37 Inikah Saatnya Kebenaran Terbuka?

Debaran jantung Sekar semakin kencang dan perasaannya semakin tidak enak. Beberapa kali Sekar mencoba untuk tetap tenang agar kandungannya baik-baik saja dengan membuang napasnya berulang kali tapi rasa khawatir itu tetap ada.

"Kenapa aku merasa tidak tenang ya," Sekar menggigit kukunya dan jalan mondar mandir seperti setrika walau terkadang pinggangnya terasa sakit karena usia kandungannya semakin besar. Sekar mengelus lembut perutnya dan merasakan sebuah tendangan dari dalam.

"Kamu juga merasakan apa yang ibu rasakan?" tanya Sekar. Sebuah tendangan kembali terasa, Sekar lalu duduk di kursi dengan susah payah. Kakinya tidak sanggup berdiri lebih lama dan duduk adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

"Apakah semuanya akan baik-baik saja nak? Ibu ...." Ucapan Sekar terhenti saat melihat pintu kamarnya terbuka. Ardan masuk dengan wajah kusutnya.

Sudah beberapa hari ini Sekar mengacuhkan dan mengganggap Ardan makhluk tidak kasat mata. Sekar tidak menjawab jika Ardan bertanya atau peduli dengan apa yang dilakukan Ardan. Mereka bagai dua asing yang terpaksa tidur di ranjang yang sama. Sekar bahkan tidak segan membatasi ranjang dengan bantal agar Ardan tidak berani mendekatinya.

"Kaki kamu gatal?" tanya Ardan setelah melihat Sekar kesulitan saat ingin menggaruk telapak kakinya tapi terhalang perut buncitnya. Sekar tidak menjawab pertanyaan Ardan.

"Kamu mengenal aku dan aku paling tidak suka diacuhkan. Kita sudah menikah dua minggu dan selama itu kamu mengganggap aku seperti makhluk tidak kasat mata,"

Awalnya Ardan membiarkan tapi kesabarannya ada batasnya. Selama ini tidak ada satu orang pun berani mengacuhkannya dan sekarang Sekar berani mengacuhkannya.

Ardan menutup matanya agar emosinya tidak tersulut. Sebenarnya untuk membuat Sekar memedulikannya hanya masalah sepele tapi Ardan sudah berjanji jika ia tidak akan pernah memaksakan kehendaknya lagi kepada Sekar sampai Sekar sendiri mau memedulikannya.

Ardan lalu keluar dari kamar lalu langsung menuju kamar mandi. Ardan menuangkan sejumlah air ke dalam baskom serta sabun cair untuk membuat busa di dalam air itu.

"Tuan, seharusnya Tuan menyuruh Nimas melakukan itu," ujar Arjuna saat melihat Ardan sibuk di dalam kamar mandi.

"Ini hanya pekerjaan sepele. Saya bisa melakukannya tanpa bantuan Nimas," balas Ardan sambil melewati Arjuna. Tangannya memegang baskom berisi air dan sabun. Arjuna tersenyum senang melihat perubahan Ardan walau ia tahu apa pun yang dilakukan Ardan sulit membuat Sekar memaafkannya.

"Minggir ... gue mau masuk," usir Nimas saat melihat Arjuna sedang berdiri di depan pintu masuk kamar mandi. Bukannya pergi Arjuna malah merentangkan tangannya untuk menghalangi Nimas.

"Seharusnya kamu tahu arti kata antri. Saya duluan di sini dan seharusnya saya yang mandi duluan," balas Arjuna. Nimas mencari baju atau handuk untuk memastikan Arjuna benar-benar ingin mandi.

"Maaf ya ... gue jelas mau mandi karena di tangan gue ada baju ganti dan juga handuk, tapi lo sama sekali tidak bawa apa-apa. Jadi intinya lo itu cuma mau cari gara-gara sama gue. Ya kan? Lo kurang piknik nih," tebak Nimas.

Arjuna semakin ingin melawan Nimas, "Karena saya tidak terbiasa bawa baju ke kamar mandi. Cukup baju yang saya kenakan ini, jadi saya duluan dan kamu nanti saja setelah saya," balas Arjuna.

Kesabaran Nimas habis, "Masa bodo, pokoknya gue duluan!" Nimas melewati Arjuna dan masuk ke dalam kamar mandi. Arjuna pun tidak mau kalah dan ikut masuk lalu berdiri di belakang Nimas.

"Ngapain lo masuk! Keluar!" maki Nimas dengan kesal.

