webnovel

Makan Malam Berdua

"Izinkan aku menghamili kamu, please,"

Mata Renata langsung melotot mendengar permintaan Pasha yang luar biasanya ini. Renata lalu berdiri dan berjalan mondar mandir sambil melihat wajah Pasha yang putus asa dan kalut.

"Oke, ini memang rencana aku tapi aku tidak menyangka kalau kamu benar-benar berpikir tentang rencana gila ini. Menghamili aku? Maksud kamu nantinya aku mengandung anak kamu lalu anak itu kita jadikan pengganti anak almarhum adik kamu?" tanya Renata. Pasha mengangguk lalu memasukkan beberapa potong es ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya.

"Menurut kamu itu jalan terbaik saat ini dan aku hanya menyampaikan keinginanku," balas Pasha. Renata membuang napasnya dan mengakui semua ini memang salahnya, maksud hati ingin memberi saran agar Pasha terbebas dari rasa bersalah tapi nyatanya saran itu kini berbalik menyekiknya.

"Iya, tapi kan maksud aku …" Renata ingin menolak tapi Pasha langsung mendekatinya lalu memegang tangannya dengan wajah penuh harap dan mengiba.

"Hanya kamu satu-satunya wanita yang bisa aku minta tolong dalam kondisi seperti ini. Aku tidak mau mencari wanita yang tidak aku kenal dan tidak jelas asal usulnya. Ini masalah masa depan anak aku kelak," ucapan Pasha barusan membuat Renata membuang napasnya.

"Tapi kamu juga tidak mengenalku Pasha, aku berbohong tentang siapa aku dan kenapa aku bersembunyi di sini," balas Renata dalam hati.

"Tapi aku tidak mau punya anak di luar nikah. Aku juga tidak mungkin berhubungan sexual dengan kamu tanpa ikatan. Itu dosa besar dan aku tidak mau menambah dosaku yang sudah banyak ini," Renata mencoba mengelak dan memberi alasan kenapa ia tidak bisa menerima tawaran Pash.

Pasha sekali lagi menjambak rambutnya, "Kamu benar Maureen, ide tadi benar-benar gila dan tidak mungkin kita lakukan. Menikah adalah ibadah dan kita tidak boleh mempermainkannya," Pasha pun setuju dengan alasan yang dikemukakan Renata.

Pasha sangat menyayangi ibunya dan tidak mau kehilangan lagi keluarga satu-satunya yang masih ada. Pasha menatap Renata dan keputusannya sudah bulat, ia akan melakukan apa pun untuk membahagiakan ibunya termasuk menikahi Renata demi menghadirkan bayi untuk menjadi obat kesembuhan ibunya.

"Menikahlah denganku Maureen," Renata menutup mulutnya saking shock mendengar lamaran teraneh yang pernah ia dengar. Tidak ada bunga, cincin, atau laki-laki sedang bertekuk lulut. Posisi Pasha sedang duduk di sofa dengan rambut berantakan dan mata merah sedangkan Renata sedang berdiri agak jauh dari posisi Pasha.

"Kamu kayaknya butuh mandi deh. Minuman beralkohol membuat otak kamu konslet," Renata menggelengkan kepalanya dan memilih masuk ke dalam kamarnya dan mengacuhkan Pasha yang menurutnya benar-benar sedang tidak waras.

Renata menutup pintu dan menguncinya dari dalam agar Pasha tidak masuk atau melakukan hal gila karena penolakannya tadi, "Sepertinya besok aku harus pergi dari sini, semakin lama aku bersembunyi di sini posisiku semakin tersudut," ujar Renata dalam hati.

Ardan akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta setelah usia Alleia menginjak satu bulan dan kesehatan Sekar semakin membaik. Ardan memutuskan tinggal di sebuah apartemen dan merahasiakan kepulangan mereka dari siapa pun termasuk dari Ibu Marinka dan Tuan Felix. Pengawasan Ardan terhadap Sekar masih sama seperti saat mereka tinggal di desa terpencil. Sekar dilarang keluar kecuali jika Ardan ikut bersamanya, tentu dengan pengawalan Arjuna dan Nimas yang selalu setia menjaga Alleia.

"Sarapan dulu Mbak," ajak Nimas pelan agar tidak mengganggu Alleia. Sekar memasang kembali kancing kemejanya dan meletakkan Alleia yang tertidur pulas setelah disusui di dalam box bayinya.

