webnovel

LET HIM GO

Gea menghempaskan tubuhnya ke Kasur berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Menghela napas gusar, dan memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Proses penenangan pikiran ini tidak akan berjalan begitu mudah. Bagaimana mungkin, semua kejadian-kejadian buruk itu menghampirinya dalam satu malam. Kekasih, ah masih bisakah dia menyebutnya begitu, menolak kehadiran bayinya. Bahkan sempat menuduh jika dia berselingkuh dibelakngnya. Kemudian, tatapan kekecewaan sang kakak yang amat mendalam. Tidak bisakah jika setelah ini Renata juga mengganggunya.

Semua ini membuatnya muak. Dia muak dengan dirinya sendiri yang begitu naif, juga muak pada keadaan yang semakin menghimpit hidupnya. Apa dia dilahirkan kedunia ini tidak di sertai dengan takdir yang membawa kebahagiaan.

Memikirkan itu semua hanya akan membuatnya menangis saja.

Ponsel yang berdering di atas nakas membuatnya tersadar. Akhir-akhir ini, entah kenapa dirinya selalu saja melamun. Tanpa pikir Panjang dia meraih benda pipih itu dan melihat nama yang tertera di sana.

MY BELOVED HUSBAND

"Ya, halo," ucapnya gugup. Namun sebisa mungkin suara yang keluar masih beroktaf lembut.

"Lama sekali kamu menjawabnya." Lawan bicara di seberang sana di penuhi intonasi kejengkelan pada tiap katanya.

"Maaf kalau begitu,"

"Aku hanya ingin tahu apa kau masih bangun dan ternyata ya. Kalau begitu aku akan masuk."

"Masuk?" Dia berpikir sebentar. Jangan bilang kalau Digo ternyata di depan pintu masuk apartemennya.

"JANGAN" spontan dia bersuara keras.

"Tidak biasanya kau meolakku" ada geraman yang menyertainya.

"Ah itu, anu. Itu, anu…" Mana mungkin dia mengatakan jika saat ini di apartemennya ada kakaknya.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" kalimat ini merupakan suatu pertanyaan, namun di telinga Gea justru terdengar seperti sebuah ancaman.

"Ti-tidak. Siapa bilang"

"Kau sedang bersama selingkuhanmu?"

"Apa yang kamu katakan mas? Hanya ada satu pria yang aku cintai, kamu pun tahu."

"OK. Kalau begitu aku tunggu lima menit."

"Ta-tapi.." belum sempat dia selesai bicara telepom sudah terputus.

TUT TUT TUT

Lelaki itu. Selalu saja begitu. Arogan dan egois.

Gea kemudian bersiap, tak mau jika ketidaksabaran lelaki itu akan merusak kebersamaannya bersama sang kakak. Dia memoles wajahnya dengan make up tipis, memakai baju kaos putih yang memperlihatkan sedikit perut ratanya dan celana jins. Rambutnya yang tadi tergerai dia kuncir seadanya. Dia menatap cermin yang selalu menemaninya tiap kali dia berdandan lalu tersenyum puas. Tidak terlihat menor, namun memberi kesan cantik natural. Kemudian dia meraih tas kecilnya, menyampirkan pada bahu, dan melenggang untuk menemui lelaki itu.

Saat dia melewati ruang tamu, dia melihat kakaknya yang tengah merapikan makanan di atas meja. Dia jadi teringat percakapannya tadi dengan sang kakak. Seharusnya dia mala mini tak menemuinya dan menyuruh lelaki itu pulang saja, lagi-lagi egonya menolak.

"Kak aku keluar sebentar ya." Kinan yang sedari tadi menyiapkan makanan menatapnya bingung.

"Kamu mau ke mana?"

"Keluar sebentar kak. Ada urusan" Gea menjawab seperlunya, tak mau menjelaskan lebih.

"Untuk?" seharusnya Gea berantisipasi dengan segala sifat Kinan. Dia tidak akan berhenti sampai semuanya terlihat masuk akal. Seperti alasan kematian kedua orang tuanya.

"Emm itu. Seniorku di kantor memintaku untuk membantunya menyelesaikan projek kami. Mendadak, projek itu harus selesai malam ini karena besok harus di presentasikan pada klien. Jadi, kami harus mengurusnya secepat yang kami bisa."

"Kamu akan menginap ya?" wajahnya terlihat sedih.

"Kalau kakak tidak keberatan."

"Baiklah. Kalau begitu hati-hati, adikku saying" seperti pemain drama picisan, senyum terukir palsu terukir dibibirnya.

"Maaf" ucap Gea merasa bersalah. Setelahnya dia bergegas keluar dengan cepat.

***

Pertama kali yang dia lihat saat pertama membuka pintu adalah mata Digo yang menatapnya bagian perutnya yang sedikit terbuka. Jakunnya naik turun dan mulutnya menganga lebar. Apa sebegitu menggodanya jika kucing liar diberi ikan asin?

"Mas lagi liatin apa, asik banget." Suara tawa cekikikan keluar dari mulut Gea dengan tidak elegannya. Dengan malas Digo mengalihkan pandangannya ke samping setelah tadi kurang ajar menelanjangi tubuh Gea. Menatap apa pun asal jangan pada bagian tubuh wanita itu, yang sialnya sangat menggoda.

"Mas ngapain malem-malem ke sini?"

"Ah, Umm.. itu. Aku hanya menginginkanmu." Bolehkah Gea melayang sebentar.

"M-maksudnya?" tanpa mau menjawab Digo segera menariknya menjauhi apartemen wanita itu. Membimbingnya berjalan lalu masuk ke dalam mobil sport hitamnya.

