webnovel

Neraka!

"Kenapa Mbak Renata mengirim email sebanyak ini? Waktunya sekitar beberapa bulan yang lalu," Ardan cukup penasaran dan ia mulai membuka email pertama dari Renata.

Email pertama berisi tentang laporan keuangan yang pernah diminta Ardan. Satu persatu file itu diperiksa Ardan. Ardan fokus memeriksa pekerjaan yang sempat ia tinggalkan.

Jarum jam bergerak menuju angka dua belas dan beberapa menit lagi hari akan segera berganti. Beberapa kali Arjuna menguap menahan rasa kantuk yang menyerangnya.

"Saya masih lama. Kalau kamu lelah silakan istirahat saja," ujar Ardan walau matanya masih tertuju ke layar laptop. Arjuna menggeleng dan berusaha menghilangkan rasa kantuknya dengan membuat segelas kopi hitam.

"Tuan mau kopi?" tanya Arjuna.

"Boleh ... jangan pakai gula," balas Ardan. Ardan pun penasaran dengan email lainnya yang dikirim Renata secara bertubi-tubi di tanggal dan jam yang sama.

Saat akan mengarahkan kursor ke file itu tiba-tiba sebuah teriakan menahan sakit terdengar dari kamarnya. Ardan meletakkan laptop itu dan langsung berlari menuju kamarnya. Ardan menghidupkan lampu dan melihat Sekar sedang merintih kesakitan sambil memegang perutnya.

Rasa panik bertambah saat melihat ranjang dan kaki Sekar basah oleh air ketuban, "Sakit banget hikssss," rintih Sekar. Ardan langsung menggendong Sekar dan membawanya menuju mobil. Arjuna yang baru saja keluar dari dapur langsung menggedor pintu kamar Nimas untuk membangunkannya.

"Temui saya di rumah sakit dan jangan lupa suruh Nimas membawa semua keperluan bayi," perintah Ardan sebelum membaringkan Sekar di jok mobilnya. Sekar semakin merintih, mencengkram erat tangan Ardan dengan kukunya, dan meminta Ardan segera membawanya ke rumah sakit.

"Sakittt ..."

"Iya, kita akan ke rumah sakit. Sabar dan lakukan apapun asal rasa sakit itu hilang," Ardan mencoba menenangkan Sekar dan membiarkan tangannya menjadi tempat pelampiasan Sekar. Sekar mengambil kesempatan untuk membalas sakit hatinya, tangan Ardan ia jadikan tempat pelampisan dendamnya.

Sekar mencakar dengan kukunya, memukul, dan menggigit dengan giginya. Marahkah Ardan? Tidak, Ardan diam dan membiarkan Sekar melakukan itu semua. Semua rasa sakit bisa Ardan tahan tapi Ardan tidak tahan melihat Sekar kesakitan seperti ini.

"Cepattttt!" teriak Sekar ketika mereka belum juga tiba di rumah sakit sedangkan peluh sudah membasahi tubuh Sekar. Rasa sakit semakin menjadi-jadi, Sekar tidak saja menjadikan tangan Ardan tempat pelampiasannya tapi juga kekuatan untuk meringankan rasa sakit di perutnya. Sekar reflek menggenggam tangan Ardan dan jari mereka saling bertautan satu sama lainnya.

"Sakit bangettttt," Ardan semakin panik dan memarkir mobilnya sembarangan. Ardan tidak peduli dengan makian supir lain karena jalan mereka terhalang mobil Ardan.

"Hey ..." maki supir itu dengan keras dan bunyi klakson memekakkan telinga. Ardan mengangkat jarinya dan menunjuk ke arah supir itu dengan tatapan membunuh. Ardan lalu membuka pintu dan menggendong Sekar yang semakin lemah dan kehabisan tenaga. Sekar mengaitkan kedua tangannya di leher Ardan dan menyandarkan kepalanya di dada Ardan.

"Sakit ..." ujar Sekar lirih. Sekar menangis dan mengutuk kebodohan yang telah ia lakukan pada Biyandra. Andai Sekar tahu ternyata melahirkan itu sangat menyakitkan dan bertaruh nyawa, mungkin Sekar akan berpikir dua kali saat menelantarkan anaknya. Dulu rasa sakit saat melahirkan Biyandra tidak sebanding dengan rasa sakit dan hancurnya jiwa dan raga Sekar.

