webnovel

Maureen

Renata mencoba memutar otak supaya bisa kabur dari rumah sakit jiwa ini. Satu minggu Renata berada di rumah sakit ini dan sampai detik ini tidak ada kabar berita dari Ardan dan itu berarti Ardan sama sekali belum membuka emailnya. Sudah cukup Renata berteriak atau pun meronta dan semua itu hanya menjadi pekerjaan yang sia-sia saja. Semua dokter dan perawat menganggapnya gila.

"Suster," panggil Renata saat perawat yang biasa mengantar makanan masuk ke dalam ruang perawatannya. Perawat itu memeriksa suhu tubuh Renata dan mencatat di buku khusus yang dipegangnya.

"Iya kamu mau bilang kalau kamu tidak gila dan kamu di sini karena dikurung ibu kamu. Saya sudah capek mendengar itu dari mulut kamu. Kasihan Ibu Marinka, anak gadisnya tidak waras karena cinta,"

"Oh jadi Mami mengarang cerita kalau aku gila karena cinta. Aku sama sekali tidak menyangka kalau Mami tega mengurungku di sini demi harta. Ternyata apa yang ditakutkan Papi terjadi juga. Alasan Papi menyerahkan semua bagian Mahesa Group ke tangan Ardan karena Papi sudah tahu kalau Mami dan Paman Felix adalah manusia-manusia rakus," ujar Renata dalam hati.

Renata menggeleng dan mencoba bersikap normal supaya suster ini bisa percaya kalau kondisinya mulai membaik, "Bukan, aku capek memakai baju ini. Suster bisa lepaskan? Aku janji tidak akan lari atau bertindak bodoh. Aku tidak mau disuntik lagi," pinta Renata dengan wajah mengiba.

Awalnya suster itu menolak untuk membuka ikatan di baju Renata, tapi setelah melihat wajah Renata mengiba dan berpikir tidak mungkin ada pasien gila bisa lari dari rumah sakit ini akhirnya suster membuka ikatan itu.

"Saya percaya kamu tidak akan mengkhianati saya. Awas saja kalau kamu berani kabur, saya tidak akan segan-segan mengurung kamu dan menyuntikkan obat ke tubuh kamu," ancam suster itu lagi sebelum meninggalkan Renata.

"Perlahan-lahan aku akan membuat suster itu memberi kepercayaan dan membiarkan aku keluar dari kamar ini. Setelah aku keluar barulah aku menyelinap dan kabur dari sini. Ardan … Ardan … please buka email yang Mbak kirim!" Renata menggigit kukunya berulang kali.

Di tempat lain,

"Tuan," panggilan Arjuna membatalkan niat Ardan menekan tombol power untuk menghidupkan laptopnya. Ardan berdecak kesal karena ada saja gangguan saat ia ingin membuka email.

"Bagaimana operasinya?" tanya Ardan,

"Sampai detik ini dokter belum memberikan kabar buruk. Kita hanya butuh waktu untuk tahu bagaimana hasil operasinya," ujar Arjuna. Ardan kembali duduk dan menutup laptopnya kembali.

"Bagus," balas Ardan ambil membuang napasnya.

"Ya sudah, kamu dan Nimas bisa kembali ke hotel. Tolong kamu simpan laptop ini," Ardan menyerahkan laptopnya dan kembali membatalkan niatnya untuk membuka email.

"Tuan tidak jadi membuka email?" tanya Arjuna. Ardan menggeleng lalu mengeluarkan kotak rokoknya dan mulai menghisap rokok. Tidak ada yang tahu kalau jantungnya kini berdetak tidak karuan menunggu hasil operasi Sekar.

Ardan sudah mewanti-wanti dokter itu supaya mengembalikan wajah Sekar seperti semula. Ardan juga mengancam akan membunuh dokter itu jika kandungan Sekar mengalami sesuatu hal buruk.

"Baiklah," Arjuna lalu meninggalkan Ardan dan menarik Nimas untuk ikut dengannya,

"Hey, aku mau di sini!" tolak Nimas.

"Tuan menyuruh saya membawa kamu pulang," balas Arjuna. Nimas menginjak kaki Arjuna dengan heel-nya, tapi injakan itu tidak membuat Arjuna melepaskan pegangannya. Sesampai di tempat parkir Arjuna langsung menyuruh Nimas untuk masuk ke dalam mobil.

