18 WHEN THE PARTY WAS OVER

Happy reading 😘😘😘

.

Jam berapa kalian baca ini???

------------------

Renata telah menyiapkan semuanya lebih lama dari yang dia tahu. Rencana ini akan berakhir sekarang. Dia berjanji pada dirinya tidak akan membiarkan seorang pun mengambil kendali penuh atas dirinya. Dia harus berani melawannya. Dia bukan perempuan lemah yang selama ini orang pikir.

Gea. Geisha. Nama itulah yang selalu memotivasinya. Menjadi sumbu penyemangatnya dalam menjalani hidup. Dialah cerminan sosokperempuan kuat yang tidak disangka-sangka justru menjadi idolanya. Teman satu kelasnya saat di harvard dulu. Walau pun dia tak memiliki orang tua atau saudara yang selalu mendukungnya, tapi dia bisa menjalani hari-harinya dengan fantastis. Rere benar-benar iri padanya.

Tangannya meraih koper yang ada di bawah. Membuka risletingnya membuat bunyi srettt yang halus. Dia memasukkan beberapa baju ke dalamnya. Merapikannya agar memuat lebih banyak dari isi yang seharusnya. Kemungkinan ini adalah kali terakhir dia memasuki kamar mewah bak istana putri. Yang nyatanya kamar ini tidak memiliki nyawa apalagi bernyawa. Renata bahkan selalu menginginkan kamar pembantunya yang selalu di isi tawa tiap harinya. Hidup.

Sore ini dia akan menemui lelaki itu. pertemuan yang selalu menjadi candu bagi dirinya. Pertemuan-pertemuan yang selalu merasuki mimpinya. Dia tak bisa membayangkan akan sebahagia apa jika nanti setelah mereka menikah. Melihat lelaki itu selalu berada di sampingnya. Orang yang pertama kali akan menyapanya ketika dia bangun tidur. Dia begitu mencintai pria itu. benar-benar tak kan tertolong lagi.

Pintu kamarnya diketuk dari luar. Membuat tubuhnya bergetar. Rencana ini tidak boleh gagal begitu saja. Tidak. Ini adalah impiannya. Drama Queen ini akan segera berakhir. Dia akan mengakhirinya.

"Renata buka pintunya." Ibunya berteriak dan menggedor-gedor pintunya dari luar. "Renata" sungguh tak sabaran. Ibunya tetap memanggil-manggil sampai telinga Renata pekak.

"Sebentar, Ma." Sahut gadis itu yang tengah kelimpunganmenyembunyikan koper.

Cepat-cepat dia menutup koper yang belum tersusun rapi itu. memasukkan kembali ke bawah kasurnya. Dia berjalan dan meraih handle pintu. Ibunya tengah berdiri. Tangannya bersidekap dengan mata melotot. Tampang ibu tiri arrogant.

"Kalau dipanggil itu JAWAB" tiba-tiba Renata merasa sakit yang sangat pada rambutnya. Ibunya menjambaknya membuat rambut halus itu penuh dalam genggamannya. Ibunya menariknya keras, membuat Renata kesakitan keluar dari kamarnya.

"Sakit, Ma." Segenap tenaga Renata mendorong permpuan paruh baya itu−yang fuck masih cantik saja. Mungkin uang ayahnya telah dia habiskan untuk perawatan mahalnya.

Terjengkang ke belakang. Tubuh wanita tua itu hampir saja ambruk. "Kurang ajar kamu ya."

"Maaf, Ma. Renata tak sengaja" batinnya kini bersorak kemenangan. Akhirnya dia bisa melakukan ini. Melawan tersangka kejahatan. Dia menarik diri hendak masuk kembali.

"Tolong aku, bodoh." Renata melihat ibunya yang terjungkal. Meskipun rasa kemenangan itu membuatnya sedikit bahagian, namun batin kecilnya malah menyorakinya 'dasar anak durhaka'. Dia menarik ibunya−Intan−yang terduduk tersebut. Namun bukannya meraih tangan untuk berdiri malah ibunya menariknya. Renata yang tak bersiap diri membuat tubuhnya limbung dengan kepala yang membentur pegangan tangga.

"Aww sakit." Renata menyentuh ujung dahinya yang ternyata berdarah.

"Tadinya aku ingin mengajakmu untuk berbelanja atau apalah. Tapi melihat kelakuanmu yang sama seperti ibumu, bitchy. Aku jadi sungkan."

Renata meringis kesakitan namun Ibunya itu malah tertawa cekikikan. Renata melihat ibunya meminta pertolongan.

"APA" ibunya membalas tatapan yang tak kalah horror. " Kau mau mengadukannya pada papamu? Silakan. Tapi kau akan menyesalinya. Ingat kata-kataku." Dia mencolek dagu Renata. Membuat Renata tambah marah. Renata langsung menepis tangan ibunya itu, namun tidak kena. Membuatnya malu dan sedikit meringis.

"OPPSS" kata ibunya sambil berlalu pergi.

Saat ini hanya satu keinginan Renata. Menancapkan kuku panjangnya pada wajah dengan dempul setebal aspal itu.

***

Semua persiapan sudah selesai. Renata mengucek matanya setelah tidur beberapa saat. Menanti sore yang justru teramat panjang membuatnya ketiduran. Namun saat membuka mata dia tahu kalau ini akan berhasil. Persiapannya telah beres dan dia hanya perlu mencari alternatif keluar dari rumah dengan penjagaan yang setaraf bangsawan. Bodyguard-bodyguard itu pasti sedang menunggunya di depan rumah. Apalagi jika mendapatinya melewati garis pembatas. Kemungkinan dirinya akan mendapat hadiah yang lebih buruk daripada sebuah piring cantik.

Dia terus menerka-nerka segala kemungkinan yang terjadi dan itu membuatnya sedikit pusing. Akhirnya dia memutuskan untuk mandi dan bersiap terlebih dahulu. Tak berselang lama tubuhnya kembali segar. Dengan gaun soft pink tanpa lengan dia hilir mudik mencari rencana yang pas.

"Bibik…" seorang pembantu masuk ke kamarnya.

"Ada apa non?"

"Tolong bawa ini ke depan." Renata menyerahkan koper itu.

"Ini apa non?" Renata memutar bola matanya. Sudah tahu koper, nanya lagi.

"aku akan jalan duluan. Setelah sepuluh menit bibi baru turun." Titah Renata. pembantu itu mengangguk. Mungkin mengerti.

"Tapi kalau ada nyonya−"

"Jangan banyak tanya bi."

"Tapi non−"

"sumpah bi, ikut aku ke agency yuk. Bibik cocok jadi figuran pembantu di sinetron azab."

"ah non bisa aja." Bibi itu mesem-mesem sambil menepuk lengan Renata. Pipinya memerah malu. Renata pikir itu bukan rona. Tapi tomat busuk yang menyumpal di pipi pembantunya.

Tak lagi memedulikan pembantu itu dia menjauh. Menuruni tangga dengan aksen tak menimbulkan kecurigaan dari pihak rumah. Kakinya yang memakai stiletto melangkah penuh perhitungan−kemungkinan jika.

Sejauh ini tidak ada yang curiga, mungkin ibunya itu sedang berbelanja.

Setelah dia berada di pagar pintu keluar dia menatap rumah itu sekilas. Kenangan-kenangan itu timbul tenggelam dalam ingatannya.

"Bye" lalu Renata berlari. Memanggil taksi.

.

-To be Continued-

.

Masih Tentang Renata ya. Jangan lupa vote dan Comment nya ya thanks

Love you,

avataravatar
Next chapter