webnovel

Maudy Mahesa

"Wah kayaknya hari ini bumil satu ini ada yang beda loh, wajah lo lebih bersinar dan lebih cantik. Baby lo sepertinya mulai mengerti kalau ibunya butuh kerja untuk memberinya makan. Penampilan lo sekarang tidak seperti ibu-ibu hamil kebanyakan bahkan perut lo masih datar," ujar Rika saat mereka sedang istirahat makan siang.

Sekar tertawa dan mengelus perutnya dengan lembut, "Mungkin baby gue kena omel ayahnya," jawab Sekar asal. Entah kenapa Sekar masih sulit melupakan Aditya walau sejujurnya Sekar belum bisa mencintai Aditya seperti dulu ia mencintai Pasha. Rika tertawa dan meletakkan sendoknya lalu menatap Sekar dengan penuh tanda tanya.

"Gue boleh nanya?" tanya Rika pelan. Sekar mengangguk dan melihat wajah Rika yang tadinya santai kini berubah serius, "Anak pertama lo …." Sekar langsung berhenti mengunyah saat mendengar Rika membahas tentang anak pertamanya. Mata Sekar yang tadinya berbinar mulai sayu dan setitik airmata akhirnya jatuh tanpa ia sadari.

"Maaf Sekar, kalau lo nggak mau cerita …." Sekar menggelengkan kepalanya. Sudah waktunya Rika tahu masalah yang sebenarnya kenapa ia tega menyerahkan Biyandra ke tangan Kayla untuk diasuh.

Sekar membuang napasnya sebelum memulai bercerita.

"Sejak tahu gue hamil akibat perkosaan itu entah sudah berapa kali gue coba menggugurkannya. Gue nggak mau punya anak hasil perkosaan yang ayahnya saja gue nggak tahu siapa. Semakin lama kandungan gue semakin besar dan tingkat stress yang semakin tinggi membuat kondisi kesehatan gue dan anak itu memburuk. Berbulan-bulan gue dipantau dokter agar bayi itu lahir dengan sehat," suara Sekar bergetar dan lagi-lagi airmata jatuh di pipinya. Rika memegang tangan Sekar untuk menenangkan temannya itu.

"Anak itu akhirnya lahir dengan sehat dan tanpa kekurangan," Sekar tertawa miris dan menarik napasnya yang semakin sesak saat menceritakan kisah masa lalunya, "Setiap ibu biasanya langsung memeluk bayi yang baru dilahirkan dari rahimnya, tapi gue nggak pernah sekali pun memeluk atau menggendongnya dengan tangan ini." Sekar mengangkat kedua tangannya dan isak tangis Sekar semakin menyayat hati Rika. Rika mendekati Sekar dan memeluknya agar beban berat yang menghimpit Sekar bisa hilang.

"Gue takut tangan ini nantinya akan menyakiti atau membunuh anak itu tanpa gue sadari makanya gue memutuskan meminta Kayla menyerahkan anak itu ke panti asuhan. Gue sulit untuk melupakan kejadian tragis itu dan gue takut amarah suatu saat nanti akan membuat gue membunuh anak itu jika dia masih ada di dekat gue."

"Gue mungkin akan melakukan hal yang sama kalau berada di posisi lo. Ya sudah, kita lupakan semuanya dan sekarang lo fokus dengan kehamilan ini." Rika lalu menghapus air lmatanya begitu pun Sekar. Mereka lalu kembali ke counter depan untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

"Ibu sudah gila hah!" teriak Nimas saat ibunya memberi tahu rencana yang disusun Tuan Felix. Ibu Maudy menggelengkan kepalanya sambil menuangkan teh ke dalam cangkir minumnya.

"Ibu serius. Kamu harus melanjutkan pekerjaan yang belum sempat Maudy selesaikan. Tuan Felix akan memberi kita sepertiga harta keluarga Mahesa jika rencana itu berhasil dan hanya kamu satu-satunya orang yang bisa ibu andalkan," Nimas berdecak tidak percaya mendengar ucapan santai ibunya.

