webnovel

Jatidiri

"Wah keasyikan ngobrol kita sampai lupa kalo hari sudah sore. Kita harus segera pulang kalau tidak Tuan dan Nyonya bisa curiga. Bandung - Jakarta jaraknya memakan waktu cukup lama," Alleia mengangguk dan kembali naik ke motor Galang. Alleia puas setelah seharian menghabiskan waktu bersama Galang. Alleia mulai memeluk pinggang Galang.

"Hati-hati kak," ujar Alleia yang sedikit khawatir. Alleia berharap bisa sampai ke rumah tepat waktu dan tanpa ada masalah jika mau meneruskan hubunganmya dengan Galang atau ia harus siap putus dan berpisah saat itu juga jika sampai kedua orangtuanya mengetahui hubungan mereka.

Sayangnya harapan Alleia untuk pulang terganjal cuaca, hujan turun sangat lebat dan membuat beberapa pohon tumbang menimpa beberapa mobil dan menutup akses menuju Jakarta.

"Kak bagaimana ini?" tanya Alleia dengan khawatir sambil melihat jam yang ada di tangannya. Dinginnya air hujan yang membasahi tubuhnya tidak dipedulikannya, yang Alleia inginkan mereka harus tiba di rumah sebelum jam jatah keluar malamnya tiba.

"Kita tunggu polisi membersihkan pohon-pohon itu, kamu sabar ya kakak yakin sebentar lagi pohon-pohon itu juga selesai dipindahkan," balas Galang agar Alleia tidak ikutan panik seperti dirinya. Beberapa kali Galang bertanya kepada pekerja dan jawaban mereka masih sama jalan baru akan dibuka jika pohon dan mobil yang rusak bisa dipindahkan. Waktu seakan cepat berlalu dan tinggal satu jam lagi batas waktu keluar malam Alleia.

"Kak aku kedinginan," Galang melihat Alleia pucat dan kedinginan sambil menyatukan tangannya. Galang semakin bingung dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Membawa Alleia menginap di hotel tentu tidak mungkin tapi membiarkan Alleia kedinginan seperti ini juga tidak mungkin.

"Sabar ya, kakak sedang pikirkan jalan supaya kita pulang tepat waktu," Alleia menggelengkan kepalanya tanda pesimis jika mereka bisa pulang tepat waktu sedangkan jalan belum menunjukkan tanda-tanda akan dibuka.

"Nggak keburu kak ... dari sini ke Jakarta saja menghabiskan waktu paling cepat satu jam, lebih baik kita berteduh aku nggak kuat kak ... dingin ... hachimmmm," Galang yang iba melihat Alleia bersin-bersin dan menggigil langsung membawa Alleia menuju tempat mereka bisa berteduh. Galang melihat mesjid di ujung jalan dan mereka berlari menuju mesjid untuk berteduh sampai hujan reda.

"Sementara kita berteduh di sini," Alleia mengangguk dan mengikuti Galang masuk ke dalam mesjid. Alleia semakin mencintai Galang karena sikap tulusnya, jika laki-laki lain akan memanfaatkan keadaan dengan membawa pacarnya ke hotel dan pasti berakhir melakukan perbuatan dilarang agama sedangkan Galang malah membawanya ke mesjid.

"Galang akan menjadi imam yang baik bagi istrinya kelak, dan aku ingin menjadi istrinya... aku nggak bisa melepaskan Galang," ujar Alleia dalam hatinya.

"Kak.."

"Hmmmm, kamu masih kedinginan?" tanya Galang sedikit khawatir. Alleia menggelengkan kepalanya dan menatap mata Galang dengan tatapan memuja.

"Kakak cinta akukan?"

"Hahaha itu lagi itu lagi ... kamu sudah tahu apa jawaban kakak," jawab Galang.

"Kalau begitu aku mau kakak jadi suami aku dan jadi imam aku dan jadi ayah anak-anak kita kelak," kata Alleia dengan penuh keyakinan bahkan bola mata memancarkan harapan jika keinginannya diterima Galang.

Galang langsung tertawa dan menjentik kening Alleia dengan jarinya.

"Kamu kebanyakan nonton drama korea, mikir kok sampai sejauh itu."

