13 STRANGER

Baca dalam hati ya

Happy reading

-----------------------

Jika hati mampu dikendalikan sesuka hati oleh sang pemilik, maka pilihan pertama yang akan Gea lakukan adalah membelokan cintanya pada orang yang tepat. Jika perasaan mampu diperintah maka dengan senang hati dia akan memilih untuk jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya setulus hati. Namun siapa yang bisa mengendalikan perasaan jika kau masih manusia normal. Begitupun dengan Gea.

Menciptakan perasaan atau pandangan pertama itu mudah. Mendatangkan cinta juga tak sesulit menghilangkannya. Ya, Gea sudah terjatuh pada Digo sedalam-dalamnya sejak peristiwa dahulu sekali ketika dia masih kecil. Dan hanya masalah waktu cinta itu tidak sedikitpun mau berkurang. Dan semakin hari justru semakin menambah kekagumannya pada sosok lelaki tersebut

***

Dua hari yang lalu

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan bergaya kuno namun terlihat nyaman. Bangunan ini jauh dari perumahan atau tempat berkumpulnya orang-orang. Villa ini kelihatannya terpencil dan seperti kepunyaan kaum elit karena walaupun kuno tapi terkesan mewah.

"Ini di mana, Tuan?" Ucap Gea hati-hati pada lelaki yang berjalan di depannya.

"Tentu saja masuk." Lelaki itu menjawab tanpa minat.

Gea melihat ke depan villa itu, ada beberapa orang yang telah menunggu mereka. Sepasang suami istri dengan satu gadis remaja. Gadis itu seolah menatap Gea dengan pandangan tidak suka. Dan sepertinya mereka tidak akan bersahabat.

"Mang Asep villanya sudah dirapikan?" Tanya Devan pada suami istri itu.

"Sudah, den. Sudah mamang sama si bibi rapihin. Bener-bener kinclong pokoknya." Raut wajah lelaki tua itu begitu bersahaja.

"Dia siapa, bik?"

"Dia anak bibi den. Namanya Riska." Gadis itu tersenyum manis pada Devan.

Dasar anak kecil, dengus Gea.

"Selamat sore tuan." Gadis itu mencoba menyapa dengan kadar ramah yang menurut Gea dibuat-buat.

"Devan. Panggil aja aku Devan."

"Selamat sore Devan," ucap gadis itu mengulangi.

"Ih, atuh kamu teh yang sopan sama si Aden teh." Ucap Bi Minah−ibu gadis itu. Dan raut wajah Riska pun menampakkan rasa bersalah.

"Maaf Aden. Mun Saya kurang sopan," ucapnya sembari memerlihatkan semburat merah pada pipinya.

"Gak apa-apa Ris. Saya suka sama cewek yang malu-malu manis," Devan mulai tebar pesona.

"Mang Asep, Bi Minah. Aku mau ngomong sebentar." Kata Devan sambil mengajak kedua orang tua−Gea tebak pasti pengurus rumah ini.

"Riska, kamu anterin Si Enon ke kamarnya ya." Bi Minah menyuruh putrinya.

"Baik, Ambu." Ucap Riska mendengus sebal. "Mari 'kak' ikut saya."

Gea melirik pada Riska sambil tersenyum. "Nama kamu Riska ya?"

"Ih sok tahu. Dasar bule sok cantik." Tuhkan Gea sudah menebak kalua gadis ini tidak akan jinak kecuali sama Devan.

Gea dengan sabar mengikuti arahan gadis itu. Matanya tak sedikitpun melewatkan keindahan villa ini. "Kamu ngapain ikut AA' Devan ke sini?" Tanya Riska dengan tak bersahabat. Padahal umur mereka beda jauh tapi ramah tamah sepertinya tidak akan pernah Gea dapatkan.

"Mau liburan," jawab Gea singkat.

"Kamu teh pacarnya aa Devan," Gea melotot.

"Bukan" Gea mengucap setengah tertawa. "kamu salah tebak mungkin."