"Mbak malas kalau dia ada di meja makan," balas Sekar masih kesal dengan kediktatoran Ardan. Sekar mengingat pertengkaran mereka tadi malam tentang pola pengasuhan Alleia yang menurut Sekar tidak baik. Ardan terlalu memanjakan Alleia dengan barang-barang mahal dan Sekar tidak suka Ardan melakukan hal itu.

"Tapi …"

"Mbak pasti sarapan tapi setelah dia pergi saja," balas Sekar. Nimas membuang napasnya dan akhirnya keluar dari kamar dan melihat Ardan sedang santai membaca koran di meja makan.

"Mbak Sekar bilang …" Ardan melipat koran dan melihat Nimas dengan tatapan tajam. Nimas tahu arti tatapan itu dan ia kembali membuka pintu kamar Sekar.

"Mbak harus sarapan sekarang juga, please." Nimas membuat gerakan memohon dengan kedua tangannya yang dikatupkan. Sekar mendengus dan menebak kalau Nimas pun diancam Ardan agar memaksanya untuk ikut sarapan semeja dengan Ardan.

"Selalu bersikap seenaknya! Mana pernah dia bertanya apa kemauan kita, kok bisa ya ada manusia seperti dia," maki Sekar sengaja dengan suara lantang agar Ardan mendengar kekesalannya. Sekar lalu duduk di kursi yang saling berhadapan dengan Ardan dan mengambil sepotong roti bakar lalu mengolesnya dengan kesal.

"Arjuna," panggil Ardan sambil menuangkan susu ke dalam gelasnya.

"Tuan butuh apa?" tanya Arjuna.

"Tolong kamu beritahu Nyonya kalau ibu menyusui itu tidak boleh terlambat sarapan. Jangan hanya memikirkan diri sendiri, ingat kalau sekarang Alleia butuh ASI yang banyak dan ASI tidak akan cukup hanya dengan memakan roti bakar," ujar Ardan.

"Tapi Tuan bisa memberi tahu Nyonya langsung. Nyonya duduk kok di depan Tuan," Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ardan menatap Arjuna dan tidak ingin dibantah saat ini, Sekar masa bodoh dan tetap menyantap roti bakarnya.

"Baik Tuan," Arjuna lalu melihat ke arah Sekar, "Nyonya, Tuan bilang kalau roti bakar tidak akan mengeyangkan. Sebaiknya Nyonya menyantap menu lain yang dipersiapkan Nimas," sambung Arjuna.

"Nimas," panggil Sekar.

"Ya Mbak,"

"Tolong beritahu Mas kamu kalau roti bakar itu mengenyangkan dan cukup menghasilkan ASI yang melimpah. Tolong berhenti bersikap arogan dan egois. Mbak tahu kok apa yang dibutuhkan Alleia dan Mbak nggak suka dia terlalu memanjakan Alleia dengan barang mewah," ujar Sekar kembali membahas pertengkaran mereka tadi malam. Nimas pun ikut menggaruk kepalanya dan melihat ke arah Arjuna. Arjuna mengangkat bahunya dan bingung menghadapi Ardan dan Sekar yang sama-sama labil dan kekanakan.

"Mas, kata Mbak Sekar roti bakar cukup mengenyangkan dan Alleia tidak akan kekurangan ASI. Mbak Sekar juga bilang kalau Mas jangan bersikap arogan dan egois, terus jangan terlalu memanjakan Alleia dengan barang mewah, terus …" Nimas menutup mulutnya saat Ardan memelototkan matanya.

"Arjuna,"

"Ya Tuan, saya harus sampaikan apa lagi?" Arjuna pun balas menyindir Ardan.

"Tolong beritahu Nyonya kamu. Apa salah seorang ayah memanjakan putri kecilnya? Toh saya mampu dan tidak merugikan siapa pun,"

"Nyonya, Tuan bertanya apakah salah seorang ayah memanjakan putri kecilnya?"

"Nimas,"

"Ya Mbak," jawab Nimas lesu.

"Masalahnya Alleia masih terlalu kecil untuk tahu apa itu barang mewah,"

"Mas, kata Mbak Sekar kalau Alleia itu masih kecil jadi belum mengerti … aduh kalian berhenti bertengkar ya, kami berdua jadi pusing nih."

