3 Kesepakatan Dengan Ibu Marinka

Ardan sedikit kaget mendengar permintaan Ibu Marinka untuk menikah. Ia mencoba menilai apakah Ibu Marinka memintanya untuk menikah tulus dari hatinya atau ada tujuan lain. Sejak awal Ardan memang tidak terlalu dekat dengan Ibu Marinka. Bukan karena benci tapi ia ingin membangun batas pemisah agar kelak tidak merasakan sakit lagi.

"Ibu serius. Sudah waktunya kamu menikah," ujar Ibu Marinka sekali lagi. Ardan tertawa sinis dan ingin membantah ucapan Ibu Marinka, tapi ia sadar jika ada orang asing seruangan dengan dirinya dan Ibu Marinka.

"Kita akan melanjutkan pembicaraan ini setelah wanita itu keluar dari ruangan ini." Kata-kata Ardan sangat mengintimidasi dan membuat bulu kuduk Sekar berdiri. Ia pun memutuskan untuk berdiri dan menundukkan wajahnya sambil meminta izin untuk pergi. Entah kenapa ia merasa tidak nyaman berada di dekat Ardan.

Setelah pintu ditutup Ardan kembali menatap Ibu Marinka dan mencoba membaca apa yang sedang dipikirkan Ibu Marinka. Tidak ada tanda-tanda Ibu Marinka menyusun rencana jahat dan pikiran-pikiran buruk lainnya. Ardan lalu duduk dan menyilangkan kakinya sambil mengeluarkan sebatang rokok lalu menghisapnya. Ia tidak peduli dengan tulisan No Smoking yang terpampang dengan jelas di dinding ruangan ini.

"Menikah?Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal itu. Kenapa Ibu bersusah payah mengatur wanita untuk aku nikahi?" tanya Ardan. Ibu Marinka tersenyum dan memegang tangan Ardan walau dalam hitungan detik Ardan langsung menghalaunya.

"Ibu hanya ingin kamu berubah. Mungkin dengan menikah kamu bisa hidup lebih baik dan melupakan masa lalu." Ardan akhirnya paham satu hal. Ibu Marinka sengaja melakukan ini untuk membuatnya jadi lebih baik, tapi Ardan bukanlah orang bodoh yang mau begitu saja menuruti keinginan orang lain tanpa embel-embel di belakangnya.

"Oke, aku akan menuruti keinginan Ibu untuk menikah tapi carikan aku wanita yang bisa dijadikan budak. Jika ada aku akan langsung menikahinya, deal?"

Ibu Marinka sedikit kaget mendengar keinginan Ardan yang aneh tadi, "Budak? Ya ampun Ardan," ujarnya sambil menutup mulut saking tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Is it deal or not?" tawar Ardan sekali lagi. Hanya ini satu-satunya cara menolak keinginan Ibu Marinka. Tidak ada satu wanita pun yang mau dijadikan budak dan lambat laun Ibu Marinka akan berhenti merecokinya dengan permintaan untuk menikah.

"Deal," balas Ibu Marinka dengan yakin. Walau ia harus mencari wanita yang mau dijadikan budak dan itu bukan pekerjaan yang gampang.

Sekar sedikit tidak enak mengganggu Maudy yang terlihat lelah, tapi ia ingin berbagi kebahagiaan dan memberi tahu Maudy kalo ia sudah menemukan pekerjaan walau hanya sebagai pelayan restoran.

"Mbak sibuk?" tanya Sekar pelan sambil membuka pintu kamar kos Maudy. Maudy tersenyum dan menyuruh Sekar untuk masuk.

"Nggak kok, masuk saja." Sekar pun masuk dan duduk di samping Maudy. Ia memijat pelan kaki Maudy meski Maudy terus menolak dengan alasan kakinya bau atau ia tidak membutuhkan pijatan saat ini tapi Sekar tahu kalau Maudy butuh pijatan untuk menghilangkan rasa lelah di kakinya.

"Aku sudah dapat pekerjaan. Jadi Mbak nggak perlu bersusah payah banting tulang dari pagi sampai malam. Aku nggak mau Mbak sakit demi menghidupi kita berdua." Maudy tersenyum dan menggeleng pelan. Ia kerja banting tulang tidak saja untuk Sekar tapi juga keluarganya di kampung, terutama untuk ibunya yang selalu merongrong dan memaksanya menghasilkan uang yang banyak.

