webnovel

Dua Pilihan Sulit

Renata terkesima saat kakinya baru saja melangkah masuk ke dalam aparteman Pasha yang cukup luas. Renata masih mengarahkan pisaunya agar Pasha tidak melakukan tindakan yang bisa merugikannya.

"Bisa kan kamu turunkan pisaunya? Saya sudah janji tidak akan membawa kamu ke rumah sakit itu lagi tapi kamu harus jauhkan pisau itu," Pasha masih berusaha membujuk Renata.

"Saya tidak gila!"

Pasha membuang napasnya dan mencoba untuk tetap sabar, sebenarnya merampas pisau itu bukan masalah sulit. Apalagi pisau yang dipegang Renata tidak tajam.

"Oke oke, sekarang masuk dulu dan malam ini saya akan izinkan kamu untuk tinggal di apartemen saya," Pasha membuka jaketnya dan menyuruh Renata untuk duduk. Renata menuruti keinginan Pasha dan memilih duduk di sofa meski tangannya masih memegang pisau.

Apartemen Pasha cukup rapi dan bersih untuk ukuran laki-laki single yang hidup seorang diri. Renata yakin usia Pasha tidak berbeda jauh dibandingkan usia Ardan.

"Silakan diminum," Pasha meletakkan segelas air dingin, "Jangan takut, saya tidak memasukkan apapun di dalamnya," sambung Pasha.

Setelah yakin minuman yang diberi Pasha aman, barulah Renata langsung meminumnya sampai habis. Rasa haus membuat Renata tidak menyisakan setitik air pun di dalam gelas.

"Jadi ... Mbak Maureen kenapa bisa masuk ke rumah sakit itu?" tanya Pasha pelan. Pasha tidak mau membuat Renata tersudut dan merasa terancam jika ia bertanya terlalu banyak.

Saat akan menjawab tiba-tiba mata Renata melihat sebuah foto yang terpajang di atas meja. Foto seseorang yang membuat hidupnya hancur seperti sekarang. Foto Ibu Marinka dan beberapa pegawai restoran yang wajahnya ia kenal.

"Mungkinkah ... Laki-laki ini koki di restoran Mami?" tanya Renata dalam hati. Renata memang tidak terlalu sering datang ke restoran ibunya dan bisa dibilang ia tidak pernah kenal atau berkenalan dengan koki-koki yang bekerja di sana.

"Oh, itu atasan saya dan beberapa pegawai restoran tempat saya kerja," ujar Pasha memberi tahu Renata tentang foto yang dipajangnya itu.

"Aku harus pergi dari sini. Mami akan menemukan aku jika aku bersembunyi di rumah anak buahnya," ujar Renata dalam hati, "Tapi bukankah tempat paling aman adalah tempat yang paling dekat dengan musuh kita," sambung Renata yang bimbang.

"Oh, saya di sana karena kesalahpahaman saja. Mereka pikir saya gila karena cinta tapi sungguh saya tidak akan menyia-nyiakan hidup saya demi laki-laki," ujar Renata berbohong. Saat ini ia belum bisa jujur ke orang lain tentang kejahatan Ibu Marinka dan Tuan Felix sebelum memberi tahu Ardan langsung.

"Wah masalah Mbak cukup pelik ya. Mbak lebih beruntung, ibu saya dirawat sejak kematian adik saya,"

Renata dan Pasha mulai bercerita tentang apa yang mereka hadapi walau Renata berbohong tentang Ibu Marinka.

"Wah tanpa terasa sudah malam, sebaiknya Mbak Maureen istirahat dulu. Mbak bisa istirahat dan mandi, saya akan pinjamkan baju walau hanya kaos," Pasha membawa Renata menuju kamar tamu.

"Terima kasih," Renata masuk dan langsung mengunci pintu. Pasha terpaksa membiarkan Renata menginap di apartemennya hari ini dan besok ia akan mencari ide supaya Renata bisa pergi dari apartemennya.

Suasana kembali kaku sejak kepulangan mereka dari Thailand. Nimas sibuk mempersiapkan makanan bergizi untuk Sekar yang mulai kesusahan dalam bergerak. Terkadang Nimas dengan telaten memijit kaki Sekar yang mulai bengkak, sedangkan Ardan sibuk dengan hobi barunya yaitu menanam tanaman.

Setiap hari Ardan lebih banyak menghabiskan waktu merawat tanamannya, tujuannya cuma satu yaitu agar ia tidak berpikir macam-macam tentang Sekar.