Beberapa perawat membantu Ardan dan membawa Sekar ke dalam ruang persalinan. Dokter yang selama ini merawat Sekar pun bergegas masuk.

Lima belas menit seakan lima belas tahun. Ardan berjalan mondar mandir dan emosinya naik turun. Entah sudah berapa kali ia ingin masuk dan mencari tahu bagaimana kondisi Sekar yang tidak kunjung dikabari perawat atau dokter.

"Mas ..." Ardan melihat Arjuna dan Nimas baru datang dengan membawa tas berisi perlengkapan bayi dan barang-barang kebutuhan setelah melahirkan, "bagaimana Mbak Sekar?" tanya Nimas.

"Masih di dalam dan dokter belum memberikan kabar. Rasanya Mas mau masuk dan menghajar dokter itu!" maki Ardan saking kesalnya. Nimas memegang bahu Ardan untuk menenangkan. Wajah Arjuna mengeras saat melihat Nimas mendekati Ardan. Arjuna sengaja mendekati Nimas dan Ardan lalu meletakkan tas ke lantai dengan keras dan mengenai kaki Nimas.

"Maksud lo apa?" tanya Nimas dengan kesal setelah Arjuna seperti sengaja meletakkan tas itu hingga mengenai kakinya.

"Urusan kita belum selesai!" maki Nimas saat melihat perawat keluar dari ruang persalinan.

"Suami pasien silakan masuk. Sudah waktunya bapak mendampingi ibu melahirkan," panggilan perawat membuat Ardan mengacuhkan pertengkaran Arjuna dan Nimas. Ardan lalu masuk dan melihat Sekar sudah berbaring di ranjang.

"Buat apa mereka ada di sini?" tanya Ardan tidak suka. Apalagi ada beberapa dokter berjenis kelamin laki-laki berada di satu ruangan dengan Sekar.

"Kita terpaksa melakukan operasi ceasar. Tenaga pasien terkuras dan kami memutuskan operasi adalah jalan terbaik saat ini. Dokter itu ahli anestesi dan dia kami butuhkan di sini," jawab dokter kandungan. Ardan menatap dokter muda itu dengan tatapan tajam, tapi demi keselamatan Sekar, akhirnya Ardan mengalah dan membiarkan dokter melakukan pekerjaannya.

"Biyandra ... Biyandra ..." ujar Sekar lirih. Ingatannya melayang memikirkan Biyandra. Ardan yang mendengar Sekar menyebut nama laki-laki lain sedikit geram dan menggenggam tangan Sekar dengan posesif. Ardan tidak mau ada nama laki-laki lain keluar dari mulut Sekar.

"Siapa bajingan bernama Biyandra itu? Kenapa dia selalu memanggilnya? Sial, kenapa aku jadi tidak tenang seperti ini," ujar Ardan dalam hati.

Lamunan Ardan buyar saat mendengar isak tangis bayi Sekar. Sekar semakin menggenggam tangan Ardan dan enggan melepaskannya. Ardan tersenyum lepas saat melihat dokter sedang menggunting ari-ari bayi Sekar.

"Perempuan, lengkap dan sehat. Selamat ya bapak dan ibu," ujar dokter itu sambil memperlihatkan kondisi bayi Sekar yang baru saja lahir. Airmata Sekar jatuh dan senyum kebahagiaan muncul di wajah Sekar. Ardan merasa ini hadiah terbaik yang pernah ia dapatkan seumur hidupnya. Bahkan melihat bayi yang tadinya berada di dalam perut Sekar kini bergerak dan bernapas lebih membahagiakan daripada proyek bernilai milyaran.

"Ini bayinya bu," perawat meletakkan bayi mungil itu di dada Sekar. Mulutnya yang mungil langsung mencari jalan menuju puting Sekar.

Ardan menyentuh pipi bayi itu dengan jarinya, "Hai princess, akhirnya kita bertemu ." Sekar melihat wajah Ardan dan rasa simpati tiba-tiba muncul di hati Sekar saat sadar Ardan menemaninya sejak awal sampai kelahiran anaknya.

"Hai sayang ... ini ibu nak," Sekar mencium kening bayinya dengan lembut.

"Dan aku ayahmu, kamu harus tumbuh dengan sehat dan cerdas. Kamu akan menjadi kesayangan ayah," Sekar kehilangan kata-kata setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan Ardan.