"Mbak kerja tidak saja untuk kamu tapi juga ibu dan adik Mbak di kampung. Mereka butuh uang yang banyak untuk tetap bertahan hidup. Jadi jangan pernah merasa bersalah. Mbak senang akhirnya kamu dapat pekerjaan. Kerja yang rajin dan jangan lupa gaji pertama traktir Mbak makan." Sekar mengangguk dan memeluk Maudy dengan erat. Ia beruntung mempunyai teman sebaik Maudy dan Sekar berjanji akan melakukan apapun untuk membalas kebaikan Maudy.

Setelah Sekar keluar dari kamarnya, Maudy mengambil ponsel dari dalam tasnya dan klien berikutnya ternyata sudah menunggu malam ini. Maudy membuang napas dalam-dalam dan menatap langit kamarnya.

"Kenapa hidupku bisa jadi seperti ini. Tubuh ini sudah kotor dan terjamah banyak laki-laki demi uang dan uang. Sampai kapan hidupku seperti ini, Tuhan?" Maudy menghapus air matanya yang tiba-tiba jatuh. Ia sangat ingin keluar dari dunia lendir ini. Menghapus nama Bianca Rose dari hidupnya dan memulai hidup baru dengan keluarga kecilnya, tapi ia sadar itu hanya akan jadi mimpi di siang bolong.

 'Drtt drtt'

Madam Chloe : Temui saya besok malam di hotel Borobudur. Ada tamu penting ingin memakai jasa kamu.

Me : Bisakah ditunda Madam? Aku sangat kelelahan lagi pula besok waktunya aku libur.

Madam Chloe : Madam nggak suka penolakan, Bianca Rose.

Maudy kembali menghela napas, rasanya tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan lagi tapi jika sudah menyangkut perintah dari Madam Chloe berarti ia tidak bisa menolak apalagi membantah jika ingin tetap eksis di dunia ini. Madam Chloe tidak saja germo tapi juga pengawasnya. Jika Madam Chloe sudah marah bisa dipastikan sebentar lagi Bianca Rose hanya akan menjadi pelacur murahan.

Ibu Marinka sibuk mengatur menu untuk hari ini saat Sekar datang menyapanya. Ibu Marinka melirik jam di dinding dan kaget melihat Sekar sudah datang sepagi ini. Sekar merasa tidak enak jika telat di hari pertama kerja, makanya jam enam pagi ia sudah berangkat dari kos dan jam segini sudah ada di restoran yang masih belum buka.

"Wah kamu kepagian loh. Restoran ini baru buka jam sembilan."

"Saya takut telat, Bu. Maklum suka macet jam-jam segini," balas Sekar sambil tertawa pelan. Ibu Marinka pun ikut tertawa dan meminta Sekar membantunya menyusun menu untuk hari ini. Sekar dengan telaten mendengar setiap penjelasan yang diberikan Ibu Marinka.

"Tidak salah saya menerima kamu sebagai karyawan. Kamu sangat pintar dan tanggap setiap saya memberi penjelasan. Nah sekarang saya akan meminta kepala koki mengajarkan kamu mengingat menu-menu yang ada di restoran ini." Ibu Marinka mengajak Sekar menuju dapur untuk diperkenalkan dengan Pasha, kepala koki kepercayaannya.

"Pasha," panggil Ibu Marinka. Pasha menoleh dan menghentikan kegiatannya lalu menghampiri Ibu Mariska.

Ia melihat Sekar sekilas lalu menyapa Ibu Marinka dengan sopan, "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Pasha dengan sopan.

"Ibu mau kamu mengajarkan apa-apa saja menu restoran ke pelayan baru kita, namanya Sekar." Ibu Marinka memperkenalkan Sekar. Sekar menjulurkan tangannya dan dibalas Pasha dengan ramah. Ia tersenyum dan entah kenapa Sekar langsung salah tingkah melihat senyum Pasha ke dirinya.

"Baik Bu. Ayo Sekar," ajak Pasha. Sekar pun mengikuti Pasha ke dalam dapur dan mulai belajar nama-nama menu dan segala tetek bengek yang perlu ia ketahui. Pasha pun senang Sekar bisa menangkap ucapannya dengan cepat. Tidak butuh waktu lama untuk bisa membuat Sekar hafal dan tahu menu-menu restoran ini.