"Yeeee aku serius kak! Aku mau kakak lamar aku ke ayah atau aku nangis nih!" ancam Alleia. Galang semakin tertawa dan menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Jangan bahas itu lagi dan kakak nggak suka kamu ngomong tentang pernikahan saat usia kamu saja masih muda," ujar Galang dengan mimik serius. Alleia hanya bisa mengerucutkan bibirnya mendengar penolakan Galang.

"Lihat saja, kakak pasti akan melamarku dalam waktu dekat atau jangan panggil namaku Alleia Sakara Mahesa," ujar Alleia dalam hati.

"Untuk apa lagi Oma menyuruhku ke sini?" tanya Galih sesampainya ia di rumah Ibu Marinka. Ibu Marinka mempersilakan Galih duduk dan tersenyum licik, ada yang ingin ia tanyakan tentang perkembangan rencana jahatnya.

"Menurut info yang Oma dengar kedudukan kamu di perusahaan dibagi dengan anak angkat Ardan? Betul begitu?" tanya Ibu Marinka.

"Shit!" maki Galih dalam hati.

Galih mencoba untuk tetap tenang agar Ibu Marinka tidak curiga ia dan Daniel sedang bekerja sama, "Ya, ayah punya hati seluas samudera dan mengangkat dua anak untuk dijadikan anak adopsi. Oma tenang saja, anak itu tidak akan berani mengambil porsi yang lebih besar dari anak kandung ayah," ujar Galih.

"Walau hanya anak adopsi tapi Oma yakin dia punya niat menguasai seluruh kekayaan keluarga Mahesa," balas Ibu Marinka.

"Cih, dia pikir semua orang mata duitan seperti dia. Daniel bukan orang seperti itu dan jangan samakan semua orang dengan Oma," ujar Galih dalam hati.

"Oma tenang saja,"

Ibu Marinka menggelengkan kepalanya dan mengeluarkan sebuah botol dari dalam saku celananya, "Kamu teteskan racun ini setiap hari di makanan anak itu dan dalam waktu satu bulan dia akan mati," ujar Ibu Marinka. Galih langsung shock dan tidak menyangka Ibu Marinka akan bertindak sejauh itu.

"Ambil racun itu agar saya yakin kamu di pihak saya," ujar Ibu Marinka sengaja menguji Galih kesetiaan Galih.

Tanpa pikir panjang Galih mengambil racun itu dan menyimpannya dalam saku celananya. Ibu Marinka tersenyum dan menepuk tangannya.

"Kamu ternyata ambisius Daniel,"

"Berkat Oma," jawab Galih agar Ibu Marinka semakin mempercayainya.

Setelah berbincang tentang rencana mereka barulah Ibu Marinka mengizinkan Galih untuk pulang. Galih mendengus dan mengeluarkan botol racun dari saku celananya lalu membuang botol itu ke got di depan rumah Ibu Marinka.

Galih lalu memasang kaca mata hitamnya dan ingin kembali ke kantor sebelum Ardan datang untuk inspeksi siang nanti.

"Astaga!" Galih shock melihat Arjuna berdiri di depan mobilnya. Tubuhnya bergetar hebat dan peluh mulai membasahi keningnya, Galih membuka kacamatanya dan menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Pa ... paman kenapa bisa ada di sini?" tanya Galih dengan suara terbata-bata.

"Bisa bicara?" tanya Arjuna dengan tenang.

"Nanti saja Paman ... ayah mau inspeksi dan aku harus segera ke kantor," Galih ingin menutup kaca mobilnya tapi dihalangi Arjuna.

"Bisa bicara SEKARANG?" tanya Arjuna sekali lagi dengan sengaja mempertegas kata sekarang.

Mau tidak mau Galih akhirnya mengangguk dan Arjuna lalu masuk ke dalam mobil Galih. Suasana cukup canggung dan Galih mengambil ponselnya untuk memberi tahu Daniel.

To : Daniel

"SOS bro!"

"Ajak sekalian sekutu kamu," ujar Arjuna pelan tapi cukup membuat Galih kehilangan kata-kata.

Galih mencoba tetap tenang tapi Arjuna menatapnya tajam, "Hubungi sekutu kamu dan ajak dia ikut bersama kita ... Biyandra," ujar Arjuna sengaja memanggil Galih dengan nama aslinya.

