48 Pagi Yang Mengejutkan

Ardan masih tidak percaya setelah mendengar ungkapan hati Sekar. Bahkan dalam mimpi sekalipun Ardan tidak pernah menyangka Sekar akan membalas cintanya secepat ini. Ardan tertawa bahagia, menggendong Sekar, dan memeluk Sekar seolah-olah ia baru saja mendapat lotere bernilai tinggi.

"Sttt Alleia bobok," Sekar memukul tangan Ardan agar berhenti tertawa. Ardan membuat gerakan tutup mulut menggunakan jarinya.

Ardan menarik tangan Sekar menuju kamar yang rencananya nanti akan menjadi kamar Alleia tapi berhubung Alleia masih kecil, kamar itu akhirnya dibiarkan kosong. Ardan menutup pintu dan menyuruh Sekar untuk duduk di sofa.

"Aku masih tidak percaya kalau akhirnya kamu ... akhirnya kamu membalas cinta aku," ujar Ardan sambil memegang tangan Sekar. Sekar tersipu malu dan menundukkan wajahnya. Beberapa hari ini hatinya masih meragu tapi tadi pagi akhirnya Sekar sadar kalau ia sudah masuk ke dalam pesona yang dipancarkan Ardan.

Sekar jatuh cinta dan akhirnya memaafkan semua kesalahan Ardan walau belum sepenuhnya bisa melupakan apa yang dulu Ardan lakukan pada dirinya. Sekar sadar Ardan sudah berusaha untuk berubah dan perubahan itu membuat Sekar bisa menerima Ardan dengan segala kekurangannya.

"Sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Lebih baik kamu lupakan apa yang barusan aku ucapkan. Anggap saja aku lagi kumur-kumur atau aku sedang tidak sadar saat mengucapkannya," balas Sekar setelah reaksi Ardan sulit ia terima. Sekar hendak berdiri tapi Ardan langsung menahannya dan memeluk Sekar dari belakang.

"Maaf," bisik Ardan di telinga Sekar.

"Lepas ... seharusnya aku tidak pernah jatuh cinta, seharusnya aku tetap membencimu, seharusnya ..." Ardan membalikkan tubuh Sekar agar bisa bertatapan dengannya.

"Maaf, aku seharusnya tahu diri masih ada wanita mau mencintaiku dengan tulus," balas Ardan.

"Ardan,"

Ardan dan Sekar saling menatap tanpa suara selama beberapa menit. Tidak ada pembicaraan lagi dan hanya gerakan tanpa kata-kata yang diperlihatkannya. Ardan mengarahkan jarinya di kening lalu turun ke hidung dan berakhir di bibir. Sekar menutup matanya dan menikmati setiap sentuhan Ardan di tubuhnya.

"Aku laki-laki normal Sekar,"

Sekar membuka matanya dan tersenyum pasrah, Sekar mendekatikan wajahnya ke wajah Ardan dan kini hidung mereka saling bertemu.

"Aku milik kamu," balas Sekar.

Mendengar izin dari Sekar membuat Ardan langsung menciumnya dengan penuh nafsu. Mereka saling menghisap bibir lalu lama kelamaan entah siapa yang memulai mereka saling menghisap lidah dan ciuman pun semakin bertambah panas dan bergairah. Sekar semakin mundur dan akhir jatuh ke ranjang yang seharusnya menjadi ranjang Alleia.

"Kamu serius mau di sini?" tanya Ardan.

"Kita tidak mungkin bercinta di kamar yang sama dengan Alleia, dia masih kecil untuk mendengar apa yang orangtuanya lakukan," balas Sekar malu-malu.

Ardan tertawa dan melanjutkan ciumannya dan mulai merambah buah baju Sekar dan membukanya satu persatu. Ardan sadar ada hal yang perlu ia sampaikan sebelum pernikahan mereka benar-benar menjadi pernikahan sebenarnya. Sekar sedikit kecewa dan merasa ada saja halangan untuk mereka menjadi satu.

"Kenapa?" tanya Sekar sedikit kecewa.

"Aku pernah bilang kalau kita mungkin tidak akan pernah bisa punya anak, aku melakukan vasektomi dan kemungkinannya sangat kecil untuk bisa punya anak," ujar Ardan.

"Kita sudah punya Alleia," balas Sekar.

"Dan Biyandra, haruskah aku memberitahunya tentang Biyandra? Bagaimana kalau dia tidak menerima anak itu atau dia marah kalau sampai tahu aku tega membuang darah dagingku sendiri meski anak itu kehadirannya karena perbuatan keji ayahnya,"

"Tidakkah kamu menginginkan anak kandung dariku?" tanya Ardan lagi. Sekar memeluk Ardan dan mencium pipi Ardan pelan.