"Haus?" tanya Pasha. Sekar mengangguk dan Pasha pun menjulurkan sekaleng minuman dingin untuk Sekar.

"Terima kasih Mas," balas Sekar. Pasha lalu duduk di samping Sekar dan ingin bertanya satu hal penting.

"Kamu sangat pintar tapi kenapa memilih kerja sebagai pelayan restoran?" tanya Pasha.

"Karena hanya ini tempat yang mau menerima jasa saya. Kepintaran hanya bisa dipakai di sekolah atau kampus Mas," jawab Sekar pelan. Pasha mengangguk tanda mengerti dan menyesap kembali minumannya.

Cukup lama mereka diam dengan saling menatap satu sama lainnya. Suasana sedikit canggung dan Sekar merasa tidak enak mengganggu waktu kerja Pasha. Ia pun memutuskan berdiri dan melakukan tugas lainnya.

"Dia sangat cantik," ujar Pasha pelan sambil memerhatikan setiap gerak-gerik Sekar dari kejauhan. Saat akan kembali ke dapur tiba-tiba ponsel Pasha berdering, ia melihat nama yang beberapa hari ini ia hindari muncul lagi di layar ponselnya.

Bianca Rose.

Maudy masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya sejak tadi di depan Lobby hotel. Andai ia tidak ingat janjinya untuk bertemu Madam Chloe mungkin ia tidak akan meminta bantuan Pasha untuk menjemputnya. Pasha dulu pernah menjadi kliennya dan sejak itu hubungan mereka tidak saja sekedar pelacur dan klien tapi juga sahabat. Tidak jarang Maudy meminta Pasha menjemputnya atau menemaninya saat pikiran mulai suntuk.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Pasha setelah melihat Maudy hanya memakai kimono handuk saat keluar dari hotel. Maudy menghapus lipstick merah di bibir dan mengambil kaos yang selalu ada di bangku belakang mobil Pasha.

"Yeahhh, suasana sedikit kacau saat istri laki-laki tua itu datang dan memergoki kami. Gue sudah biasa kayak gitu, jadi lo nggak perlu khawatir. Gue bisa kok mengatasinya," balas Maudy pelan. Pasha hanya bisa membuang napasnya dan mengutuk kebodohannya yang tidak bisa menolak setiap Maudy meminta bantuannya, padahal sudah beberapa hari ini ia bertekad menjauhi Maudy tapi pertahanannya runtuh saat ia membaca SMS yang dikirim Maudy.

"Lo kapan berhenti jadi pelacur? Gue takut elo semakin jauh melangkah masuk ke dunia kelam ini. Sudah seharusnya elo hidup lebih baik lagi. Menjadi pelacur hanya akan merusak diri lo sendiri," ujar Pasha. Maudy membuka kimononya dan memasang kaos serta hotpants tadi. Ia tidak peduli disebelahnya ada Pasha. Ia sudah biasa melakukan itu sejak menjalin persahabatan dengan Pasha.

"Sampai ada laki-laki rela membuang uangnya untuk membeli gue. Saat itu juga gue akan meninggalkan dunia kelam ini dan mulai hidup baru," balas Maudy. Pasha membuang napasnya lagi.

"Berapa? Satu Milyar, dua Milyar atau …." Maudy tertawa mendengar tawaran Pasha lalu menepuk pelan pundak Pasha dengan tangannya.

"Dan laki-laki itu bukan elo, Pasha. Gue tahu duit lo banyak tapi gue nggak mau hidup lo hancur. Elo seharusnya bisa dapat wanita suci dan baik. Bukan gue yang tubuhnya saja sudah terjamah banyak laki-laki," tolak Maudy. Pasha memilih diam dan menekan pedal gasnya lebih dalam.

"Sekarang kita ke mana, pulang atau ada klien lagi?" tanya Pasha.

"Hotel Borobudur, please." Pasha pun memutar mobilnya dan mencengkram erat stir mobilnya untuk menahan rasa kesal. Maudy pun berharap pertemuannya dengan Madam Chloe tidak berakhir ricuh seperti beberapa bulan yang lalu, walau Madam Chloe menjaganya tapi ada saatnya Maudy merasa tidak nyaman jika berada di dekatnya.

avataravatar
Next chapter