Lidah Galih langsung kelu dan ia mencoba mencerna maksud ucapan Arjuna, "Tenang ... Paman Arjuna pasti sudah tahu tentang jati diriku," ujar Galih dalam hati.

Drtt drtt

"Ada apa bro? Gue lagi di dokter kandungan sama Jessy,"

"Temui gue di restoran Marcopollo sekarang,"

"Nggak bisa sekarang bro, Jessy mau cek kandungannya,"

"SEKARANG OON! PAMAN ARJUNA TAHU TENTANG JATI DIRI GUE!"

Galih melirik ke arah Arjuna dan kembali fokus dengan reaksi Daniel.

"Oke, gue ke sana ..."

Daniel mematikan ponselnya dan melihat Jessy dengan wajah bersalah.

"Ada apa?" tanya Jessy.

"Aku harus pergi menemui Galih sekarang juga. Paman Arjuna akhirnya tahu tentang jatidiri Galih, maaf ya aku tidak bisa menemani kamu cek kandungan," Jessy menggelengkan kepalanya dan memegang tangan Daniel.

"Aku nggak apa-apa ... selesaikan dulu masalah kamu,"

"Baby, papa pergi dulu dan kamu harus sehat di rahim mama oke!" Daniel mengelus perut Jessy sebelum pergi menuju restoran Marcopollo.

Daniel, Galih, dan Arjuna masih diam dan tidak tahu harus memulai percakapan tentang rahasia yang mereka simpan di depan Arjuna.

"Paman tahu dari siapa?" tanya Galih. Ia memutuskan membuka percakapan agar rasa ingin tahunya terjawab.

"Kalian tidak perlu tahu darimana Paman tahu tentang rahasia itu tapi yang Paman ingin tahu kenapa kalian diam dan tidak memberi tahu ayah atau ibu tentang penipuan Ibu Marinka," ujar Arjuna masih tidak habis pikir alasan Galih dan Daniel menutupi jati diri mereka.

"Apa tujuan kamu memakai identitas Biyandra? Atas perintah Ibu Marinka? Atau kamu sengaja agar bisa mengeruk harta keluarga Mahesa?" Arjuna sengaja memberikan pertanyaan bertubi-tubi kepada Daniel.

"Aku ..."

"Aku yang menyuruhnya untuk diam," sela Galih. Daniel langsung diam mendengar selaan Galih.

"Kenapa kamu tidak memberi tahu dunia kalau kamu itu Biyandra bukan Galih?" tanya Arjuna sekali lagi.

"Karena aku tidak mau," jawab Galih.

Arjuna melihat Galih untuk membaca isi hatinya dan Arjuna bisa pastikan Galih jujur saat mengatakannya.

"Kenapa?"

"Karena aku tidak mau jadi Biyandra," balas Galih.

"Oke, Paman masih mencoba mencerna semua ini. Kamu tahu tentang Galih itu Biyandra asli tapi kamu menutupinya dan bersikap seolah kamu lah Biyandra karena Galih yang menyuruh, benar?" tanya Arjuna ke Daniel. Daniel mengangguk dan meminum jus jeruknya sampai habis karena tenggorokannya kering.

"Oke, dan alasan kamu diam karena kamu tidak mau menyandang nama Biyandra, betul?" tanya Arjuna sekali lagi.

"Betul," jawab Galih singkat.

"Kenapa? Seharusnya kamu jujur dan tidak menutupi dari ayah dan ibumu, mereka ..." Galih mengangkat tangannya agar Arjuna berhenti bicara.

"Alasan aku tetap tinggal di rumah itu karena ayah. Keberadaanku di rumah itu karena aku sangat menyayangi ayah dan Paman tahu? Aku berusaha menahan amarah dan muak saat wanita itu bersikap selayaknya ibu yang baik," Galih tertawa miris.

"Maksud kamu?"

"Aku benci wanita yang hanya bisa melahirkan tanpa mau bertanggung jawab. Aku benci wanita yang tega membuang anak yang tidak dia inginkan, aku benci karena dia aku harus mengalami ini!" Galih membuka bajunya dan menunjukkan bekas pukulan, cakaran, dan sudutan rokok di badannya.

"Tahu apa kamu tentang masa lalu Nyonya Sekar?" bela Arjuna dengan nada tinggi.

Next chapter