"Nggak, kalau kamu tidak suka ya kamu sendiri saja yang keluar. Saya mau mandi duluan," balas Arjuna semakin tidak mau kalah.

Harga diri Nimas terusik dan ia memutuskan untuk tetap bertahan dan tidak akan membiarkan Arjuna menang kali ini.

Sekar meletakkan baju ganti serta handuk di gantungan dan masih berdiri sambil menunggu Arjuna keluar, "Gue tidak akan keluar. Kalau lo laki-laki sejati seharusnya lo tidak pernah cari masalah sama gue," sindir Nimas.

Arjuna tertawa, "Masalah ini sebenarnya sepele. Sangat sangat sepele tapi kamu yang mempersulitnya. Oke kita bahas dari awal dan cari tahu siapa yang duluan cari perkara. Pertama, yang duluan datang siapa?" tanya Arjuna.

Nimas acuh dan memilin-milin rambutnya, "Lo, tapi kan ..." Arjuna mengangkat jari telunjuknya.

"Nah kan, satu kosong. Pertanyaan kedua, seharusnya di antara kita berdua siapa yang berhak memakai kamar mandi ini?"

Wajah Nimas mulai tegang, "Lo, tapi kan ...." Lagi-lagi Ardan mengangkat jari tengahnya.

"Nah kan, dua kosong. Pertanyaan ketiga, kamu masih mau tetap di sini atau keluar?"

"Gue tidak akan keluar," balas Nimas tetap tidak mau mengaku kalah.

"Baiklah ..." jawab Arjuna. Nimas tersenyum penuh kemenangan dan menunggu Arjuna keluar dengan suka rela. Beberapa kali ia selalu kalah dan kali ini ia tidak akan mau masuk ke dalam perangkap Arjuna lagi.

Bukannya keluar, yang ada Arjuna malah menutup pintu. Wajah Nimas langsung menegang, "Kok pintunya ditutup?" tanya Nimas sedikit waspada.

"Mandi ... kamu tidak mau kan kita mandi dilihat orang?" ujar Arjuna sambil tersenyum licik. Nimas tahu ini hanya ancaman Arjuna agar dia keluar dan akhirnya Arjuna selalu menang darinya.

"Oh iya, gue lupa. Ya sudah kita mandi sama-sama saja. Lebih adil dan menguntungkan kedua belah pihak, ya kan?" Nimas mengambil jepitan rambut dari sakunya dan mengulung rambutnya. Arjuna kehilangan kata-kata melihat Nimas mulai mengangkat dan membuka kaosnya dan untungnya Nimas pakai tank top di dalam kaosnya. Wajah Arjuna langsung panas dan memerah, niatnya mencari gara-gara dengan Nimas membuatnya berada dalam posisi salah.

"Loh katanya mau mandi, kok diam?" pancing Nimas sekali lagi dan bersiap ingin mengangkat tank top-nya.

"Kamu gila!" Arjuna memaki Nimas sambil keluar sebelum Nimas melakukan hal gila.

Setelah Arjuna keluar, Nimas langsung menutupi tubuh setengah telanjang dengan menyilangkan tangannya, "Fiuhhhh, untung dia lari."

Ardan meletakkan baskom tadi di dekat kaki Sekar, "Masukkan kaki kamu ke dalam baskom ini. Rasa gatal itu pasti akan hilang setelah aku mencuci kaki kamu," Sekar melihat Ardan tanpa kedipan.

"Dia kenapa berubah sedrastis ini?" tanya Sekar dalam hati.

"Kamu yang masukin atau aku?" tanya Ardan. Ah itu bukan bertanya tapi perintah dengan mimik wajah seakan tidak mau dibantah. Sekar membuang wajahnya dan enggan menuruti perintah Ardan walau rasa gatal semakin membuatnya tidak nyaman.

"Fiuhhhh," Ardan membuang napas dan langsung menarik kaki Sekar ke dalam baskom. Janjinya untuk tidak memaksa Sekar kali ini ia langgar. Ia tidak suka melihat Sekar kesulitan karena rasa gatal di kakinya.

Sekar berusaha mengeluarkan kakinya dari baskom tapi Ardan tidak mau kalah. Ia tetap memaksa membersihkan kaki Sekar. Sebagaian air tumpah dan membasahi lantai kamar.

"Cukup!" Ardan menatap Sekar dengan kesal, "Cukup menguji kesabaranku. Aku baik salah, aku jahat lebih salah. Mau kamu apa!" teriak Ardan.

