47 I Love You

Hari ini Ardan mengizinkan Arjuna dan Nimas untuk cuti. Rencananya Arjuna akan mengajak Nimas piknik seperti janji yang dulu pernah mereka buat. Ardan pun sepertinya mengerti dan tidak lagi mengganggu waktu cuti dua kepercayaannya dengan sengaja tidak menitipkan Alleia.

"Kita mau ke mana?" tanya Nimas saat mobil Arjuna mengarah ke luar kota.

"Piknik," balas Arjuna singkat dan kembali fokus menyetir mobilnya. Nimas mendengus dan membuka jendela mobil untuk menghirup udara perkampungan yang dilewati Arjuna. Udara hari ini cukup cerah dan Nimas sengaja mengeluarkan tangannya untuk merasakan hembusan angin.

"Tutup jendelanya," perintah Arjuna dengan nada sengak. Nimas kembali mendengus dan memasukkan tangannya lalu melihat Arjuna kesal.

"Lo itu bukan Mas Ardan. Berhentilah memberi perintah," oceh Nimas.

"Nggak ada salahnya memberi perintah untuk kebaikan. Kamu itu baru sembuh dan kalau nanti masuk angin lagi siapa yang susah? Aku jugakan, aku nggak mau ya piknik kita gagal lagi gara-gara kamu sakit. Dan berhentilah menyebut lo gue lo gue,"

"Lo … eh maksudnya kamu kok jadi bawel sih, kayak nenek-nenek di pasar."

"Kamu lebih menyebalkan, pembangkang, dan bandel!" balas Arjuna tak mau kalah. Mereka berdua berdebat dan tidak ada satupun yang mau mengalah. Arjuna tetap pada pendiriannya kalau Nimas adalah wanita paling sulit diatur sedangkan Nimas beranggapan Arjuna sok bossy dan tukang perintah.

"Fiuhhhh capek ternyata berdebat dengan kamu," ujar Arjuna yang akhirnya memilih diam dan tidak membalas sepatah katapun yang dilontarkan Nimas.

"Hehehe kamu kalah … horeeeee," Nimas bersorak girang dan mencubit pipi Arjuna saking senangnya.

"Tapi ada satu hal yang kamu lupakan,"

"Apa lagi?" tanya Nimas.

"Hukuman, kamu belum menerima hukuman yang sempat tertunda. Bersiaplah dan aku tidak mau mendengar kata penolakan dan kalau kamu sampai menolak bersiaplah hidup kamu akan aku gentayangi," ancam Arjuna dengan mimik wajah serius.

"Gentayangi? Memangnya kamu mau jadi hantu?" Nimas tertawa cekikikan sambil memegang perutnya.

"Iya, aku gentayangi lalu aku cekik terus aku gelitik sampai mati." Nimas memukul tangan Arjuna dan memanyunkan mulutnya sekali lagi.

"Ih jahat, ogah kalau digentayangi hantu kayak kamu,"

"Makanya jangan ditolak," jawab Arjuna.

"Kok aku penasaran hukumannya apa. Jangan aneh-aneh hukumannya," ujar Nimas memberi peringatan Arjuna. Arjuna mengangkat bahunya lalu bersiul menendangkan lagu yang mengalun sepanjang perjalanan mereka.

"WHAT!" Nimas shock setelah mendengar hukuman apa yang akan diberikan Arjuna.

"Lebay banget reaksi kamu, seharusnya kamu bilang 'ih so sweet banget sih kamu ngelamar aku kayak gitu, aku mau kok jadi istri kamu,' gitu jawabnya bukannya'WHAT!' dengan mata melotot kayak nenek lampir," gerutu Arjuna.

"Ya ampun!" Nimas menepuk jidatnya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar hukuman yang diberikan Arjuna.

Ya, Arjuna menghukum Nimas dengan mengikat Nimas dalam pernikahan, sungguh dalam mimpipun Nimas tidak pernah membayangkan Arjuna akan melamarnya dalam kondisi seperti ini.

"Sesuai janji kita tadi, aku tidak mau mendengar kata penolakan dari kamu. Pokoknya kamu harus jawab 'aku bersedia menikah dengan kamu', hanya itu dan awas kalau kamu tolak, aku akan gentayangi kamu seumur hidup,"

Nimas tertawa mendengar ancaman yang diberikan Arjuna. Menikah atau digentayangi, meski Nimas belum terlalu mengenal Arjuna tapi satu hal yang bisa ia nilai kalau Arjuna itu tipe laki-laki setia dan baik hati.