"Tapi pandangan wanita tidak pernah salah," Aduh bocah, umur masih belasan pun mengaku wanita. "Kayaknya aa Devan ada rasa sama kamu." Lagi. Gea melotot.

"Jangan sembarangan bicara, dek." Gea menegaskan posisinya pada gadis ini. Mereka sudah sampai di depan pintu.

"Silakan masuk. Maaf ya, mungkin saya salah tebak. Saya permisi." Riska menyerahkan kunci lalu menghilang ditelan Lorong yang berbelok.

Gea kemudian masuk ke dalam. Rasanya dia perlu beristirahat. Lelah sekali hari ini. Fisik dan batinnya perlu diobati. Dan salah satunya caranya adalah dengan memejamkan mata. Melupakan sebentar masalah yang begitu pelik.

***

Tubuhnya yang mengangkasa seperti ditarik kembali ke dasar tanah. Di benamkan hingga Gea tak mampu keluar lagi. "Bangun," tubuh Gea seperti terguncang hebat. Dengan percikan air di wajah. "Bangun," suara siapa itu. "Bangun," kali ini wajahnya basah dan dia seperti di Tarik dari alam bawah sadar. Napasnya memburu. Ternyata dia baru bangun tidur.

"Jam berapa?" seolah amnesia.

"delapan malam. Bangunlah dan bersiaplah. Kita makan malam, kamu pasti lapar." Gea menggeliat takt ahu harus melakukan apa. "Mandi dan ganti pakaianmu. Ingat, jangan kembali tidur." Lelaki itu mengingatkan.

Gea mengucek matanya menghilangkan rasa kantuk yang mendera. Matanya menangkap sebuah gaun cantik yang teronggok di sampingnya. Gaun berwarna merah tanpa lengan dengan potongan pendek. Gaun itu hanya menutupi sebagian kecil paha atasnya agar tidak terekspos. Potongannya yang hanya di atas lutut mengingatkan Ge ajika dia harus memakai terusan. Tapi dimana? Ini villa orang bukan apartemennya. Gaun merah itu sungguh indah dan elegan. Elegan jika di pakai wanita sosialita−bukan wanita kotor sepertinya.

Gea kemudian berjalan ke arah kamar mandi yang temaram. Dia melihat bath ub. Andai saja lelaki itu tidak menyuruhnya cepat dia pasti berendam terlebih dahulu. Namun, dengan cepat dia membuka seluruh pakaiannya dan mengambil shower. Membilas tubuhnya dengan busa sabun. Menghilangkan jejak kotor lelaki itu di tubuhnya. Akankah Tuhan mengizinkannya untuk melupakannya?

***

Tempat makan malam itu ternyata ada di belakang villa. Ada sebuah meja dengan candle khas orang dinner untuk kencan. Taplak meja berwarna putih polos yang akan segera diisi berbagai macam olahan makanan−yang Gea tebak makanan orang eropa. Walaupun keluarganya dari sana tetapi sedikit sekali yang dia tahu Namanya. Semua ini mengingatkannya pada drama romantic korea yang selalu dia tonton dan berharap hidupnya seindah itu.

Di salah satu kursi berwarna senada, Devan memakai tuksedo tersenyum manis ke arahnya. Lihat, bahkan sesekali tergelak−seseorang tolong ingatkan dirinya jika dia tidak salah memakai baju. Pria itu sungguh tampan jika Gea tidak lupa. Dia tengah menatap notebook nya−uh oh atau sebenarnya Gea salah.

Devan tengah menatapku? Pemikiran sinting, bagaimana mungkin.

"Emm hai" Gea melambaikan tangannya ke udara. Canggung. Bagaimana seharusnya perempuan elegan bersikap? Apa seperti ini? Gea menggigiti kuku jemarinya.

Seakan tersentak pada dunia nyata mendengar alunan indah suara perempuan itu. Mulutnya menganga. Dia terdiam seolah dunianya terhipnotis hanya pada Gea seorang. "Awas Ipad mu" memalukan sekali. Bahkan gadget yang lelaki itu pegang hampir jatuh.

Benar-benar cantik.