"Ibu keterlaluan! Itu sama saja ibu menjual aku," jawab Nimas dengan kesal. Ibu Maudy meletakkan cangkirnya dengan kasar dan mendekati Nimas lalu memegang dagunya.

"Kamu mau hidup miskin? Kamu mau kita hanya makan nasi dan garam? Ibu bosan tinggal di kawasan kumuh dan hidup menderita. Harta keluarga Mahesa akan mengubah hidup kita menjadi lebih baik."

Nimas tidak menyangka ibunya tega berkata seperti itu. Sudah cukup selama ini kakaknya terpaksa menjual diri untuk memenuhi kebutuhan ibunya. Kali ini Nimas tidak akan pernah mau mengikuti semua kemauan ibunya.

"Aku nggak mau!" Nimas meninggalkan kamar ibunya dengan membanting pintu. Ibu Maudy tertawa sinis dan kembali menuangkan teh ke dalam cangkirnya yang kosong.

"Kita lihat saja. Kamu akan menyerah dan akhirnya menuruti kemauan ibu."

Nimas muak dengan ketamakan ibunya yang tega menyuruhnya menjual harga diri demi harta yang bukan miliknya. Nimas membuang napas dan berpikir ulang tentang tawaran Ardan dan Maudy dulu tentang kuliah di luar negeri.

"Sepertinya aku harus menerima tawaran itu sebelum ibu melakukan hal gila," Nimas berencana untuk menemui Ardan. Nimas mengetuk pelan pintu Ardan, tapi tidak ada jawaban dari dalam.

"Mas Ardan," panggil Nimas pelan.

"Maaf, Tuan meninggalkan pesan jangan ada satu orang pun mengganggu beliau," Nimas tersentak kaget dan memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang mengagetkannya.

"Kamu lagi kamu lagi. Bisa nggak dalam satu hari jangan tunjukkan wajah menyebalkan kamu di depan saya. Sok dingin dan misterius," sindir Nimas sambil melewati Arjuna.

"Seharusnya kalian malu masih tinggal di rumah ini, sedangkan Nyonya Maudy saja sudah tidak ada." Arjuna balik menyindir Nimas. Nimas kehilangan kata-kata karena apa yang diucapkan Arjuna ada benarnya. Seharusnya mereka tidak tinggal serumah dengan Ardan sedangkan Maudy sudah lama meninggal.

"Kami akan pergi secepatnya. Lagi pula ini bukan urusan kamu ya! Pengawal nggak tahu diri!" Nimas kembali menendang kaki Arjuna seperti biasa, tapi kali ini Arjuna bisa menghindar dan menyebabkan Nimas jatuh ke lantai.

"Anda pikir bisa seenaknya menendang kaki saya setiap kita bicara?" Arjuna sengaja jongkok di depan Nimas dan memegang dagunya.

"Jauhi Tuan Ardan jika ingin hidup tenang," Arjuna lalu meninggalkan Nimas begitu saja. Nimas memaki dan berjanji akan membalas semuanya suatu saat nanti.

"Arjuna ressseeeeee!" maki Nimas dengan kesal.

Rika merasa tidak enak membatalkan rencana makan malamnya dengan Sekar karena harus segera ke rumah sakit untuk melihat kakaknya yang baru melahirkan. Untungnya Sekar mengerti dan menyuruh Rika untuk pulang lebih cepat dari jadwal semula.

"Gantian, kali ini lo yang pulang cepat dan gue lembur sampai jam sepuluh malam. Lo tenang saja seharian ini bayi gue nggak banyak ulah," Rika tersenyum dan mengambil tas di loker miliknya.

"Makasih banyak ya. Oh iya, kayaknya jalan utama masih dalam perbaikan. Kalau lo pulang lebih baik bawa senter. Gang di samping gelap banget pas gue buang sampah tadi." Sekar membuat tanda oke dengan jarinya.

Setelah Rika pergi Sekar kembali melanjutkan pekerjaannya dan sesekali melayani pelanggan yang datang untuk membeli obat. Hari ini pelanggan yang datang cukup ramai dan untungnya Sekar bisa mengatasinya sendiri.