"Kamu dan Mas Ardan kok bisa punya sifat sama, sama-sama tukang paksa dan tukang ancam. Akhirnya aku bisa merasakan apa yang dirasakan Mbak Sekar, tapi baiklah aku lebih memilih menikah daripada digentayangi kamu," Nimas menjulurkan tangannya ke arah Arjuna dan menunggu Arjuna menyematkan cincin yang dipegangnya ke jari manis Nimas.

"Nah gitu dong, aku kalau jadi hantu nyeremin dan nakutin." Nimas tertawa mendengar lelucon Arjuna dan memandang cincin bermata satu yang khusus dibeli Arjuna sebelum mereka pergi berlibur.

Arjuna menarik pinggang Nimas dan mencium bibir Nimas untuk pertama kalinya sejak hubungan mereka meningkat dari sekedar teman tapi musuh menjadi tunangan. Arjuna berencana akan melamar Nimas langsung ke ibunya setelah mereka kembali dari liburan.

"Besok aku akan menemui ibu kamu," ujar Arjuna setelah mereka selesai berciuman. Nimas memegang bibirnya dan cukup kaget melihat Arjuna benar-benar serius dengan rencana mau menikahinya.

"Kamu mau bertemu ibu aku?" tanya Nimas setelah Arjuna memberi tahu niatnya.

"Iya, bukannya kalau kita mau menikah aku wajib bertemu ibu kamu dulu," Nimas lalu berdiri dan melihat ke arah Arjuna.

"Ibu aku … ibu aku sedikit susah untuk ditaklukkan. Bagi ibu laki-laki yang pantas menjadi suami aku hanya laki-laki yang bisa membelikannya barang-barang mewah atau apapun yang dia butuhkan," Nimas melihat wajah Arjuna yang tidak menunjukkan perubahan apa-apa meski ia baru saja memberi tahu kalau ibunya tipe calon mertua matre.

"Oh, ya wajar sih ibu kamu seperti itu. Ibu kamu berjuang melahirkan dan membesarkan anak gadisnya dengan susah payah, masa aku mau ambil tanpa modal. Walau aku hanya pengawal tapi aku sanggup membelikan apapun yang ibu minta," balas Arjuna penuh percaya diri. Tabungannya sejak bekerja dengan Ardan lebih dari cukup untuk membahagiakan Nimas ataupun ibunya.

"Tapi ibu aku galak,"

"Galakan mana dari Tuan Ardan?" tanya Arjuna balik.

"Masih galak Mas Ardan sih, tapikan …" Arjuna lalu mendekati Nimas dan memeluknya dengan erat.

"Rintangan seberat apapun akan aku tempuh asal bisa hidup bersama kamu," bisik Arjuna pelan. Nimas serasa melayang dan ingin terbang setelah mendengar rayuan Arjuna yang terdengar tulus dari dalam hatinya. Untuk pertama kalinya Nimas membalas pelukan Arjuna dan berharap semuanya akan baik-baik saja walau Nimas sudah bisa membayangkan reaksi ibunya jika tahu ia akan menikah dengan pengawalnya Ardan.

"Tolong bawa semua laporan keuangan sejak kepergian saya sampai detik ini," pinta Ardan sesampainya ia di kantor. Sekretaris dan Direktur Keuangan langsung tergopoh-gopoh membawa laporan yang diminta Ardan. Ardan mulai memeriksa satu persatu dan mencoret pengeluaran yang menurutnya tidak masuk akal dan tidak ada kejelasan ke mana uang sebanyak itu menghilang.

"Kenapa uang perusahaan bisa minus satu milyar dalam tempo satu tahun?" tanya Ardan dan ia membanting laporan keuangan itu. Amarah membuat wajahnya tegang dan mengeras. Sekretaris langsung memungut dan menyuruh Direktur Keuangan menjawab pertanyaan Ardan.

"Maaf Pak … semua pengeluaran itu ditangani Tuan Felix dan saya tidak bisa menolaknya karena Tuan Felix bilang itu semua atas perintah Bapak," jawab Direktur Keuangan. Ardan langsung tertawa miris dan meremas laporan itu dengan tangannya. Kesabarannya sudah habis dan Tuan Felix harus memberi penjelasan ke mana uang sebanyak itu.

"Saya ingin bertemu Paman Felix,"

"Maaf Pak, Tuan Felix sudah beberapa hari ini tidak ke kantor dan sekretarisnya bilang, beliau sedang ada urusan di luar kota," balas sekretarisnya. Ardan lalu mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi ponsel Tuan Felix dan sayangnya ponselnya sedang tidak aktif.