Tapi alasan utama agar bisa menghindari dari Sekar. Ardan mulai mengurangi pengawal dan hanya menyisakan Arjuna yang tetap setia menjaga Sekar tanpa diminta Ardan sekali pun.

"Tuan,"

Deg

Deg

Deg

Ardan salah tingkah dan sekop hampir saja mengenai tangannya. Ardan lalu berdiri dan ingin menghindar agar Sekar tidak menyapanya lagi.

"Tuan!" panggil Sekar. Ardan sadar lari tidak akan menyelesaikan masalah. Ardan pun memutar balik badannya dan melihat Sekar sedang memanyunkan bibirnya. Perut Sekar semakin membesar, semakin membuat Ardan salah tingkah.

"Apa lagi,"

"Sudah waktunya ke dokter kandungan," ujar Sekar memberitahu jadwal kunjungan dokter kandungan.

"Oh iya," Ardan melewati Sekar tanpa banyak kata. Sekar sadar pengawasan Ardan mulai berkurang sejak kepulangan mereka dari Thailand dan sepertinya ia bisa pergunakan kesempatan ini untuk lari.

"Sekar ...."

Sekar memutar tubuhnya lalu melihat ke arah Ardan, "Ada apa Tuan?" tanya Sekar berusaha untuk bersikap seperti biasa agar Ardan tidak curiga.

"Sebelum ke rumah sakit, temani saya makan dulu."

"Harus? Ah Tuan mana boleh dibantah. Baiklah, saya akan ikuti semua kemauan Tuan."

"Ada apa ini, kenapa aku semakin sulit mengontrol perasaan ini. Dua bulan terasa lama, aku ingin semua ini segera berakhir demi ketenangan batinku," ujar Ardan dalam hati.

Beberapa menit kemudian Sekar sudah siap dengan memakai baju hamil yang dibelikan Ardan saat mereka di Thailand. Tanpa make up dan hanya polesan lipstick yang dipinjamkan Nimas.

"Saya sudah siap, Tuan."

Kali ini Ardan tidak mengajak Arjuna atau pun Nimas. Hari ini Ardan ingin pergi berdua dengan Sekar tanpa penganggu. Tujuannya hanya satu, memastikan apa yang ia rasakan sekarang berbeda dari apa yang dulu ia rasakan terhadap almarhumah Maudy.

Ardan melajukan mobilnya sejauh mungkin agar tidak ada yang melihat tindakan apa yang akan ia lakukan pada diri Sekar. Sekar pun tidak bertanya ke mana kah Ardan akan membawanya meski mereka sudah melewati rumah sakit yang akan mereka kunjungi.

Mobil Ardan berhenti tepat di depan pantai yang membentang luas dengan ombak lumayan besar.

"Kita ke sini mau apa? Bukannya Tuan mau makan ya? Tapi kan di sini nggak ada restoran?" tanya Sekar. Sekar melihat ke kiri dan ke kanan. Tidak ada satu pun penjual makanan terlihat di sepanjang pantai.

Ardan masih diam saat Sekar mulai ngomel dan menggerutu di depannya. Mata Ardan menatap wajah Sekar yang chubby dan semakin cantik setiap harinya meski bobot tubuh Sekar semakin bertambah karena Ardan selalu memberinya asupan gizi seimbang.

"Tuan selalu seenaknya dan .... Hmfppppp," mata Sekar melotot saking kagetnya saat Ardan menarik tangannya dan mulai mencium Sekar, awalnya ciuman itu penuh nafsu dan butuh pembalasan. Terkadang Ardan meminta Sekar membalas ciumannya dengan menggigit pelan bibir Sekar.

Lambat laun Sekar mulai berhenti meronta dan dorongan dari dalam jiwanya membuat Sekar pasrah dan menerima kedua bibir Ardan bermain di bibirnya.

Cukup lama mereka berciuman dan menikmati setiap inci bibir masing-masing dan baru berhenti saat Ardan merasakan sebuah tendangan di perut Sekar.

"Akhirnya aku tahu apa jawabannya ..."

Plakkkkk

Reflek Sekar mengayunkan tangannya ke pipi Ardan setelah sadar apa yang mereka lakukan bukan suatu hal yang baik. Ardan memegang pipinya yang terasa panas dan menatap Sekar dengan kesal.

"Apa yang Tuan lakukan ke saya ..." Sekar menarik napas agar debaran di dadanya berhenti. Napasnya tercekat dan bibirnya terasa perih.