"Apa yang dia rencanakan, kenapa aku merasa dia tulus mengatakan itu, tidak ... jangan pernah luluh Sekar!" ujar Sekar dalam hatinya.

Nimas berkacak pinggang dan menantang Arjuna dengan matanya, entah kenapa Nimas tidak suka Arjuna menatapnya seperti saat ini. Bulu kuduknya berdiri dan ada rasa takut tiba-tiba muncul di diri Nimas.

"Oke, sebaiknya kita selesaikan masalah di antara kita. Gue nggak tahu kenapa lo kayaknya benci banget sama gue dan selalu cari gara-gara. Maksud lo apa bersikap seperti tadi saat Mas Ardan ada?" tanya Nimas.

"Nggak ada maksud. Tasnya berat dan saya tidak kuat memegangnya terlalu lama," balas Arjuna santai. Nimas menghembuskan napasnya dan tahu kalau itu hanya alasan dibuat-buat.

"Alasan!"

"Ya sudah kalau tidak percaya," jawab Arjuna masih dengan nada santai. Nimas mendekati Arjuna dan mendorong dada Arjuna pelan, hingga Arjuna mundur ke belakang.

"Gue akhirnya tahu kalau lo itu pengecut, busuk hati, iri, dengki, dan segala macam penyakit hati."

"Baru tahu?"

Nimas sekali lagi mendorong Arjuna dengan tangannya. Tujuannya cuma satu, Arjuna jatuh ke dalam lobang galian parit yang ada di depan rumah sakit.

"Lo itu sebaiknya ganti celana dengan rok. Cemen dan beraninya cuma sama perempuan," Nimas tidak berhenti mendorong Arjuna. Satu langkah lagi bisa dipastikan Arjuna jatuh terjerembab ke dalam lobang galian itu dan saat Nimas ingin mendorong tiba-tiba Arjuna menangkap tangan Nimas dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memeluk pinggang Nimas. Arjuna juga membalikkan posisi mereka. Kini Nimas berdiri di ujung lobang dengan heel-nya hampir masuk ke lubang itu. Arjuna tersenyum girang dan membuat gerakan ingin melepaskan Nimas tapi ia batalkan saat Nimas membalas memeluk pinggangnya agar tidak jatuh.

"Lo!"

"Kamu tidak akan pernah menang dari saya. Apa pun rencana busuk yang ada di otak kamu. Saya sudah tahu dan antisipasi," ujar Arjuna.

Nimas memutar kepalanya dan melihat lobang itu cukup dalam dan kalau sampai ia jatuh bisa dipastikan seluruh tulangnya akan patah, "Lepaskan gue!" teriak Nimas tertahan dan sekaligus malu jika ada orang melihat posisi mereka.

"Hmmmm nggak ah,"

"Please, lepaskan gue!" pinta Nimas dengan wajah mengiba. Pegangan Arjuna di pinggang Nimas semakin kencang. Tubuh mereka beradu dan ditambah pelukan Nimas di pinggang Arjuna supaya tidak jatuh semakin membuat posisi mereka terlihat intim.

"Saya ada permintaan dan kamu wajib memenuhinya barulah saya akan melepaskan kamu,"

"Sial, dia mengambil kesempatan dalam kesempitan," maki Nimas dalam hati.

"Permintaan apa? Selagi gue bisa penuhi maka gue akan penuhi," balas Nimas. Wajah santai Arjuna langsung berubah menjadi serius dan tegang.

"Besok kamu harus temani saja piknik, deal?"

"Maksud lo apa?" tanya Nimas masih belum mengerti dengan maksud Arjuna.

"Saya ini kurang piknik makanya suka mengusik dan cari gara-gara dengan kamu, jadi supaya saya tidak mengusik hidup kamu lagi makanya saya ajak kamu untuk piknik keliling kota,"

"What the hell!" maki Nimas.

"Oke kalau nggak mau," perlahan demi perlahan Arjuna melepaskan pegangannya. Keseimbangan tubuh Nimas langsung hilang dan hampir saja ia jatuh ke lobang itu tapi Arjuna kembali menangkapnya.

"Gimana?"

"Oke oke, kita cuma piknik dan nggak ada pemikiran lain, oke?" tawar Nimas. Arjuna mengangguk dan menarik tubuh Nimas menjauh dari lobang itu.

"Jadi ke mana kencan pertama kita?"

"Neraka!" balas Nimas dengan emosi.

Next chapter