Ardan mencoba menghubungi rumah pribadi Tuan Felix dan yang membuat Ardan shock ternyata rumah itu sudah dijual beberapa hari yang lalu, "Ada apa ini, kenapa Paman Felix menjual rumahnya." Ardan lalu mencoba menghubungi Ibu Marinka.

"Halo Ibu,"

"Ardan, astaga kamu ke mana saja?"

"Hentikan basa-basinya Bu, aku hanya mau tahu di mana Paman Felix? Kenapa dia menghilang tanpa kabar?"

Ibu Marinka tertawa dan melihat peti mati yang ia duduki, "Ibu tahu kalau Paman Felix sudah mengambil uang perusahaan tanpa seizin kamu. Ibu sudah memarahinya dan menyuruhnya mengganti semua kerugian perusahaan. Coba kamu cek mungkin uang penjualan rumahnya sudah masuk ke rekening perusahaan,"

"Oh, jadi di mana Paman Felix sekarang?"

"Mati,"?balas Ibu Marinka dalam hati.

"Mungkin dia malu setelah ibu memarahinya dan pergi meninggalkan kota ini untuk menenangkan pikiran. Kamu jangan khawatir, suatu saat dia pasti akan kembali dengan hati bersih dan suci,"

Ibu Marinka mengelus penutup peti mati yang ia duduki dan menyimpan ponselnya. Ibu Marinka menyuruh anak buahnya mengubur peti mati yang di dalamnya berisi jasad Tuan Felix. Ibu Marinka membunuhnya setelah perbuatan Tuan Felix merusak semua rencananya.

"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya Nyonya?" tanya salah satu anak buah Ibu Marinka.

"Satu persatu penghalang rencana kita sudah saya singkirkan,"

"Bagaimana dengan anak itu?"

"Seharusnya saya bunuh saja anak itu jika kondisinya masih seperti mayat hidup. Sebaiknya kamu cari anak seumuran dia, tampan, bersih, dan bisa kita jadikan pengganti sementara anak itu."

 "Maksud Nyonya?"

"Untuk sementara kita hanya bisa menggunakan Biyandra palsu untuk menipu Ardan dan istrinya," anak buah Ibu Marinka mengangguk tanda mengerti.

"Kapan Nyonya akan memberi tahu kalau anak itu adalah keturunan keluarga Mahesa," Ibu Marinka lalu menuangkan wine ke dalam minumannya dan langsung meneguknya sampai habis.

"Sebentar lagi,"

Beberapa hari kemudian,

Ardan sengaja membuka pintu kamarnya pelan agar Sekar dan Alleia tidak terbangun. Jarum jam menunjukkan angka tiga pagi dan rasa lelah membuat Ardan ingin segera berbaring di samping Sekar dan Alleia. Setahun meninggalkan perusahaan membuat Ardan harus rela pulang selarut ini. Pekerjaan setahun ini menumpuk apalagi ditambah kasus korupsi yang dilakukan Tuan Felix membuat keuangan perusahaan sedikit goyah walau Tuan Felix sudah mengembalikan uang itu tapi masih ada banyak masalah yang ditinggalkan Tuan Felix.

"Semoga mimpi yang indah," Ardan mengecup pelan kening Sekar. Sekar menggeliat pelan dan membuka matanya.

"Kamu sudah pulang? Jam berapa sekarang?" Sekar lalu duduk dan melihat jam yang ada di dinding.

"Jam tiga dan seharusnya kamu tidak bangun," Ardan menyuruh Sekar untuk berbaring tapi Sekar menggeleng dan memindahkan Alleia ke dalam box-nya.

"Kamu pasti lelah dan istirahatlah," ujar Sekar sambil membantu Ardan melepaskan dasinya.

"Kita seperti pasangan suami istri yang saling mencintai," ujar Ardan bahagia. Sekar melihat bola mata Ardan yang bersinar saat mengatakan itu.

"Aku berusaha untuk mencintai kamu,"

"Dan usaha itu sepertinya berhasil," ujar Sekar dalam hati.

"Aku tahu, melihat kamu tersenyum dan bersikap manis membuatku sadar kalau ternyata batu pun bisa hancur jika ditetesi air setiap hari. Sama seperti kamu, kamu akan luluh jika aku memberimu cinta dan ciuman," Ardan memegang pinggang Sekar dan lagi-lagi mencium Sekar dengan penuh cinta. Rasa lelah dan penat yang tadi ia rasakan langsung hilang saat Sekar membalas ciuman itu lebih dari biasanya. Sekar memegang pinggang Ardan dan memeluknya dengan erat.

"I love you," bisik Sekar di telinga Ardan dengan napas tersengal-sengal.

avataravatar
Next chapter