"Seharusnya kamu bangga. Seharusnya kamu bangga kalau saya mencium kamu, seharusnya kamu bangga! Bukan menampar saya," geram Ardan sambil memegang tangan Sekar agar tubuh mereka semakin mendekat.

"Saya jijik ..." tolak Sekar. Ardan tertawa sinis mendengar ucapan Sekar yang terdengar munafik sedangkan tadi reaksi Sekar saat Ardan menciumnya berbeda 180 derajat.

"Jijik?" tanya Ardan karena tersinggung mendengar ucapan Sekar yang merendahkannya.

"Iya, saya jijik dan tidak suka Tuan melecehkan saya. Saya pikir Tuan ... Hmptttt," sekali lagi Ardan mencium Sekar. Tangan Ardan semakin menarik pinggang Sekar dengan tujuan Sekar tidak meronta. Reaksi Sekar pun tetap sama, awal menolak dan lama kelamaan menikmati setiap hal yang Ardan lakukan di bibirnya.

"Jijik atau suka?" goda Ardan. Wajah Sekar memerah dan peluh mulai membasahi seluruh wajahnya. Melihat Sekar salah tingkah menjadi kesenangan tersendiri bagi Ardan.

"Saya mau bicara hal penting sama kamu," ujar Ardan dengan mimik wajah serius.

"Tanpa izin saya pasti Tuan akan bicara juga," balas Sekar sambil membuang wajahnya ke arah samping. Sekar semakin memegang dadanya yang masih berdebar kencang.

"Saya akan memberi kamu dua pilihan ... tentang kebebasan yang kamu inginkan," mendengar itu barulah Sekar memutar kembali wajahnya.

"Tuan mau membebaskan saya?" tanya Sekar antusias. Ardan mengangguk dan menatap hamparan laut yang ada di depan mereka.

"Saya akan melepaskan kamu dan melupakan dendam itu, kamu pun bebas pergi ke mana pun tanpa takut saya akan kembali menculik kamu, tapi ..." Ardan berhenti sejenak untuk mengambil napas, "tapi di dunia ini tidak ada hal yang gratis. Saya akan membebaskan kamu tapi kamu harus menyerahkan bayi itu untuk saya asuh," senyum sumringah dan antusias Sekar langsung menghilang.

Amarahnya langsung menggelora, sampai mati pun ia tidak akan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.

"Bajingan!" maki Sekar, "Jangan pernah berpikir saya akan tinggal diam. Saya lebih baik mati daripada Tuan mengambil anak saya!" sambung Sekar sambil memegang perutnya untuk melindungi dari orang jahat seperti Ardan.

"Saya belum selesai dan kamu berani memotong pembicaraan saya, itu pilihan pertama dan ada pilihan kedua. Pilihan kedua ini sama-sama menguntungkan kita berdua, kamu untung dan saya pun untung."

"Pilihan kedua, kamu tetap bisa mengasuh bayi itu dan saya pun akan melupakan dendam di antara kita. Kamu juga bebas mau pergi ke tempat yang kamu inginkan tapi ..." Ardan kembali mengambil jeda, "tapi kamu harus menjadi istri saya dan kamu wajib memilih satu di antara dua pilihan tadi," sambungnya dengan tegas. Tidak ada penolakan atau sejenisnya. Ardan sadar hatinya mulai luluh dan sangat menginginkan Sekar seutuhnya. Walau caranya dengan memaksa sekalipun.

Sekar tertawa miris setelah mendengar dua pilihan yang terasa sulit untuk dilakukannya. Menyerahkan bayinya ke tangan Ardan sama saja ia melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan saat Biyandra hadir di hidupnya, sedangkan kalau ia menerima lamaran Ardan sama saja masuk ke dalam jurang mengingat bagaimana sikap Ardan yang egois.

"Pilihan yang Tuan beri sangat egois dan hanya menguntungkan Tuan. Buat apa Tuan memberi saya pilihan, bukankah Tuan sangat membenci saya. Kenapa Tuan menginginkan bayi ini dan mau menikahi saya, apa tujuan Tuan?" tanya Sekar penasaran.

"Saya tidak bisa punya anak dan bayi itu membuat saya sadar kalau manusia butuh sebuah kelurga," balas Ardan dengan jujur. Meski Ardan belum bisa memberi tahu Sekar tentang hatinya yang mulai tertaut padanya.

Next chapter