"Fiuhhhhh, hari ini cukup melelahkan. Sekarang waktunya kita pulang ya sayang," Sekar mengunci pintu apotik dan menyimpannya di dalam tas miliknya. Sekar tidak lupa menghidupkan senter dan menyusuri gang sempit yang terpaksa ia lewati.

Di tengah perjalanan Sekar samar-samar mendengar deru nafas berat yang bukan miliknya. Sekar menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya untuk mencari asal deru napas tadi. Sekar mengarahkan senternya dan lagi-lagi tidak menemukan apa-apa.

"Aku terlalu paranoid," ujar Sekar pelan. Ia lalu memutar tubuhnya lagi dan melanjutkan langkahnya. Baru beberapa langkah menjauh dari tempatnya berhenti tadi tiba-tiba sebuah tangan besar menyergapnya. Sekar meronta dan mencoba berteriak meminta pertolongan. Tangan itu meletakkan sebuah sapu tangan ke hidung Sekar dan dalam hitungan detik Sekar berhenti meronta dan akhirnya jatuh tidak sadarkan diri di pelukan laki-laki yang menyergapnya.

"Apa kabar, Sekar Kinanti." Ardan menatap wajah Sekar yang pingsan dengan tatapan marah dan benci.

"Sebentar lagi kita akan bersenang-senang Sekar. Sekarang nikmati tidur nyenyak terakhir, karena nanti kamu akan memilih mati daripada tidur," ujar Ardan sambil menggendong Sekar dan membawanya ke dalam mobil miliknya. Ada satu hal yang harus ia lakukan sebelum melanjutkan rencananya. Ardan melajukan mobilnya meninggalkan heningnya malam menuju landasan pacu di mana Arjuna sudah menunggu dengan helikopter pribadi yang akan membawanya ke suatu tempat.

Ardan melemparkan tubuh Sekar ke kursi penumpang sebelum ia ikut masuk dan duduk di samping Arjuna. Arjuna melirik sekilas ke arah Sekar dan Ardan secara bergantian.

"Semua sesuai rencana. Wanita itu sudah berhasil kita culik dan sekarang waktunya kita menyingkirkan identitas aslinya," Arjuna kaget mendengar ucapan Ardan. Arjuna pikir Ardan membutuhkan helikopter ini untuk membawa Sekar ke tempat penyekapan.

"Tuan akan membunuhnya?" tanya Arjuna.

"Tidak, mati hanya akan membuat kisah ini berakhir sampai di sini. Saya akan menyiksanya perlahan demi perlahan dan menjadikannya budak yang harus patuh akan perintah majikannya. Kita akan menyingkirkan identitas Sekar Kinanti dan mengubahnya menjadi orang lain agar pihak kepolisian tidak bisa menemukannya," balas Ardan dengan senyum licik. Arjuna sedikit bernapas lega. Ia lalu menyuruh pilot untuk meninggalkan landasan pacu dan memberi tahu tujuan mereka selanjutnya.

"Kita ke mana Tuan?" tanya Arjuna.

"Thailand," balas Ardan.

Sekar membuka matanya, rasanya sudah terlalu lama ia tidur tidak senyenyak ini. Sekar menggeliat pelan dan kaget saat melihat tangannya kini terikat. Sekar teringat serangan orang asing itu dan ia meronta lalu berteriak sambil mencoba untuk melepaskan ikatan di tangannya yang cukup menyakitkan. Sekar memutar matanya ke kiri dan ke kanan untuk melihat di mana ia kini berada dan kenapa ia terbangun dalam kondisi terikat.

"Haiiiiii, ada orang di luar? Tolonggggg," teriak Sekar dengan sekuat tenaga. Tidak ada jawaban, hanya bunyi burung di luar jendela memecahkan kesunyian pagi ini. Sekar kembali mencoba membuka ikatan di tangannya tapi selalu gagal.

