12 JEALOUSY

Ada yang kangen???

Happy Reading 😄😄😄

----------------------------------------------

"Perkenalkan," Devan menjulurkan tangan kanannya. "Saya adalah kekasih Gea. Calon suaminya."

Astaga. Gea menutup mulutnya. Tubuhnya mengejang tahu bahwa apa yang dilakukan Devan merupakan hal yang salah. Salah bagi dirinya. Dan salah bagi hubungannya dengan Digo.

"Oh begitu," Ucapnya Digo enteng. Dia kemudian menjabat lengan itu. Matanya tetap terfokus pada Devan. Tangannya mencengkram tangan Devan dengan keras, seolah Devan adalah sebuah ancaman.

"Kalau begitu salam kenal." Dia lalu melepaskan jabatannya.

Devan menarik tangannya yang memerah karena jabatan mereka yang terkesan tidak bersahabat. Lelaki itu kemudian saling menatap satu sama lain.

Dan percayalah, itu seperti tatapan yang hendak saling membunuh

***

Suasana tegang tak bisa dihindari. Panas menebar dimana-mana. Emosi terlunjak dari aura kedua lelaki itu. Gea bisa merasakan kemarahan dalam diri Digo sementara Devan−Gea yakin lelaki itu bisa menahannya. Suhu diluar sebenarnya sangat dingin karena villa ini berada di daerah puncak. Namun, kedua orang ini diliputi aura panas yang sedikit demi sedikit membakar Gea dan suasana.

Gea tidak mampu berucap. Rasanya lidahnya kelu sekali melihat pemandangan aneh yang sebelumnya dia berpikir tak pernah akan terjadi hal seperti ini. Pandangannya kini tertuju ke bawah−ke lantai marmer tempat kakinya yang telanjang membenamkan diri. Jari-jemarinya mulai bertautan karena gugup. Keringat dingin pun entah sudah meluncur berapa kali. Yang pasti Gea tak mampu untuk mengingatnya.

"Honey, tidakkah kamu menyapa bosmu?" Gea tahu itu adalah pertanyaan basa-basi. Karena Devan pun pasti sudah tahu kedatangan lelaki ini dipenuhi niat tidak baik.

"Emmm Hai mas." Setelah Devan menyikutnya Gea tersadar. Hohoho baiklah Gea akan mengikuti sandiwara ini.

"Kamu masih bisa bersikap santai setelah kalian−" Digo menunjuk Gea lalu pada Devan yang berdiri di sampingnya. "KAU" tunjuknya pada Devan.

"Ayo pulang!" Digo meraih tangan Gea dengan kasar. Gea mencoba melepaskan namun apa daya, seperti biasa tenaga perempuan selalu kalah. Gea hanya bisa merintih kesakitan, bahkan pergelangan tangannya sudah memerah.

"Bisakah Anda berprilaku sedikit lebih lembut pada perempuan. Dia calon istri saya." Devan menggeram melihat Gea diperlakukan bak hewan.

"Dev..." Gea mengingatkan.

Tak mengindahkan sama sekali ucapan Devan, lelaki itu malah semakin berjalan cepat sambil menggusur Gea di belakangnya. Gea macam kesetanan meronta-ronta ingin dilepaskan. Tinggal beberapa lagi langkah mereka mendekati mobil sport hitam milik bosnya itu. Dan itu artinya setelah ini Gea akan berada di neraka.

"Hilang sudah kesabaranku." Gumam Devan yang masuk ke pendengaran Gea. Perempuan itu berbalik menatap Devan yang seperti berlari kea rah mereka berdua.

"Sialan kau." Devan melancarkan satu pukulan telak yang Gea yakin itu amat keras. Digo sedikit oleng ke samping−sedikit lagi terjatuh ke tanah.

Pergelangan tangan Gea sudah bebas. Namun rasa sakit itu semakin kebas melihat perkelahian di depannya. Sudut bibir Digo mengeluarkan sepercik darah akibat pukulan tadi. Digo kini memposisikan tubuhnya kembali tegak. Dia tertawa−amat kencang seperti orang gila. Diusapnya bibir itu dan darah tadi menempel di ujung jarinya. "Wah, keras juga ya"

Digo mengumpulkan tenaganya dan melangkah mendekati Devan. Satu tangannya hendak memukul pipi Devan namun lelaki itu bisa menghindar. Tangan yang lain menuju kea rah perutnya dan kena telak. Digo menggunakan trik tipuan tadi untuk mengelabui Devan. Devan yang tak siap pun terkena baku hantam di perutnya membuatnya mengerang kesakitan. Lelaki itu terjungkal ke belakang.

