webnovel

Manusia Aneh

Hidup Sekar yang tadinya lurus dan tenang kini berubah 180 derajat. Ketakutan demi ketakutan menjadi makanan sehari-harinya. Mungkinkah semua ini hukuman dari Tuhan? Mungkin Sekar pantas menerimanya karena dosa besar yang dulu ia lakukan karena membuang Biyandra.

Mungkinkah Tuhan mengirim laki-laki kejam dan arogan bernama Ardan Mahesa yang tidak berhenti menyiksa fisik dan batinnya agar Sekar tahu bagaimana rasanya dibenci atas perbuatan yang tidak pernah Sekar lakukan? Seperti Sekar membenci anak kandungnya sendiri walau Biyandra tidak sekali pun pernah minta dilahirkan dari hasil perbuatan kejam ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu.

"Apa yang Tuan inginkan dari saya?" tanya Sekar sekali lagi. Sekar masih menyimpan pena yang sedari tadi disimpannya di bawah bantal. Pena ini akan Sekar gunakan jika Ardan berani mendekati dan menyakiti bayinya.

Tidak ada jawaban dari mulut Ardan. Matanya menatap baki yang tadi diantar Arjuna, baki berisi makanan dan minuman bergizi untuk ibu hamil, "Kamu … manusia tidak tahu berterima kasih, Arjuna susah payah mempersiapkan makanan ini dan kamu sama sekali tidak menyentuhnya," geram Ardan sambil menghempaskan baki itu ke lantai.

Prankkkkk

Sekar terkejut dan semakin memegang erat pena yang masih disembunyikannya. Piring berisi lauk dan pauk jatuh berserakan, susu putih membasahi lantai kamar, dan buah-buahan segar hancur dipijak kaki Ardan.

"Siapa yang menjamin makanan itu bebas dari racun atau obat penggugur kandungan?" sindir Sekar tajam. Perkataan Ardan tentang niatnya menyingkirkan bayinya membuat Sekar harus waspada dan membangun pertahanan agar Ardan tidak melancarkan niat jahatnya itu.

"Racun? Obat penggugur?" tanya Ardan lagi. Tersirat nada sinis di balik suaranya tadi.

"Iya, bukankah Tuan berniat menyingkirkan anak saya. Tuan sangat kejam dan saya yakin Tuan tidak akan berpikir dua kali untuk membuat saya kehilangan anak saya," entah kenapa Sekar berani menantang Ardan. Wajah Ardan yang tanpa ekspresi mulai kaku dan keras. Sekar tahu emosi Ardan semakin tersulut dengan ucapannya barusan.

"Argggg Sekar seharusnya kamu lebih sabar! Ingat sekarang dia sudah mengetahui tentang kehamilan ini dan bisa saja dia …." Napas Sekar tercekat membayangkan apa yang akan dilakukan Ardan pada bayinya.

Ardan kemudian jongkok dan memungut makanan yang jatuh tadi lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Ia mengunyah lalu menelannya seakan tidak takut dengan debu atau kotoran yang menempel.

"Kamu lihat? Saya sama sekali tidak mati setelah makan makanan ini. Saya memang membenci kamu tapi saya tidak akan membunuh kamu sekarang. Ada waktunya dan sebelum waktu itu datang, sebaiknya jangan pernah membuat saya marah. Saya tidak peduli kondisi kamu sedang hamil dan jika amarah saya tersulut …" Ardan mengambil pecahan kaca dan memegangnya dengan tangan kosong. Darah sedikit demi sedikit mulai mengalir dan membasahi lantai.

"Apa pun makanan yang disediakan atau apa pun pengobatan yang saya beri jangan pernah menolak. Bayi itu lebih penting dari apa pun, bayi itu butuh asupan gizi sampai waktu kelahirannya. Saya tidak akan memaafkan kamu jika bayi itu lahir dalam keadaan kurang gizi, paham!" setelah mengatakan itu Ardan keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kebiasaannya yang cukup membuat Sekar muak, bisa-bisa pintu kamar ini lepas jika dibanting keras setiap hari.

"Tunggu dulu …." Sekar mencoba mencerna perkataan Ardan barusan. "Aku tidak salah dengar, kan? Dia peduli dengan bayi ini? Bukankah dia berniat menyingkirkannya? Ya Tuhan, rencana apa lagi yang ada di kepalanya itu. Jangan bilang …" Sekar menggelengkan kepalanya untuk mengusir semua pikiran buruk yang tiba-tiba melintas.