"Duduklah. Aku sudah menunggumu."

Gea lalu menggapai kursi di dekatnya. Mereka duduk berhadapan dan mendapati jikalau lelaki itu masih menatapinya seakan perempuan itu adalah hidangan utama dalam makan malam ini. Jakunnya naik turun menahan gairah. "Maaf," merasa ditatapi terus-terusan membuat gadis itu salang tingkah. Setelahnya ada deheman keras lelaki itu. Gea melihatnya dan lelaki itu seakan membuang muka.

Apa aku melakukan kesalahan.

Devan tersenyum memperlihatkan deretan gigi rapi seputih susu. Senyuman maut itu biasanya berhasil pada beberapa mantannya yang tak bisa dihitung jari. Namun gadis ini seolah buta pesona dengan mengatakan, "Apakah Anda model pasta gigi," rasanya pria itu ingin ke laut saja.

"Kau mau makan apa?" mengusir rasa malu Devan mencoba bertanya.

"Samakan saja." Devan kemudian memanggil pelayan lalu memesan beberapa jenis makanan.

"Kau irit sekali bicara ya?"

"Saya hanya menjaga diri dari orang asing." Seperti oraang tolol Gea menanggapi.

"Hei aku bukan orang asing. Aku penolongmu, right?" Gea lalu mengangguk. "Lupakan saja."

Gea saat ini lapar sekali. Ketika makanan terhidang dia langsung menyuapi mulutnya tanpa menghiraukan pria di hadapannya. Dia makan lahap sekali seperti orang gua yang baru menemukan kehidupan.

"Kau ingin mendengar sedikit ceritaku?"

"Apa itu menarik?" sebenarnya yang ingin Gea lakukan adalah makan dengan cepat. Kenyang. Dan kembali ke tempat tidur. Melupakan semua hal yang terjadi walau rasanya mustahil.

"Sure. Aku tidak pernah berbagi cerita kecuali dengan orang yang berarti bagi hidupku."

Gea mengambil makanan di depannya−untuk menutupi sisi penasarannya. Kepo setengah mati yang kembali mencuat. "Kalau begitu Anda tidak seharusnya menceritakan ke sembarang orang." Apakah jawaban dari keingin tahuannya tertutupi dengan pertanyaan itu.

"Sembarang orang?"

Gea mengangguk.

"Maksudmu kamu." Setengah menunjuk pada Gea.

"You know what I mean?" Gea memutar bola matanya malas. Apa lelaki ini bodoh. Atau efek kurang bercinta.

"Stranger? Aku tidak memandangmu seperti itu. Dengar aku berani bersumpah kalau kau wanita tercantik yang pernah kulihat, seingatkau." Ada rona merah di wajah gadis itu. Bukan. Bukan karena terangsang. Dan itu membuat Devan terkikik geli. Raja gombal memang tak ada duanya.

"Peduli setan kau mau dengar atau tidak tapi aku hanya ingin bercerita.

"Kau tahu jika aku sangat berpengalaman terhadap perempuan." Apa Gea pernah berkata jika dia peduli. "Mulai dari kelas menengah hingga kelas atas aku sudah pernah mencicipinya." Cassanova brengsek tidak memilih kelas bawah seperti dirinya ya? Batin Gea. "kebiasaanku ini bermula semenjak aku masuk kuliah di LN" orang luar emang gitu, pergaulannya bebas kaya binatang. OOPSS Gea sendiri bahkan korban pergaulan bebas itu. Jangan lupakan fakta bahwa dia juga keturunan orang luar. "Apa pernah sekalipun aku merasakan cinta?" Dia terbahak sendiri. Dasar orang gila.

"Dulu sekali, kalimat itu sempat berada di hatiku. Dulu sekali, aku pernah jatuh sejatuh-jatuhnya pada seorang gadis." Gea bertanya-tanya. Setinggi apa selera lelaki itu sampai dia tidak bisa berpaling dari cinta masa lalu. "kau tahu. Perempuan itu benar-benar bukan tipeku. Dia tidak cantik namun juga tidak jelek. Ada tahi lalat di punggungnya dan itu sangat seksi." Fix lelaki ini butuh psikiater. "dia sangat baik berbeda sekali denganku yang brengsek. Jangan lupakan senyum manisnya. Dia merupakan cinta pertamaku.

