webnovel

Ramalan

Sepanjang perjalanan dari rumah sakit sampai villa tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nimas atau pun Arjuna. Arjuna fokus menyetir mobil sedangkan Nimas lebih memilih melihat pemandangan luar melalui jendela mobil yang terbuka lebar.

"Segarnya udara malam ini," Nimas sengaja mengeluarkan tangan kirinya dan tiba-tiba rintik hujan jatuh dan membasahi tangannya, "Hujan akhirnya turun," ujar Nimas dengan senyum merekah.

"Bisa tenang? Suara kamu membuat kepala saya tambah pusing," ujar Arjuna dengan kesal. Nimas menolehkan wajahnya ke arah Arjuna dan mencibirnya sebelum kembali membuang wajah.

"Sumpah ya, wajah sombong dan angkuhnya itu bikin gue kesal. Andai gue bisa tendang dia keluar dari mobil ini … ahaaaa," sebuah ide brilian muncul di otak Nimas untuk membalas sakit hatinya. Ide mendepak Arjuna keluar dari mobil ini dan meninggalkan Arjuna sendirian di tempat sesunyi ini dalam kondisi hujan, cukup membalas sakit hatinya akibat perlakuan Arjuna beberapa hari yang lalu.

"Aduh," Nimas memegang perutnya. Nimas mendengus saat Arjuna tidak kunjung menunjukkan reaksi. Takut rencananya gagal membuat Nimas memegang tangan Arjuna dan menunjukkan wajah mengibanya.

"Please, perut gue sakit banget …."

"Apa hubungannya dengan saya?" tanya Arjuna. Walau bukan cenayang tapi Arjuna bisa tebak kalau ini semua hanya akal-akalan Nimas. Arjuna sudah terlalu banyak mengecap asam garam kehidupan dan tidak akan mudah mempermainkannya, apalagi oleh Nimas yang berusia lebih muda darinya.

Rintihan Nimas semakin keras dan membuat Arjuna sebal, "Oke, kali ini aku akan ikuti permainan dia. Kita lihat kali ini siapa yang menang," ujar Arjuna dalam hati. Arjuna menepikan mobil di tempat yang lumayan sepi ditambah hujan semakin lama semakin deras.

"Perut gue sakit banget."

"Terus?"

"Tolong belikan gue obat pereda nyeri. Kayaknya di sana ada warung, mungkin mereka ada jual obat itu," Nimas menunjuk ke tempat yang sangat jauh dari posisi mereka berada kini.

"Malam ini dia harus tahu bagaimana menghormati wanita. Gue nggak rela dituduh sebagai pemburu laki-laki kaya oleh orang seperti dia," ujar Nimas dalam hati.

"Oh, jadi kamu mau saya turun untuk beli obat dan setelah itu kamu bisa kabur membawa mobil ini dan meninggalkan saya kehujanan di tempat sesepi ini?" tebak Arjuna. Raut muka Nimas langsung berubah saat mendengar Arjuna mengetahui semua rencana liciknya.

"Sial, pantasan Mas Ardan mempercayainya. Dia tidak mudah ditipu, tapi bukan Nimas namanya kalau belum berhasil menendangnya keluar dari mobil ini," rutuk Nimas kesal.

"Selalu berburuk sangka tanpa tahu kenyataan yang sebenarnya. Ya sudah, kalau lo nggak mau beli. Gue bisa kok beli sendiri," Nimas memasang kembali jaketnya. Arjuna mempersilakan dan memilih menyandarkan kepalanya di kepala kursi dan mencoba memejamkan matanya yang terasa berat. Nimas berdecak kagum melihat ketidak pedulian Arjuna dan membiarkan dirinya pergi sendiri dalam kondisi hujan seperti ini.

"Ya elah, dia malah tidur dengan santai. Hikssss, kok gue malah kejebak permainan sendiri ya kalau berhadapan dengan dia. Mana hujannya lebat banget, gue juga nggak mungkin jilat ludah gue lagi."

Mau tidak mau Nimas pun keluar dari mobil dan berlari menuju warung yang ditunjuknya tadi. Setelah mendengar pintu mobil tertutup barulah Arjuna membuka matanya dan melihat Nimas sedang berlari menerobos hujan.

"Menyebalkan! Dia pikir bisa mempermainkan aku?" Arjuna memilih menurunkan kursi mobil dan berbaring sejenak sampai Nimas kembali.