"DEVANNN" Gea berteriak. Digo melihat sekilas ke arahnya. Gea merinding melihat tatapan Digo yang seperti ingin membunuh.

Perlahan Digo mendekati Devan yang mencoba berdiri. Kakinya yang bebas teracung dan bersiap menendang tubuh ringkih Devan. Lelaki itu belum siap menerima serangan yang tiba-tiba seperti ini. Kembali Devan terjungkal.

Gea semakin khawatir akan keadaan Devan. Gea tahu Digo dulunya seperti apa. Pemimpin Geng sekolah yang berisi anak-anak berandalan. Digo kecil juga merupakan atlit karate yang beberapa kali memenangkan emas di pertandingannya bahkan hingga taraf internasional. Ini merupakan kebodohan Gea, harusnya Gea tahu jika Devan tidak pandai berkelahi−yang adalah seorang dokter bedah jantung.

"Terimakasih, baby" ucap Devan setengah mati. Tak memedulikan kondisi tubuh dia kembali berdiri. Kali ini dia akan memukul wajah brengsek lelaki dihadapannya. Digo dengan mudah menghindar dan pukulannya hanya mengenai udara kosong. Disusul tangan lainnya yang hendak memukul dahu, Digo kali ini menahan tangannya. Dia balikkan tangan Devan hendak mematahkannya namun tidak jadi karena lelaki itu mendorongnya, kemudian.

Gea melihat kondisi wajah Devan yang mengenaskan. Wajah yang dipenuhi darah−Gea yakin hidung mancung lelaki itu patah. Tangannya, apakah patah patah juga? Gea sedikit meringis. Kakinya lunglai sudah tak mampu berdiri. Digo benar-benar keterlaluan. Gea memungut remahan-remahan keberanian yang tadi sudah berceceran. Dia maju ke tempat adu jotos itu.

Di depan tubuh Devan dia merentangkan kedua tangannya. Mata Devan yang tinggal segaris mampu melihat Gea yang tengah menangis sambil melindungi dirinya. Dia pun terkekeh.

"Honey, Tak layak bagi perempuan untuk melindungi lelaki." Suara Devan yang terdengar memelas membuat kepala Gea menoleh. "Harusnya calon suamimu ini yang melindungimu."

Digo yang melihat adegan romansa justru semakin tersulut. Padahal dia tadi ingin mengakhiri pergulatan ini. Namun mendengar jika Jalangnya di klaim sembarangan oleh orang lain membuatnya geram. Dia maju tak memedulikan perempuan itu.

"Hentikan, mas." Gea mencoba berbicara.

"Minggir" tegas Digo yang berjalan mendekat.

"Hentikan Mas" Gea tak gentar. Dia tak mau kalah dengan lelaki itu.

"Minggir." Ulang Digo. "Minggir atau kau akan menyesal." Melihat Gea tak bergerak barang sedikitpun juga, perangai Digo yang seperti iblis pun menguar bebas.

"Baik kalua begitu" Tubuh Gea terpelanting jauh. Tidak hanya mengaduh kesakitan dia juga merasakan sakit yang amat sangat. Lututnya berdarah. Ujung penglihatannya melihat Digo yang membabi buta memukuli Devan tak berperasaan. Devan kehilangan kesadaran yang dimilikinya.

"Mas" Gea berlari lalu memeluk tubuh Devan yang teronggok bak mannequin mati. Dia kali ini tak akan membiarkan Digo kembali menyentuh tubuh lelaki ini.

"Minggir Gea" suara bariton yang terdengar memenuhi alarm bahaya Gea. Tapi gadis itu tak akan mundur untuk melindungi penolongnya.

Gea menggeleng, matanya basah karena air mata.

"MInggir. Biarkan aku menghabisinya."

Gea tetap menggeleng. Digo yang tengah kehilangan kesabarannya akhirnya menampar Gea.

PLAKKK. Keras sekali. Tamparan ini bahkan lebih keras dari tamparan yang pernah Gea rasakan seumur hidupnya. Tamparan ini juga yang ternyata menghilangkan kesadarannya.

Namun, sebelum sepenuhnya kesadaran itu menghilang Gea tetap tersenyum.

Senyuman yang penuh arti.

.

.

.

Lagi iseng ngetik sambil ngisi ketupat. Besok lebaran, yeayyy. Btw, Minal aidzin walfaizin readers.

Love you

avataravatar
Next chapter