"Alleia sudah cukup bagiku. Aku berterima kasih kamu bisa mencintainya seperti anak kandung sendiri, aku tidak butuh apa-apa Ardan."

Ardan bersyukur bisa mencintai wanita seperti Sekar. Dulu ia terlalu bodoh dan menyakiti Sekar demi dendam yang tidak masuk akal.

"Kita lanjut?" tawar Ardan.

Sekar mengangguk, Ardan kembali mengarahkan tangannya untuk membuka satu persatu kancing baju Sekar. Sekar terlihat pasrah menunggu apa yang akan Ardan lakukan padanya. Ardan mulai mengikuti permainan dan mengarahkan tangannya menuju payudara Sekar. Sekar berdesis dan menahan gairah yang mulai membakarnya.

"Kamu nakal," bisik Ardan saat Sekar memintanya membuka kemeja yang masih terpasang di tubuh Ardan, "Belum waktunya sayang," sambung Ardan.

Tangan Ardan mulai merayap ke paha Sekar dan membelainya dengan lembut. Darah Sekar semakin berdesir. Mata Sekar terpejam dan ia tidak peduli dengan reaksi tubuhnya setiap Ardan menyentuhnya. Semua malu hilang dan berganti menjadi rasa ingin memiliki.

Namun kali ini, dengan lembut namun tegas, Ardan menarik tubuh Sekar agar semakin mendekat dengannya.

"Apa yang kamu lakukan, berhentilah menggodaku," wajah Sekar sangat merana saat Ardan lebih memilih mengulur-ulur waktu agar Sekar semakin terangsang. Ardan tidak membalas dan masih terus membelai paha Sekar.

Sekar merasa Ardan mempermainkannya langsung bereaksi, ia mengambil inisiatif mencium bibir Ardan kembali, yang serta merta langsung dibalas Ardan dengan hisapan bernafsu pada lidahnya.

"Aku tidak akan tinggal diam," bisik Sekar dengan napas tersengal-sengal. Sekar mulai membuka satu persatu kancing kemeja Ardan lalu membuangnya ke lantai. 

Mungkin saat ini gairah mereka berdua semakin menggelora. Ardan menahan tangan Sekar saat ingin membuka kaos dalam dari tubuhnya.

"Kenapa lagi?" tanya Sekar semakin frustasi.

"Matikan lampu dulu," bisik Ardan sambil menujuk ke arah pintu. Sekar melihat ada bayangan empat kaki dan mereka sadar kalau Arjuna dan Nimas sedang mengintip mereka.

"Ya Tuhan!" Sekar menarik selimut bayi milik Alleia untuk menutupi tubuh telanjangnya.

"Sepertinya besok aku akan meminta mereka pindah ke apartemen sebelah agar tidak kepo dengan urusan ranjang kita," balas Ardan pelan.

"Sebaiknya mereka menikah dulu, tidak baik hidup satu rumah tanpa ikatan."

"Berhenti mengurusi orang lain, tidakkah kamu sadar kalau rencana malam pertama kita selalu terganggu oleh hal-hal tidak penting," Ardan pun semakin frustasi. Ia lalu mematikan lampu dan hanya menghidupkan lampu meja yang tidak terlalu terang.

Sekar berusaha menahan tawanya dan meminta Ardan untuk bersabar.

"Kita lanjut?" Sekar mengangguk dan kembali mencium Ardan dan tangannya mencoba melepaskan kaos serta celana milik Ardan dan membuangnya begitu saja ke lantai. Kini mereka sama-sama dalam keadaan telanjang.

"Mmhhh... Ardan," desah Sekar di sela-sela ciuman panas mereka. Tangan Sekar bermain di dada Ardan dan tanpa sadar tangan itu menyentuh tatto kecil milik Ardan walau tidak disadari Sekar karena gelapnya malam membuatnya tidak melihat tatto itu.

Ardan mulai membaringkan Sekar dan mulai membuka lebar kaki Sekar agar ia bisa masuk dan menyatu dengan tubuh Sekar yang mulai menegang akibat rangsangan.

"Kamu siap?" tanya Ardan. Sekar mengangguk dan menggigit bibirnya saat Ardan perlahan demi perlahan berhasil masuk dan menyatukan cinta mereka sebagai suami istri. Sekar menahan rasa sakit dengan mencakar bahu Ardan dan percintaan panas mereka berakhir saat Ardan menyemburkan benihnya di rahim Sekar.