"Tidak, aku tidak akan membiarkan Ardan membalas semua sakit hatinya dengan menyiksa bayi ini," ujar Sekar dalam hatinya sambil memegang perutnya yang mulai menunjukkan perubahan. Lilitan kain yang beberapa hari ini ia pakai cukup menyesakkan perutnya. Sekar sedikit merasa bersalah karena terpaksa menyembunyikan kehamilannya agar tidak diketahui Ardan.

"Arghhh semoga ini cepat berakhir!" rutuk Sekar dalam hati.

Pagi ini terasa berbeda dibandingkan hari-hari sebelumnya. Biasanya dua pengawal setia menunggu di depan pintu kamar tapi hari ini Sekar sama sekali tidak melihat mereka. Arjuna pun tidak menunjukkan batang hidungnya. Sekar melihat meja makan penuh dengan menu yang lumayan banyak. Ardan memberi perintah dengan gerakan tangannya agar Sekar mendekatinya.

"Makan," perintahnya sambil menyuruh Sekar untuk makan. Berhubung perut Sekar sangat lapar, ia pun mengikuti perintah Ardan dan berniat duduk di meja yang sama dengan Ardan. Baru akan menggeser kursi, tiba-tiba Sekar dikejutkan bunyi pukulan di meja makan.

"Lancang! Siapa yang mengizinkan kamu duduk semeja dengan saya," Sekar membuang napas dan kembali meletakkan kursi seperti semula. Sekar mengambil piring dan mengambil beberapa sendok nasi dan lauk pauk yang ada serta susu hangat. Ardan kembali melanjutkan sarapannya dan mengacuhkan Sekar yang tidak berhenti mengutuk Ardan.

Setelah mengambil sarapannya Sekar memilih duduk di lantai tanpa alas. Lantai ini terasa dingin dan berhubung perutnya lapar, Sekar mengacuhkan rasa dingin dan mulai menyantap makanan. Baru sesendok makanan masuk ke dalam mulut, tiba-tiba rasa mual yang sudah lama tidak Sekar rasakan kembali muncul. Sekar meletakkan piring di lantai dan berlari masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan makanan yang belum sempat masuk ke perutnya.

Cukup lama Sekar berusaha mengusir rasa mual di perut dengan mencoba mengeluarkan isinya walau yang keluar hanya air. Sekar kembali mengelus perutnya dan tersenyum pelan, "Kamu mulai nakal lagi ya sayang? Jangan ikut-ikutan dia ya nak. Jangan nakal dan membuat ibu kesusahan selama mengandung kamu. Cukup dia yang membuat kepala ibu sakit, kamu tidak perlu ikut-ikutan,"

Ehemmmm

Sekar langsung menoleh setelah mendengar dehaman dari arah belakangnya. Sekar memutar badannya dan melihat Ardan sedang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan memegang segelas air putih.

"Saya tidak mau minum," tolak Sekar dengan halus.

"Kamu tidak butuh tapi bayi itu membutuhkannya," Ardan mendekati Sekar dan memegang dagunya untuk membuka mulutnya. Ardan memaksa Sekar untuk minum air itu, upaya Sekar untuk melawan gagal total karena kaki Ardan mengapit tubuh Sekar.

Air dalam gelas tumpah dan membasahi dasternya. Ardan membanting gelas itu ke lantai dan meninggalkan kamar mandi dengan kesal, "Dengarkan dulu sebelum emosi membutakan mata Tuan," ujar Sekar dengan napas terengah-engah.

Ardan menghentikan langkahnya, "Saya tidak mau minum di sini. Minum di kamar mandi mengingatkan penyiksaan yang dulu Tuan lakukan kepada saya. Saya akan minum tapi tidak di sini." Sekar ingin berdiri tapi Ardan keburu menggendongnya.

"Kaca bisa melukai kaki kamu. Ibu hamil tidak boleh menginjak kaca, bayi itu tidak boleh terluka." Ardan membawa Sekar keluar dari kamar mandi. Ardan menurunkan Sekar dari gendongannya dan mengambil segelas air putih baru. Sekar langsung menghabiskan air yang diberi Ardan dan sengaja memperlihatkannya agar Ardan tidak mempermasalahkan lagi hal sepele seperti ini.