"Lepaskan saya. Akhiri semua sandiwara palsu ini, kamu baik karena menginginkan bayi ini. Sayangnya saya tidak akan membiarkan itu terjadi, saya ... hmpftttt," Ardan muak dan akhirnya membungkam mulut Sekar dengan ciuman. Ardan berusaha untuk tidak menyentuh Sekar sebelum istrinya itu dengan ikhlas menyerahkan dirinya tapi mendengar ucapan Sekar tadi, membuat Ardan sedikit takut kalau suatu saat nanti Sekar akan meninggalkannya.

Ciuman Ardan semakin panas dan penuh penuntutan. Sekar menolak dan berusaha menahan mulutnya agar tidak membalas ciuman Ardan. Baskom tadi tumpah saat kaki Ardan tanpa sengaja menyenggolnya. Ardan tidak peduli, setan membuatnya ingin memiliki Sekar seutuhnya.

"Jangan ... hentikan Tuan," pinta Sekar dengan wajah mengiba. Sekar tidak mau Ardan menjamahnya walau itu adalah haknya. Mereka suami istri dan sudah seharusnya Sekar menunaikan kewajibannya, tapi Sekar tidak mau. Baginya pernikahan ini hanya sebuah ikatan palsu untuk menjebaknya agar tetap berada dalam genggaman Ardan.

Ardan mencium pucuk kepala Sekar dengan napas tersengal-sengal, "Aku suami kamu, panggil Ardan, jangan Tuan," bisik Ardan pelan dengan napas tersengal-sengal.

Sekar mengangguk, rasa takut membuatnya menuruti perintah Ardan. Ardan membuang napas dan memeluk Sekar dengan sangat erat.

"Maaf," ujar Ardan dalam hati.

Ardan tersenyum sambil merapikan anak rambut yang berserakan di pipi gembil Sekar. Sekar akhirnya terlelap dengan nyenyak setelah perjuangan dan drama panjang. Sekar akhirnya mengalah dan membiarkan Ardan membersihkan kakinya.

"Tahukah kamu? Baru kali ini aku membasuh kaki wanita. Bahkan dulu aku menolak saat Maudy memintaku melakukan hal yang sama," Ardan benar-benar tidak tahu kenapa ia jadi lemah saat berhadapan dengan Sekar. Ardan yang sombong, angkuh, dan arogan terlihat tidak berdaya saat berada di dekat Sekar. Wanita yang dulu amat sangat dibencinya tapi sekarang sangat ia cintai.

Tok tok tok

Ardan menarik selimut dan mencium kening Sekar sebelum membuka pintu.

"Ada apa?" tanya Ardan saat melihat Arjuna sedang berdiri di depan pintu kamarnya.

"Saya membawakan Tuan segelas kopi ginseng. Beberapa hari ini Tuan sepertinya kurang tidur,"

Ardan mengambil cangkir berisi minuman ginseng dan langsung meminumnya sampai habis. Beberapa hari ini Ardan memang kesulitan untuk tidur, kata-kata penjual nasi goreng tentang keselamatan satu-satunya keturunan yang ia miliki mengusik dan membuat Ardan sulit tidur.

"Bagaimana kondisi kantor?" tanya Ardan. Ia lalu menutup pelan pintu dan duduk di ruang tengah sambil membuka laptopnya.

"Renata beberapa bulan ini menghilang. Menurut laporan yang saya terima, beliau dan Ibu Marinka sedang liburan keliling eropa,"

Ardan sedikit kaget mendengar info yang diberikan Arjuna, setahunya Renata tidak suka menghabiskan waktu liburannya dengan Ibu Marinka.

"Paman Felix?"

"Pergerakannya sampai saat ini aman. Hanya saja Direktur Keuangan sempat memberi tahu kalau Tuan Felix pernah memaksanya mencairkan sejumlah uang untuk alasan tidak jelas," ujar Arjuna. Ardan tertawa miris dan merasa tidak heran dengan perbuatan Tuan Felix.

Ardan mulai membuka emailnya, ia sengaja membuka satu persatu email yang masuk. Dalam beberapa bulan kotak inbox-nya penuh dengan laporan dari sekretaris serta petinggi lainnya dan beberapa email dari Renata.

"Kenapa Mbak Renata mengirim email sebanyak ini? Waktunya sekitar beberapa bulan yang lalu," Ardan cukup penasaran dan ia mulai membuka email pertama dari Renata.

avataravatar
Next chapter