Esok harinya,

Ibu Nimas menatap Arjuna dari atas sampai ke ujung kaki untuk menilai laki-laki pilihan Nimas untuk dijadikan suami. Nimas sebenarnya malas berurusan dengan ibunya tapi Arjuna memaksanya dengan alasan pernikahan mereka akan penuh berkah jika direstui ibu Nimas.

"Jadi kamu mau menikah dengan dia?" tanya Ibu Nimas dengan wajah pongahnya dan melihat Arjuna dengan tatapan tidak suka.

"Iya," jawab Nimas singkat.

"Ibu tidak setuju. Pokoknya ibu tidak setuju kamu menikah dengan laki-laki yang kerjanya hanya sebagai pengawal," Nimas merasa tidak enak mendengar ibunya menghina Arjuna.

"Bu!"

"Saya mengerti kenapa Ibu tidak setuju Nimas menikah dengan saya. Saya memang tidak kaya tapi saya bisa membahagiakan Nimas," balas Arjuna dengan tenang. Nimas melirik ke arah Arjuna dan merasa Arjuna tulus mengatakan itu.

"Nah seharusnya kamu sadar dan lupakan Nimas, saya akan menikahkan dia dengan laki-laki pilihan saya," tolak Ibu Nimas tanpa pandang bulu.

"Bu! Berhentilah berusaha menjual aku demi kesenangan Ibu, sudah cukup!" Nimas tidak sanggup menahan malu jika pembicaraan ini masih berlangsung. Nimas takut Arjuna tersinggung dan membatalkan pernikahan mereka.

"Kamu bodoh Nimas, di luar sana banyak laki-laki kaya antri untuk menikahi kamu, tapi kamu tolak dan akhirnya memilih dia."

Nimas lalu berdiri dan menarik tangan Arjuna agar segera meninggalkan rumah ibunya. Nimas muak dengan ketamakan ibunya tapi Arjuna menolak dan mengambil sesuatu dari dalam jaketnya.

"Itu semua tabungan yang khusus saya persiapkan untuk Nimas. Saya rasa lebih dari cukup," Ibu Nimas melihat Arjuna meletakkan buku tabungan.

"Juna ... kenapa kamu melakukan itu? Dengan memberi buku itu sama saja kamu membeli aku," rutuk Nimas berlinang airmata.

"Aku tidak membeli kamu sayang, aku hanya ingin memberi tahu ibu kamu kalau aku pun bisa membahagiakan kamu dengan uang selain dengan cinta," balas Arjuna.

Ibu Nimas terdiam saat menghitung jumlah tabungan Arjuna lebih banyak dari yang ia perkirakan.

"Ternyata anak ini tidak miskin, uangnya cukup untuk memenuhi semua keinginanku. Nimas ternyata pintar mencari suami," ujar Ibu Nimas dalam hati.

"Ah ibu sih terserah kalian," Ibu Nimas mulai melunak dan Nimas hanya bisa mengurut dada melihat tingkah ibunya.

"Ibu memang mata duitan," ujar Nimas lirih. Ibu Nimas mengacuhkan anaknya dan mengajak Arjuna bicara tentang rencana pernikahannya. Arjuna hanya bisa menenangkan Nimas dengan menggenggam tangan Nimas.

Di tempat lain,

Sekar terbangun dan melihat Ardan sudah tidak ada di sampingnya. Sekar menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang. Sekar lalu mengambil bajunya yang berserakan di lantai dan tertawa malu mengingat apa yang mereka lakukan tadi malam. Kamar Alleia berantakan karena ulah mereka dan Sekar terpaksa mengganti spray dengan yang baru.

"Ardan," panggil Sekar saat melihat Ardan sedang berdiri di balkon apartemennya dengan memegang rokok dan beberapa botol whisky yang mulai kosong.

Sekar memeluk Ardan dari belakang, "Kamu kenapa merokok dan minum sepagi ini?" tanya Sekar merasa aneh melihat perubahan sikap Ardan sedangkan tadi malam mereka baru saja saling mengakui isi hati masing-masing.

Ardan melepaskan pelukan Sekar dan membalikkan badannya. Mata Ardan merah dan wajahnya kusut, ia menatap Sekar dengan tatapan bersalah.

"Ada apa Ardan? Kenapa kamu seperti ini?" tanya Sekar sambil mengelus pipi Ardan.

Ardan menangis, lidahnya kelu untuk memberi tahu Sekar kalau bajingan yang memperkosanya malam itu adalah dirinya. Percintaan mereka semalam membuat Ardan mengingat semuanya.

Semuanya tanpa terkecuali.

avataravatar
Next chapter