"Lo … bajingan!" maki Nimas sambil menunjuk muka Arjuna. Arjuna langsung menangkap jari yang mengarah ke mukanya dan langsung menariknya hingga tubuh Nimas beradu dengan tubuhnya, "Ma … mau apa lo?" tanya Nimas dengan gugup.

Arjuna mendekati telinga Nimas dan berbisik pelan tapi sangat tajam dan menyakiti hati Nimas sebagai wanita, "Kamu sengaja berpakaian seperti ini untuk menggoda Tuan? Tahukah kalau penampilan kamu saat ini di mata saya seperti … pelacur," tanya Arjuna dengan picik dan kejam.

Baju yang dikenakan Nimas memang sedikit terbuka, sebuah tank top dan celana pendek. Sebenarnya Nimas memakai jaket tapi saat masih berada di pesawat tiba-tiba Sekar merasa kedinginan dan Nimas pun meminjamkan jaketnya.

Plakkkkk

"Jahat … lo boleh menganggap gue cewek matre atau mata duitan tapi jangan sekali-kali mengganggap gue pelacur, gue bukan pelacur yang tega menjual diri untuk menggoda suami kakaknya. Lo keterlaluan Arjuna … lo nyakitin gue," balas Nimas dengan amarah menggelegar.

Arjuna memegang pipinya, entah kenapa emosinya tersulut saat melihat Nimas memakai baju seminim itu saat berada di dekat Ardan dan bodohnya Arjuna melontarkan kata-kata tidak bermoral dan menyakiti Nimas.

Nimas meninggalkan Arjuna berurai airmata, niatnya berada di dekat Ardan murni untuk menolong Sekar tapi nyatanya ada saja yang menganggapnya sebagai wanita matre dan pelacur, "Mbak … selama ini Mbak melakukan hal itu demi uang. Kenapa Mbak mau ikut dalam permainan mereka, kenapa Mbak?" tanya Nimas dalam hati.

Tiga minggu kemudian

Dokter membuka satu persatu lilitan perban di wajah Sekar. Tiga minggu waktu yang dibutuhkan setelah operasi pengembalian wajah asli Sekar. Tiga minggu mereka habiskan di rumah sakit sambil menunggu dokter memperbolehkan lilitan perban ini dibuka.

"Semoga setelah wajahnya kembali, jantungku bisa berdetak dengan normal."

Deg

Deg

Deg

Jantung Ardan semakin berdetak kencang. Napasnya tercekat saat dokter membuka lilitan terakhir. Sekar masih menutup matanya, jantungnya pun berdetak tidak karuan. Menunggu bagaimana bentuk rupanya setelah menjalani operasi untuk kedua kalinya.

"Open your eyes," perintah dokter itu. Perlahan demi perlahan Sekar membuka matanya. Sebuah cermin sedang dipegang perawat berbaju santai sambil mengunyah permen karet. Matanya berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya kini memang kenyataan bukan mimpi di siang bolong.

Wajah yang tadinya sangat menyerupai Maudy kini berubah seperti semula. Wajah lamanya akhirnya kembali, Sekar merampas cermin yang dipegang perawat dan mencoba sekali lagi memastikan apa yang dilihatnya barusan benar-benar nyata.

"Tidak … kenapa jantung ini semakin berdetak tak karuan walau wajahnya tidak menyerupai Maudy lagi. Ada apa ini!" ujar Ardan dalam hati.

Untuk mengusir rasa gugupnya Ardan lalu mendekati Sekar, "Sudah, cermin itu bisa pecah." Ardan merampas cermin itu dan menyuruh dokter serta perawat meninggalkan mereka. Sekar mendengus dan berpikir Ardan tidak akan bersikap sinis setelah hampir tiga minggu ini mereka tidak pernah bertengkar untuk hal sepele seperti saat ini.

"Kenapa Tuan mulai bersikap kejam lagi. Saya pikir Tuan sudah jinak dan setelah operasi ini berhasil Tuan akhirnya mau melepaskan saya."

"Khayalan kamu terlalu tinggi. Saya mengubah wajah kamu untuk mencari satu jawaban yang membuat hidup saya kacau beberapa minggu ini, tapi nyatanya setelah operasi itu dilakukan hidup saya pun masih kacau. Saya nggak suka hidup saya kacau tapi kamu tidak. Jadi …" Ardan mendekati telinga Sekar, "Kamu lebih cantik tanpa wajah Maudy," sambung Ardan pelan sebelum meninggalkan Sekar dan setelah mengatakan itu Ardan menyesal. Lidahnya terlalu sulit untuk memaki atau pun menyakiti hati Sekar.