Lapar membuat Sekar terbangun dari tidur panjangnya. Suasana di luar masih gelap dan sepi, jarum jam di dinding menunjukkan angka dua. Sekar melihat Ardan sedang tidur di sofa dengan nyenyaknya, wajahnya terlihat kelelahan. Sekar melihat pintu kamar sedikit terbuka dan merasa ini kesempatan langka untuk bisa kabur dari cengkraman Ardan. Sekar melepaskan jarum infus yang melekat di tangan kirinya.

Sekar membuka selimut perlahan demi perlahan agar Ardan tidak mendengar setiap gerakannya. Setelah turun dari ranjang dan ingin berjalan menuju pintu, tiba-tiba Ardan membuka matanya.

"Mau ke mana kamu?" tanya Ardan. Sekar langsung terkejut dan memegang dadanya yang tidak berhenti berdetak. Sekar memutar tubuhnya dan melihat Ardan sedang menatapnya dengan mata merah. Wajahnya tanpa ekspresi dan Sekar tahu kalau Ardan akan marah jika tahu niatnya untuk kabur.

"Saya lapar Tuan,"

"Mudah-mudahan dia percaya,"

"Tunggu sebentar," Ardan lalu berdiri dari sofa dan mendekati Sekar yang masih tegang setelah usahanya untuk kabur gagal. Ardan mengambil jaket miliknya dan menyuruh Sekar memasangnya.

"Saya melakukan ini demi bayi itu. Udara di luar sangat dingin dan saya tidak mau bayi itu terkena flu. Sudah cukup tingkah ibunya yang membuat saya pusing," ujar Ardan.

Seumur hidupnya ia tidak tahu bagaimana memperlakukan ibu hamil. Untuk itu Ardan bertanya langsung kepada ahlinya. Salah satu perawat yang merawat Sekar dengan tulus menjelaskan langkah-langkah yang harus ia lakukan supaya kondisi ibu dan bayinya sehat sampai waktunya melahirkan. Termasuk mengabulkan keinginan sang ibu jika menginginkan makan di tengah malam.

"Kita keluar, Tuan?" tanya Sekar.

Ardan mengangguk dan mendekatkan mulutnya di telinga Sekar, "Saya akan membawa kamu keluar dan mencari makanan yang diinginkan bayi itu, tapi jangan sekali-kali berpikir untuk bisa kabur dari saya," bisiknya pelan. Walau beresiko membawa Sekar keluar tapi Ardan lebih memikirkan keinginan bayi itu dibandingkan apapun.

"Iya," balas Sekar pelan. Sekar merasa ini kesempatan lain untuk bisa kabur dan setelah mereka berada di tempat umum. Sekar tidak akan ragu-ragu berteriak dan meminta pertolongan orang lain agar bisa lepas dari Ardan.

"Bagus, saya selalu suka kalau kamu jinak seperti sekarang."

"Jinak … jinak … Tuan pikir saya binatang!" gerutu Sekar saat Ardan jalan lebih dahulu.

"Apa kamu bilang?" ujar Ardan setelah memutar tubuhnya.

"Nggak ada. Tuan tahu sendiri kalau saya suka kumur-kumur," kilah Sekar agar Ardan tidak mengomelinya lagi.

Ardan menyuruh Sekar berdiri di depannya. Mereka melewati lorong rumah sakit yang kosong dan sepi. Sekar melirik ke kiri dan ke kanan untuk mencari satpam atau orang yang bisa menolongnya.

"Astaga! Kemana semua orang, kenapa tidak ada satu pun yang bisa aku minta pertolongan," gerutu Sekar dalam hati. Ardan tahu gerak-gerik Sekar sedikit mencurigakan. Ardan lalu mendekati Sekar dan menggenggam tangannya seolah mereka sepasang suami istri. Dengan begitu jika Sekar berani berteriak, maka tidak ada satu orang pun yang akan percaya.

"Jangan pikir saya tidak tahu apa yang sedang kamu pikirkan," bisik Ardan setelah Sekar berusaha melepaskan genggamannya tadi.

"Memangnya Tuan pikir saya mau melakukan apa?" tanya Sekar balik. Wajah Sekar yang semakin chubby akibat kehamilannya membuat Ardan salah tingkah dan memilih membuang wajahnya.

"Semakin lama aku semakin tidak suka melihat wajahnya. Walau wajah mereka berdua sangat mirip tapi entah kenapa aku selalu merasa dia bukanlah Maudy tapi kenapa jantungku berdetak tidak karuan. Ardan bodoh! Wanita ini bukan Maudy!" Ardan bingung ada apa dengan dirinya.