"Duniaku seolah terenggut begitu saja. Walau saat itu aku masih playboy tapi dia tahu, tempat pulangnya adalah dirinya. Jadi dia tidak sedikitpun ada masalah. Walaupun beberapa kali dia seprti jealeousy." Tolong katakan pada Gea perempuan mana yang tidak cemburu mempunyai lelaki tolol seperti ini.

"Kami sudah menjalin cinta selama beberapa tahun. Kalau tidak salah lima tahun," Dia kembali mengingat.

***

Siluet pasangan muda−lelaki kecil dengan perempuan seumuran−saling adu mulut di pojok kafe itu. "Apa kamu berniat memutuskanku?" Tanya si lelaki provokatif.

"Bukan begitu Devan−"

"Lalu apa?" Devan berdiri. Untung saja Kafe ini tidak seramai biasanya jadi orang-orang tidak perlu melihat pertunjukan drama picisan ini.

"Aku dijodohkan." Ucapnya terbata.

"Kamu selingkuh? MBA?" matanya yang biasanya memamerkan kepercayaan diri itu kini bak orang yang kan divonis.

Sungguh, ironis.

"Dev… Aku gak semurahan yang kamu kira. Ini beneran murni perjodohan."

"Kamu cinta aku kan?" Matanya menatap gadis itu penuh harap. Gadis itu hanya diam sambil menahan dirinya agar tidak menangis di depan pria itu.

"See? Bahkan kamu tak mampu menjawab pertanyaan sesederhana itu?"

Gadis itu sudah gusar dalam duduknya. Dia serta merta membuka mulut "Dev… Hanya aku dan Tuhan yang tahu betapa aku sangat mencintaimu−"

"Jangan bawa-bawa Tuhan karena Tuhan tidak pernah menyakiti orang."

"Dev, di sini tidak hanya kamu yang merasakan sakit itu."

"Oh ya?" Devano menaik turunkan alisnya. "Jadi hubungan kita yang bertahun-tahun itu tidak berarti apa-apa bagimu." Napasnya sudah memburu. "susah buat gue nembak lo waktu itu. Sesusah saat gue tiba-tiba harus move on dari lo."

Dev memakai lo-gue dan itu berarti buruk bagi hubungan keduanya.

"Dev. Aku mohon tolong jangan kaya anak kecil−"

"Childish? Lo bilang kalau gue childish. Gue gak buta kan? Atau gue emang selalu keliatan begitu dimata lo."

"Bukan begitu. Aku…Aku,"

"Apa? Udahlah udah jadi mantan ini." Devano yang sedari tadi berdiri kini berjalan ke ambang pintu. Meninggalkannya. Dia tahu mungkin ini yang terbaik. Mungkin mereka memang tidak berjodoh. "Lo emang picik. Cewek munafik yang pernah gue kenal."

Selanjutnya dia keluar dari kafe itu, namun samar-samar dia mampu mendengar. "Sorry, Dev." Lirih gadis itu. "Gue cinta sama lo. Sangat." Devan kini berbalik sepenuhnya melihat gadis itu dari kaca pintu yang setengah terbuka. "Lo tahu, Dev. Kalo bukan karena perjodohan sialan ini, kita pasti akan menikah." Gadis itu sepenuhnya menumpahkan air matanya. Kesedihannya sungguh membuat hati Dev terluka. Lelaki itu memutar tubuhnya dan berjalan keluar.

Dia tahu kalau semua telah berakhir.

.

.

.

Ku jadi bingung mau comblangin Devan ama Gea. Secara katanya Devan masih terkungkung sama masa lalu. Jadi kuharus gmn dong???

Mohon sarannya ya readers baik hati dan rajin membaca.

Love you,

Semangat ngabisin kue nastar dan kue lebaran lainnya' 🤔😄😄😄

avataravatar
Next chapter