiri di depan pintu kamar Ardan dan saat ingin mengetuk sebuah suara membatalkan niatnya, "Sepertinya kamu sudah mulai menebarkan jala untuk memancing ikan kelas kakap," Nimas memutar tubuhnya dan melihat Arjuna sedang bersender di dinding dan menatapnya dengan tatapan tidak suka.

"Maksud lo apa?" tanya Nimas.

Arjuna mengeluarkan ponsel milik Nimas dan tanpa sengaja ia membaca SMS yang dikirim ibunya.

Dari : Ibu

"Pokoknya ibu nggak mau tahu. Kamu harus membuat Ardan menyukai kamu agar misi kita berhasil atau ibu akan mengutuk kamu sebagai anak durhaka."

"Dan SMS lain yang intinya kalian harus mengeruk harta Tuan Ardan," sambung Arjuna dengan sinis.

Nimas terkejut melihat ponselnya di tangan Arjuna dan yang lebih membuatnya kesal, Arjuna berani memeriksa ponselnya. Nimas mendekati Arjuna dan berusaha mengambil kembali ponsel itu dari tangan Arjuna.

"Kembalikan! Lo nggak tahu apa-apa tentang gue," Arjuna menaikkan tangannya dan membiarkan Nimas kesusahan. Nimas tidak berhenti meloncat supaya bisa mengambil ponsel itu dari tangan Arjuna tapi usahanya sia-sia karena Arjuna terlalu tinggi.

Semakin lama tubuh mereka semakin dekat dan terkadang saat meloncat, wajah Nimas beradu dengan wajah Arjuna. Nimas putus asa dan berhenti meloncat, tanpa banyak kata Nimas tendang bagian terlarang Arjuna dengan kakinya. Arjuna meringis dan Nimas mengambil kesempatan itu untuk merebut kembali ponselnya.

"Selain kurang ajar lo juga nggak punya sopan santun. Gue peringati, sekali lagi elo cari gara-gara sama gue …"

"Untuk manusia tamak seperti kamu, saya tidak membutuhkan sopan santun. Jangan harap saya akan membiarkan kamu mendekati Tuan Ardan," ancam Arjuna. Nimas sadar bicara dengan Arjuna hanya akan membuang waktunya dan kondisi Sekar lebih penting dari apa pun. Nimas memutar balik tubuhnya.

"Mas Ardan …." Ketuk Nimas.

Tak lama pintu kamar Ardan terbuka, "Ada apa?" tanya Ardan.

"Mbak Sekar badannya panas banget, ak …" belum selesai Nimas bicara, Ardan langsung berlari ke kamar Sekar. Ardan melihat Sekar berselimut dan wajahnya sangat pucat. Ardan lalu duduk di samping Sekar dan memegang kening untuk memastikan demamnya.

"Bodoh! Kenapa dia diam saja," maki Ardan sambil membuka selimut itu. Sekar membuka matanya dan melihat Ardan sedang menatapnya dengan wajah panik. Ardan menggendong Selar dan menyuruh Arjuna menyiapkan mobil untuk membawa Sekar ke rumah sakit.

"Saya nggak apa-apa Tuan," ujar Sekar lemah.

"Diam!" bentak Ardan. Sekar mengalungkan tangannya di leher Ardan sebelum kesadarannya hilang. Ardan membaringkan Sekar di mobil dan ia langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit terdekar.

"Bertahanlah!" Ardan reflek memegang tangan Sekar.

Ardan sekali lagi bersyukur saat dokter memberitahunya kalau Sekar hanya mengalami demam biasa dan tidak akan berpengaruh ke kandungannya. Dokter hanya meminta Ardan membiarkan Sekar tidur dan beristirahat dengan tenang sampai kondisinya membaik.

"Terima kasih, dok." Ardan menyuruh Arjuna mengantar dokter dan meninggalkan Ardan berdua dengan Sekar. Ardan merapikan selimut dan matanya kini tertuju ke arah perut Sekar yang semakin membuncit. Ardan meletakkan tangannya di perut Sekar dan sebuah gerakan pelan membuat mata Ardan berbinar.

Sekar bukannya tidak tahu dengan apa yang dilakukan Ardan. Ia bisa merasakan sebuah tangan hangat sedang memegang perutnya, "Apa yang dia inginkan?" tanya Sekar dalam hati. Ardan penasaran dan masih meletakkan tangannya di perut Sekar untuk bisa merasakan sekali lagi tendangan makhluk mungil yang bersemayam di perut Sekar.

"Hey jagoan atau princess? Saya tidak sabar melihat bagaimana bentuk dan rupa kamu. Kamu harus tumbuh dengan sehat di dalam,"

"Aneh … laki-laki ini aneh dan sulit ditebak. Kenapa sekarang aku merasa dia sangat menyayangi bayiku. Ada apa ini?"

"Saya harap kamu tidak mirip dengan ibumu yang bawel ini,"

"Sial!"

"Mas," panggilan Nimas membuat Ardan reflek menjauhkan tangannya dari perut Sekar. Ardan lalu berdiri dan mendekati jendela untuk menormalkan raut wajahnya agar Nimas tidak bisa membaca mimiknya.

"Ada apa?"

"Lebih baik Mas pulang dan istirahat di rumah. Aku dan Arjuna akan menjaga Mbak Sekar," ujar Nimas memberi saran.

"Kalian saja yang pulang," tolak Ardan. Ia tahu Nimas dan Arjuna punya hati lembut dan jika Sekar memohon untuk dilepaskan bisa dijamin mereka akan melepaskannya dan Ardan tidak mau itu terjadi. Niatnya untuk memiliki bayi Sekar semakin besar setelah merasakan gerakannya tadi.

"Baiklah, aku pulang dulu dan besok pagi aku datang lagi."

Next chapter