webnovel

WHY

Godam besar yang terasa menimpa kepalanya membuatnya lebih dari pusing. Bukankah dia tenggelam? Mengapa sekarang dia bisa bernapas dengan normal lagi. Tidak sepenuhnya normal, hidungnya berusaha mengambil udara sebanyak-banyaknya. Apakah dia kembali ke tempat semula. Matanya terasa berat, tak mau terbuka. Mata itu terus terpejam.

"Dok, deru napasnya kembali−"

Suara siapa itu?

"Thanks god" Gea mampu menangkap kelegaan orang-orang di sekitaranya.

Ini di mana?

Tit. Tit. Tit. Dia bisa mendengar bunyi kardiograf yang memenuhi ruangan itu. Masih gelap. Mata itu tetap terpejam, meskipun dipaksakan membuka. "Ini adalah suatu mukjizat−"

Suara-suara itu timbul tenggelam dalam pendengarannya. Terkadang begitu dekat namun pada akhirnya hilang, menjauh. Suara-suara itu seperti tempias air hujan. Embun-embun yang menyejukkan jiwa.

"Selamat, pak. Perjuangan Anda selama dua hari ini tidak sia-sia. Istri Anda−"

Istri. Istri siapa? Dia harus memasang pendengaran setajam kelinci. Karena matanya tetap tak mau berkoordinasi−bekerja sama.

"Makasih, sayang. Kamu sudah berjuang. Aku tak kan mampu hidup lagi, jika kamu pergi."

Bukankah itu suara lembut Digo, bos kejamnya. Nada lembut yang mengalun indah tentu saja membuat jantungnya memompa ekstra. Tapi, masih tidak dapat dipercaya jika itu seorang Digo. Mengapa dirinya begitu melankolis−romantis sekali−seperti bukaan jelmaan dirinya saat pertama kali bertemu. Ingatannya terlempar saat pertama kali mereka memulai hubungan 'di luar urusan pekerjaan'. Begitulah menurut istilah lelaki yang telah memporak porandakan hatinya tersebut.

***

"Aku menginginkanmu, mas." Pinta Gea saat itu.

"Aku tak bisa, Mrs. Lakhsmi."

"Mengapa?" Gea begitu kecewa mendengarnya. "Apa aku begitu buruk?"

"Suatu saat nanti jika hal ini berlanjut ke tingkat seterusnya, kau akan menyesal" raut muka lelaki itu berubah keras seperti menahan marah atau−menahan gairah, maybe.

"Aku tidak akan pernah menyesal. Jika itu bersamamu" Sebisa mungkin, Gea terus menyakinkan lelaki ini.

"Go Home. Out from here," usir lelaki itu yang mulai berdiri.

Gea berdiri, melangkah terlebih dulu. Menghalangi jalan keluar ruangan CEO itu. dia menyunggingkan senyum nakal. "Kamu harus tanggung jawab, mas." Gadis itu tersenyum nakal. Tak pernah dia berkelakuan sebinal ini di hadapan lelaki. Ini seperti menginjak harga dirinya sendiri.

"you know that I want it. Aku menginginkannya mas. Bukan Cuma kamu saja yang tersiksa di sini. Kita lakukan suka sama suka aja mas, kita harus mencoba. Walau aku tahu kamu pasti−"

Tak membiarkan gadis itu mengoceh lagi, Digo segera menyeambar tubuhnya. Mendaratkan kecupan sekilas pada bibirnya. "Ouh lebih manis dari pada yang pernah kumimpikan" Racaunya. Gea tak begitu mengerti apa yang diucapkan lelaki itu saat otak dirinya sendiri pun begitu tumpul terhalang gairah yang siap meledak. Kapan saja.

Matanya terbeliak kala Digo melemparkannya pada sofa. Dia melihat Digo tengah membuka setelan kerjanya yang, Oh shit ternyata tubuhnya jauh lebih really fucking hot. Decak kagum keluar begitu saja dari bibirnya. Dia memang pecinta lelaki bertubuh seksi, bahkan di hp nya saja terdapat puluhan entah ratusan foto, seperti Chris Hemsworth, Chris Evans, Jamie Dornan, yang tentu saja kesemuanya itu dalam potret half naked. Dan entah kenapa tubuh Digo lah yang memenangkan fantasi gilanya.

He is the most eligible bachelor, the really fucking shit.

Tubuh itu terbalut dengan otot−tidak seperti otot ade rai atau instuktur fitness lainnya−porsinya begitu pas. Otot-otot itu sempurna melekat di tubuhnya. Jangan lupakan fakta tentang kulit cokelat liatnya yang begitu eksotis. Entah di mana dia berjemur selama ini−Gea tahhu lelaki ini menyukai pantai. Kulit yang membungkus tubuhnya itu mengingatkannya pada pemain surfing kesukaannya. But, bukan cabang olahraga itu yang di sukainya, melainkan tubuh atlet-atletnya yang berwarna cokelat. Tentu saja kulit itu jilatable banget.

"Kau bisa pergi, jika kau mau bitch."

Gea hanya menggeleng. Pergi? Yang benar saja.

Tubuh telanjang Digo mendekatinya. Mendominasi setiap gerakan yang ditimbulkan keduanya. Tak ada romantis seperti prince charming dalam kisah snow white. Tak ada sosok pangeran disney yang mampu mengggambarkannya. Ah mungkin sebenarnya ada. Dia lupa ada satu tokoh yang sangat dibencinya−bahkan mungkin juga semua orang. The Beast. Kata itu meluncur saja tanpa permisi. Siapa yang tidak kenal dengan makhluk buas dan arrogant itu. Gea bahkan sempat berpikir jika orang disney salah menukar peran antara Shrek, si hijau, dengan The beast, yang tidak bermoral sama sekali.

Digo tidak seburuk itu.

Digo melangkah mendekati sofa tempat Gea berbaring. "Aku hanya ingin kamu mengingat dua hal ini." Dia menyeringai.

"I'm not romantic person. I don't make love. I fuck." Gea mengangguk paham. Tak apa mereka hanya melakukan ini suka sama suka. Tidak ada cinta di dalamnya, it's okay. Karena menurut beberapa rumor kantor−sebenarnya rumor seperti apa jika satu isi kantor sudah mengetahuinya−Digo memang tak memberi cinta.

"I'm in a relationship." Satu fakta yang tidak diketahui gadis mana pun. Yang pada akhirnya dia menyesal mengetahui fakta ini. Dia begitu bodoh, dibutakan oleh cinta−it's not trully love. Ini napsu.

Saat Digo menindihnya, dia tahu bahwa akses kabur sudah tidak ada. Dia akan menerimanya. Menerima segalanya. Dan hal yang tak pernah di lupakannya.

"Why are you still virgin. Where have you been, bitch?" Saat lelaki itu menghujamnya. Dia menjerit. "But, I can't stop it."

Klimaks pertama yang tidak akan pernah Gea lupakan seumur hidupnya.

"I keep waiting for along time."

"Why?"

Next chapter