"Kita mau ke mana jam dua pagi," pertanyaan Sekar membuyarkan lamunan Ardan tentang sosok Maudy yang semakin menghilang dari benaknya.

"Ke mana saja," Ardan membuka pintu mobilnya dan menyuruh Sekar masuk.

"Kita ke mana?" tanya lagi.

"Sekali lagi kamu bertanya, saya tidak akan segan-segan memindahkan kamu ke bagasi belakang," ancaman Ardan berhasil. Sekar memilih diam dan tidak bertanya lagi dari pada harus masuk ke dalam bagasi.

Ardan mulai melajukan mobilnya. Meninggalkan rumah sakit sederhana yang ada di desa terpencil ini. Rencana Ardan berubah dan untuk menyambut kelahiran bayi Sekar, ia berencana membawa Sekar ke tempat yang lebih modern. Ardan takut fasilitas rumah sakit ini yang ala kadarnya bisa membuat keselamatan bayinya terganggu.

Mobil Ardan berhenti tepat di depan sebuah gerobak biru bertuliskan 'Nasi Goreng'. Ardan membuka seatbelt miliknya dan ingin keluar tapi tangan Sekar menghalanginya.

"Saya kesusahan membuka seatbelt-nya Tuan," ujar Sekar sambil menunjuk seatbelt yang terhalang perut buncitnya. Ardan membuang napas dan mengeram kesal tapi tangannya dengan telaten membantu Sekar membuka seatbelt-nya.

"Kamu selalu menyusahkan saya,"

"Bisa nggak Tuan ikhlas membantu saya. Seharusnya Tuan mendapat pahala membantu ibu hamil yang sedang kesusahan tapi karena Tuan tidak berhenti mengomel, pahala itu hilang dan berganti dengan dosa,"

"Saya ngomong empat kata tapi kamu balas ratusan kata,"

"Terima kasih, Tuan." Ujar Sekar penuh sindiran saat Ardan berhasil melepaskan seatbelt-nya.

Sekar dan Ardan akhirnya keluar setelah insiden seatbelt, "Tuan yakin mau makan di sini?" tanya Sekar menyindirnya.

"Hanya gerobak ini satu-satunya yang buka di tengah malam seperti ini. Kamu jangan bawel sebelum emosi saya naik," Ardan mengeluarkan tisu basah dari dalam jaketnya dan membersihkan tempat duduk sebelum menyuruh Sekar duduk.

"Kayaknya setan sedang berkeliaran deh. Kok dia aneh banget ya sejak tahu aku sedang hamil bahkan barusan aku melihatnya membersihkan kursi dengan tisu basah." Sekar bingung dengan sikap Ardan yang seperti baling-baling bambu. Terkadang kasar tapi ada saatnya sikapnya manis seperti tadi.

"Pesan apa, Mas?" tanya penjual nasi goreng.

"Nasi goreng satu. Cabenya jangan terlalu banyak dan sebisa mungkin peralatan masaknya harus bersih dan higienis. Saya tidak mau …." Sekar langsung mencubit tangan Ardan dengan reflek setelah raut muka penjual nasi goreng berubah.

"Kamu …." Ardan ingin memaki Sekar tapi diurungkannya saat Ardan sadar posisinya dan Sekar kini hanya berjarak beberapa cm.

"Tolong jangan buat nafsu makan saya hilang. Tuan sadar nggak kalau sekarang kita sedang makan di kaki lima bukan restoran mewah. Mas penjualnya pasti tahu tentang kebersihan, jadi jangan pernah memberi perintah ke orang lain dengan lagak Tuan besar."

"Saya tidak mau bayi …." Ardan mulai mengoceh panjang.

"Selalu menjadikan bayi ini sebagai alasan," gerutu Sekar dalam hati.

"Ini nasi gorengnya. Saya jamin bersih dan higienis," sindir penjual nasi goreng. Ardan acuh dan menyuruh Sekar mulai makan.

"Wah saya tebak pasti anak Mas berjenis kelamin perempuan," ujar penjual nasi goreng yang bisa membaca nasib seseorang melalui garis tangan dan saat Sekar menerima piring, matanya bisa melihat nasib Sekar ke depannya.

"Perempuan? Bukannya laki-laki?" tanya Ardan.

"Loh, bukannya ini anak kedua kalian ya? Selamat ya akhirnya kalian punya anak sepasang. Laki-laki dan perempuan." Sekar langsung tersedak dan menyemburkan nasi gorengnya.

Next chapter