"Lain kali jangan pakai pakaian seperti itu?" ucapnya ketus, setelah dirinya berada di depan kemudi. Mobil pun meninggalkan apartemen Gea, kembali membelah jalanan.

"I-iya" selalu saja begini. Gea selalu terintimidasi jika berada di dekat Digo.

"Kita ke apartemenku. Aku sudah lama tidak tidur memeluk dirimu, My bitch" entah sejak kapan tangan Digo menggenggam tangannya. Menariknya ke depan wajah lalu menciumnya.

"Tapi tadi, itu-anu di kantor, tadi sore?"

"Kali ini aku hanya ingin tidur sambil memelukmu. Mengenai tadi sore, aku akan membayarmu lebih mahal dari yang tadi. Aku tahu kamu menolak uangku tadi karena kurang banyak kan?"

Hah? Apa dia bilang. Apa Gea semurah itu di matanya. Bukannya Gea selalu mengatakan jika dia mencintainya. Apa itu masih kurang? Apa Gea harus bertekuk lutut dan mencium jari kakinya dulu baru dia akan percaya. Apa janin yang berada di dalam kandungannya, yang setengah mati akan Gea pertahankan belum termasuk bukti nyata di matanya. Apa gea harus mati dulu baru dia akan percaya.

***

"Apartemenku masih sama saat terakhir kali kita bermain di sofa, masih ingatkan?" Wajah Gea memanas, mengingat setiap detail yang kembali menyeruak begitu nyata. Minggu lalu, dia terakhir ke sini dan dia masih mengingat percintaan panas dengan sofa bulu halus sebagai saksi bisu mereka.

Namun, bukan itu yang Gea pikirkan saat ini melainkan foto prewed berukuran besar yang terpampang di tiap sudut kamar apartemen lelaki ini. Dengan foto terbesar menggantung di dinding yang mengahadap langsung pintu masuk, sehingga semua yang datang langsung tahu jika hubungan kedua insan itu tidak main-main.

"Mas, apa tidak apa-apa mengajak perempuan lain saat sebentar lagi kalian akan menikah?" hati Gea hancur saat mengucapkan ini. Cintanya pada Digo seolah lelaki itu patahkan dengan tidak sama sekali memikirkan betapa terlukanya Gea saat ini.

"Selama itu kamu, aku pikir baik-baik saja."

"Apa kamu tidak takut Renata akan mengetahui perselingkuhanmu?"

"Kamu bicara apa sih. Jangan berbelit-belit, lagian memangnya kamu siapa sampai berkata seperti itu."

Digo yang tadi berjalan mendahuluinya, berbalik lalu memeluk Gea dengan tidak nyaman. Dia lalu membisikkan sesuatu.

"Jangan berlagak seolah kamuitu selingkuhanku. Ingat. Kamu itu hanya pelacur. Pelacur yang tiap kali kubayar untuk memenuhi hasrat sialanku."

Demi mendengar ini, Gea hampir saja menangis. Runtuh sudah pertahanan yang selalu dia pasang saat Digo kembali menyakitinya. Mengintimidasinya. Kali ini, levelnya bukan lagi hanya menyakiti telinganya yang panas, atau hatinya yang hancur berkeping. Dia kini, membunuh cinta sucinya. Cinta yang sejak dulu selalu Gea tanam agar selalu menguatkannya dari semua perlakuan buruk Digo.

"Oh iya, aku belum mandi. Bisakah kamu memandikanku seperti biasanya. Jika ada dirimu, aku selalu luoa bagaimana cara mandi." Jika tadi hati itu dia remukan hingga berkeping, patahan-patahan itu pula yang dia pungut dan direkatkannya kembali. Hangat sekali Digo menggodanya seperti itu. Katakana saja Gea gila karena tergoda dengan perkatakan jijik seperti itu. Tapi siapa peduli, bahkan pipinya pun kini memerah, sementara jutaan kupu-kupu serasa beterbangan di perutnya. Bolehkan jika Gea berharap lelaki tampan ini mencintainya.

Digo membuka seluruh pakaiannya, tanpa menyisakan apapun. Beberapa kali Gea menenggak ludah melihat ketidakberdayaannya saat disuguhi pemandangan seperti ini. Jika ini surga, dia rela mati sekarang. Perut kotak-kotak yang selalu terbayang dalamfantasi terliarnya itu kini terpampang nyata. Gea mengusapnya, merasakan wujud nyatanya.

"Sabar saying, kita punya waktu semalaman. Jika tadi aku menginginkamnu sebagai pillowtalk, maka kini aku menginginkanku sebagai pelacurku. Kita akan menghabiskan kegiatan bercinta sepanjang sisa malam ini."

***

.

.

ALERT

[author note]

Sebelumnya maaf jika ini hal ini mengganggu. Nah, aku mau mulai nulis kembali naskah ini setelah sekian lama terbengkalai begitu saja. aku rasa, Gea sam yg lain berhak hiduo walau cuma dicerita.

Aku mau tanya dong, sama para readers setia . Jawaban kalian amat sangat mendukung karya ini ke depannya

1. Menurut kalian, cerita ini lanjutin apa jangan?

2. sebenarnya feel nya dapet ga sih sejauh ini?

3. siapa tokoh yang paling kalian sukai?

4. Ngebosenin sama berbelit belit ga sih alurnya?

5. Kalau misalnya mau tambah kecepatan alur, dari skala 1-5 kalian mau pilih berapa?

6. Terakhir nih, kalian kangen author gak? Hahaha. becanda jangan masukin hati, masukin aja ke jantung.

plis thor, lo kelaut aja sono.

Sekian, Terimakasih banyak sudah mau baca karyaku. please Vote and Comment nya ya.

Thanks a lot.

Love you,

Next chapter