Ardan menyuruh Arjuna menjaga Sekar sedangkan dirinya memutuskan naik ke lantai atas untuk berteriak agar sesak di dadanya bisa hilang.

Sesampainya di rooftop, Ardan langsung berteriak sekencang mungkin, "SIALANNNNNNN," maki Ardan. Pot bunga yang ada di dekat kakinya menjadi korban kekesalannya. Pot bunga itu pecah dan tanahnya berserakan di lantai.

"Dua bulan lagi bayi itu lahir dan aku akan segera menendang wanita itu, ini tidak bisa dibiarkan. Keberadaannya membuat hidupku kacau," ujar Ardan. Dua bulan lagi waktu yang ia butuhkan dan setelah bayi itu lahir, Ardan akan melepaskan Sekar dengan satu syarat. Sekar menyerahkan bayi itu untuk menjadi anak Ardan.

Lorong rumah sakit siang ini sepi. Sudah dua hari ini perawat memberikan kepercayaan dan membiarkan Renata bergaul dan menyatu dengan pasien yang berada di taman. Siang ini waktu yang tepat untuk melarikan diri. Beberapa perawat sibuk menghias rumah sakit dan penjagaan pasti tidak seketat hari biasanya.

Jantung Renata berdetak tidak karuan saat melewati lorong rumah sakit untuk mencari ruang perawat. Lari dari rumah sakit dengan memakai seragam pasien hanya akan membuat langkahnya sulit. Renata berencana mencuri seragam salah satu perawat sebelum kabur dari rumah sakit.

Langkah Renata terhenti saat melihat dua orang perawat keluar dari ruang istirahat memakai baju bebas. Setelah dua perawat itu menjauh barulah Renata masuk ke dalam ruang itu dan langsung mengganti baju pasiennya dengan baju perawat.

Setelah yakin penampilannya kini tidak seperti pasien rumah sakit jiwa barulah Renata langsung bergegas menuju pintu keluar. Napasnya tercekat dan langkahnya terasa berat untuk diangkat. Renata tertawa girang saat berhasil keluar tanpa diketahui penjaga atau pun perawat lainnya. Renata bersembunyi di belakang mobil dan berpikir langkah apa yang akan ia lakukan setelah kabur dar rumah sakit jiwa.

"Permisi," sebuah suara mengagetkan Renata. Renata melihat laki-laki bertubuh atletis sedang berdiri di depannya sambil membawa rantang.

"Ya … ya …" jawab Renata terbata-bata. Wajah laki-laki ini tidak asing di matanya, tapi Renata lupa mereka pernah bertemu di mana.

"Saya mau mengantar makanan ini untuk ibu saya," ujar laki-laki itu.

"Mas … masuk dan lapor saja," Renata masih terbata-bata. Matanya melihat beberapa petugas berlarian sambil membawa peralatan yang dibutuhkan untuk menangkap pasien yang kabur. Renata memegang tangan laki-laki itu dan menunjukkan wajah memelas.

"To … tolong selamatkan saya,"

"Kamu … pasien di sini?" tanyanya.

"Bukan … ceritanya sangat panjang, tolong selamatkan saya …" laki-laki itu merasa iba dan akhirnya membuka mobilnya dan menyuruh Renata masuk. Rencananya setelah kondisi tenang barulah laki-laki itu akan membujuk Renata untuk masuk dan menyerahkan diri.

"Jadi … wohooooo, apa yang kamu lakukan?" tanya laki-laki itu saat Renata mengarahkan sebuah pisau dapur yang diambilnya dari dalam laci.

"Tolong saya … saya tidak gila. Bawa saya sejauh mungkin atau …" Renata semakin mengarahkan pisau ke tubuh laki-laki itu.

"Oke, tapi tolong berhenti memandang saya dengan wajah seperti itu."

Renata masih mengarahkan pisau supaya laki-laki itu tidak melakukan hal yang akan membuatnya kembali ke rumah sakit jiwa. Renata butuh tempat untuk bersembunyi sebelum memikirkan langkah selanjutnya.

"Jadi … nama kamu siapa?" tanya laki-laki itu.

"Maureen," balas Renata berbohong. Nama aslinya Renata Maureen Mahesa, untuk sementara Renata akan menyembunyikan identitas aslinya.

Laki-laki itu menjulurkan tangannya dan tersenyum ramah, "Pasha," ujarnya pelan.

Next chapter