"Laki-laki yang berdiri di depanku ini terkadang seperti patung tapi ada saatnya dia hangat dan penuh perhatian. Arghhh! Hentikan Sekar! Sebaik apa pun perlakuannya, jangan pernah merasa simpati." Sekar berusaha menanamkan dalam benaknya kalau Ardan tidak layak diberi simpati.

"Saya mau tidur sampai sore. Meski pengawal dan Arjuna tidak ada di sini, jangan pernah berpikir untuk kabur. Sekali saja saya sampai tahu kamu berusaha untuk kabur, maka jangan salahkan kalau saya tidak akan segan-segan …." Ardan mendekati Sekar dan berbisik pelan di telinganya, "Membunuh bayi itu," ancamannya membuat Sekar tidak berkutik.

Sekar lalu mengangguk takut, kondisinya saat ini seperti makan buah simalakama. Patuh berarti membiarkan Ardan menyiksanya, melawan berarti mencelakai bayinya.

"Bagus," Ardan kembali mengacak rambut Sekar.

"Cih, wajah arogan dan sombongnya sangat menyebalkan. Dia pikir aku bisa kabur dalam kondisi rumah ini terkunci dengan rapat. Semua jendela ditutupnya dengan kayu dan pintu utama dikuncinya dengan rantai besi."

Sebelum masuk ke dalam kamarnya, Ardan kembali memutar tubuhnya. "Kita akan kedatangan tamu dalam beberapa hari ini. Saya harap kamu bisa patuh seperti tadi jika tamu itu sudah datang," ujar Ardan.

"Siapa? Siapa lagi yang Tuan bawa ke rumah ini," tanya Sekar.

"Tamu yang akan menjaga bayi itu setelah lahir," sambungnya. Setelah itu Ardan masuk kembali ke dalam kamarnya. Sekar masih sulit mencerna kata-kata Ardan yang terdengar rancu.

"Tamu akan datang untuk menjaga bayi ini? Buat apa? Ya ampun kenapa banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab dan dia pergi begitu saja! Dasar menyebalkan!" maki Sekar.

Rasa penasaran membuat Sekar mengetuk pintu kamar Ardan, "Tuan," panggil Sekar.

"Saya mau tidur!" bentak Ardan dari dalam.

"Siapa tamu itu dan kenapa Tuan menyuruhnya menjaga bayi saya," tanya Sekar lagi. Kali ini tidak ada bentakan seperti tadi.

Sekar masih menunggu dengan sabar apa jawabannya. Beberapa menit kemudian pintu terbuka, Sekar melihat Ardan memakai kimono handuk dengan penampilan acak-acakan. Rambutnya yang tadi rapi kini berantakan. Sekar membuang muka untuk menarik napasnya yang tiba-tiba terasa mencekat lehernya.

Kenapa aku malah memperhatikan penampilannya.

"Sepertinya kamu terlalu santai makanya berani mengganggu waktu tidur saya," Ardan mengarahkan tangannya dan memegang dagu Sekar. Cengkraman tangan Ardan keras dan mengintimidasi Sekar. Sekar ingin melepaskan tangan Ardan tapi ia berhasil menahannya.

"Saya hanya ingin tahu apa maksud Tuan," tanya Sekar lagi.

"Oke, untuk membungkam rasa ingin tahu kamu …." Ardan melepaskan tangannya dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ardan lalu duduk di kursi goyang lalu mengangkat tangannya dan memberi kode agar Sekar masuk ke dalam. Sekar menggeleng dan menolak perintah Ardan. Ardan kembali membuat gerakan dengan menunjuk kamar sebelah. Mau tidak mau Sekar pun masuk ke dalam kamarnya.

Kamar ini sangat kotor dan berantakan. Baju kotor dan bersih bercampur menjadi satu. Puntung-puntung rokok berserakan di lantai. Bahkan ada rokok yang masih menyala. Dinding kamar ini penuh dengan foto-foto Maudy. Sekar memang bukan pertama kali masuk ke kamar ini tapi Sekar baru sadar ternyata cinta Ardan ke Maudy sangat tulus. Terlihat dari caranya menatap Maudy di foto pernikahan mereka. Tatapan terhangat yang pernah Sekar lihat sejak mereka tinggah serumah.

"Apa yang Tuan inginkan?" tanya Sekar.

Next chapter