"Arjuna,"

"Ya Tuan,"

"Tolong sampaikan ke Nyonya kalau hari ini saya akan membawanya makan malam berdua. Jangan lupa dandan yang cantik dan jangan permalukan saya," Ardan meletakkan korannya dan meninggalkan meja makan untuk melihat Alleia. Sekar berhenti mengunyah roti bakarnya setelah mendengar ucapan Ardan.

"Dia kenapa sih, aneh banget!" gerutu Sekar.

"Maaf ya Mbak, tapi kami berdua lihat bukan hanya Mas Ardan yang aneh tapi Mbak juga aneh. Duduk berdekatan, saling hadap-hadapan tapi membutuhkan kami sebagai penyambung lidah, kami kan capek jadi penengah suami istri yang lagi bertengkar," ujar Nimas kesal.

"Mbak lagi malas ngomong sama manusia batu seperti dia," Sekar meminum susunya dan kembali ke dalam kamarnya. Sekar melihat Ardan sedang menatap Alleia tanpa berkedip, Sekar lalu duduk di depa meja rias dan memoleskan pelembab di wajahnya.

"Alleia baru tidur jangan ganggu dia," ujar Sekar saat melihat Ardan ingin menyentuh pipi gembil Alleia.

"Akhirnya Nyonya mau bicara dengan suaminya,"

"Oh tentu tidak, aku hanya memberi tahu nyamuk agar jangan mengganggu Alleia," balas Sekar tidak mau kalah. Ardan yang tadinya kesal langsung tertawa walau hanya sebentar. Untungnya Sekar tidak mendengar tawa itu.

"Batalkan makan malam itu, aku tidak mau pergi dan meninggalkan Alleia sendirian." Ardan memutar kepalanya dan melihat Sekar sedang melihatnya melalui cermin meja rias. Ardan lalu menggendong Alleia dan membawanya keluar lalu menyerahkan Alleia ke tangan Nimas.

"Tolong kalian bawa Alleia sejauh mungkin agar tidak mendengar pertengkaran kami," ujar Ardan. Nimas mengambil Alleia dan melihat ke Arjuna, seharusnya hari ini mereka melaksanakan janji yang belum sempat mereka lakukan. Janji tentang ajakan Arjuna untuk piknik.

"Tapi Mas …"

"Anggap saja kalian belajar jadi orang tua," balas Ardan. Nimas dan Arjuna terpaksa membawa Alleia bersama mereka.

"Ah, anggap saja Alleia tameng agar dia tidak berani berbuat macam-macam nanti," ujar Nimas.

Setelah kepergian Nimas dan Arjuna barulah Ardan kembali ke dalam kamarnya. Sekar masih melihatanya dengan wajah marah, "Buat apa kamu bawa Alleia keluar, dia itu sedang tidur." Amarah Sekar semakin memuncak.

"Sesuai janji yang pernah kita buat dulu kalau kita ingin bertengkar, berteriak, memaki, atau pun hal buruk lainnya sebaiknya Alleia dibawa sejauh mungkin. Masih ingat janji itu?" ujar Ardan mencoba membuat Sekar mengingat janji mereka.

"Kamu benar-benar menyebalkan!" maki Sekar.

"Dandan yang cantik atau aku yang akan dandani," ancam Ardan. Hari ini Ardan sengaja mempersiapkan semuanya, walau caranya salah tapi Ardan tidak tahu bagaimana cara membujuk wanita selain dengan ancaman.

"Kenapa kamu selalu seenaknya. Lagi pula buat apa makan di luar, sedangkan di sini juga bisa, Alleia tidak perlu ditinggal demi kesenangan kamu sendiri," oceh Sekar dengan kesal.

"Hari ini aku ulang tahun dan selama ini tidak ada satu pun orang yang mengingatnya," Ardan melunakkan suaranya dan tertawa miris. Selama ini ia acuh tentang ulang tahun atau pun hal-hal sepele seperti itu, tapi sejak mengenal Sekar perlahan demi perlahan Ardan ingin merasakan apa yang orang lain rasakan.

Sekar tidak lagi melawan atau memancing pertengkaran. Sekar membuang napasnya, "Merayakan ulang tahu tidak perlu di restoran mewah. Makan bersama-sama lebih baik daripada berdua,"

"Kamu terlalu lugu Sekar. Aku hanya ingin menghabiskan malam ulang tahunku bersama kamu, tidak kah kamu paham artinya?" tanya Ardan.

Next chapter