"Ya Tuhan, kenapa aku di sini dan dalam kondisi seperti ini." Sekar melihat kondisinya dan takut kejadian dulu terulang kembali.

"Baju siapa ini?" Sekar kaget saat melihat kaos yang dipakainya saat pulang, kini sudah berganti dengan baju yang bukan miliknya.

Suara pintu berderit membuat Sekar menoleh ke arah pintu.

"Akhirnya Nyonya besar bangun dari tidur panjangnya," Sekar menoleh untuk melihat siapa yang menyapanya. Laki-laki tinggi, berbadan tegap, dan memakai penutup wajah sedang melihatnya. Rasa takut membuat Sekar mencoba sekali lagi melepaskan ikatan di tangannya.

"Siapa kamu dan kenapa mengurungku di sini!" teriak Sekar.

Ardan mengambil kursi dan sebuah kaca lalu duduk di samping Sekar dan melepaskan ikatan di tangan Sekar dan menyisakan lebam berwarna biru. Ardan membuang tali pengikat itu ke lantai dan menatap panjang Sekar dengan mata tajamnya. Tiga bulan ia menunggu Sekar sadar dari pengaruh obat bius untuk memuluskan rencana besarnya.

"Saya? Untuk saat ini kamu tidak perlu tahu siapa saya. Mulai hari ini kamu akan melakukan apa pun yang saya perintahkan. Ah sebelum kita bicara panjang saya menyiapkan sebuah kado untuk kamu." Ardan mengarahkan kaca itu di depan Sekar dan Sekar langsung shock melihat penampilannya kini. Tubuh Sekar bergetar hebat dan matanya berkedip tak percaya.

"Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin!" Sekar berteriak saking tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Sekar menepuk-nepuk pipinya untuk memastikan ini semua bukan mimpi buruk. Semakin ia memukul keras semakin terasa kalau ini nyata dan bukan mimpi.

"Ya Tuhan! Apa yang kamu lakukan hah!" Sekar mencoba memukul Ardan tapi Ardan berhasil mengelak. Sekar sekali lagi berteriak histeris saat melihat wajahnya kini tidak lagi sama. Wajah yang sangat tidak asing dan dikenalnya.

"Tidak! Apa yang kamu lakukan! Kembalikan wajahku!" teriak Sekar dengan histeris, seluruh tenaga ia luapkan untuk menyerang Ardan walau tidak menunjukkan hasil. Ardan berdiri lalu membuka perlahan demi perlahan penutup wajahnya. Setelah membuang penutup wajahnya Ardan langsung mencengkram tangan Sekar dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memegang dagu Sekar dengan kasar.

"Selamat datang di penjara ini Sekar Kinanti. Ah tidak, bukan Sekar Kinati tapi Maudy Mahesa. Mulai hari ini nama kamu Maudy Mahesa." Sekar kaget luar biasa melihat siapa pelaku yang mengubah wajahnya menyerupai Maudy. Wajah yang tiga tahun ini tidak akan pernah bisa ia lupakan.

"Ka … kamu! Bajingan yang mengurung dan membuat neraka di hidupku!" Sekar tidak akan pernah melupakan wajah Ardan. Laki-laki arogan yang mengurungnya di gudang malam itu dan menyebabkan bajingan brengsek memperkosanya dan kini Ardan kembali menyakitinya dengan mengubah wajahnya menyerupai Maudy.

Ardan tidak peduli Sekar mengenalnya, toh bagi Ardan orang boleh mengingatnya tapi ia tidak wajib mengingat orang lain.

"Darah dibayar darah dan jika ingin menyalahkan seseorang maka salahkan Aditya Prasaja." Sekar terdiam saat Ardan mengungkit nama Aditya, "Laki-laki itu dengan beraninya membunuh istri dan calon anak saya!" teriak Ardan sambil mendorong tubuh Sekar ke dinding. Ardan meletakkan tangannya di leher Sekar dan menatap Sekar dengan mata merahnya.

"Kamu harus membayar kesalahan Aditya dengan darah dan airmata!" teriak Ardan dengan penuh amarah.

Next chapter