webnovel

IT'S TRULLY

Gea menangkup kedua pipinya yang memerah akibat tamparan yang baru saja dilayangkan oleh seseorang yang berada didepannya. Perempuan itu menatap Gea tajam, Sedang kedua tangannya terkepal. Tersirat aura amarah yang mengelilinginya nyata. Suasana tegang dan malu Gea rasakan saat ini.

"Ka…kak Kinan" takut-takut Gea memandangi perempuan itu sekilas. Lalu tatapannya beralih lagi pada kedua kakinya.

Tanpa diduga tiba-tiba perempuan di depan Gea merentangkan tangannya, lalu memeluknya erat. Gea yang belum siap tampak ragu-ragu ingin membalas pelukan itu. Dia sungguh malu. Sangat malu.

"Maafin Gea, Kak." Hanya itu, hanya itu ucapan yang keluar dari bibirnya yang terasa kelu.

"Kakak juga…" Perempuan−yang ternyata adalah kakak Gea itu menghembuskan napas, bukan hanya adiknya saja di sini yang bersalah. Tak seharusnya dia melakukan hal bar-bar seperti tadi. Dia sungguh menyesal.

"Kakak minta maaf ya…" Kedua tangannya mengelus pipi Gea saying. Hal ini justru semakin membuat Gea semakin merasa bersalah. Dagunya kemudian diangkat agar keduanya saling bertatapan. "Maafin kakak ya." Sekali lagi kakaknya meminta maaf dan hati Gea rasanya begitu tertohok, apalagi saat wanita itu semakin memeluknya impulsive. Memberikan ketenangan yang luar biasa.

"Jangan seperti ini, Kak. Gea mohon," ucapnya parau. Tak tahan dengan kenyataan ini semua yang mengingatkan Gea pada peristiwa-peristiwa hina yang dia lalui selama ini bersama Digo. Gea lalu membenamkan wajahnya di bahu sang kakak, karena dia malu. Matanya memerah dan dia mulai menangis tersedu-sedu di hadapan sang kakak. Sisi melankolis yang dia tahan-tahan keluar dengan sendirinya.

"Sudah, saying. Kakak di sini," kemudian kakaknya yang mengambil alih situasi setelahnya. Dia menggiring tubuh Gea dan mendudukannya di sofa apartemennya. Sementara Gea masih menunduk, malu dengan dirinya sendiri. Malu pada kehinaan dan kesalahan yang dia buat.

"Gea, semua orang pasti punya masa lalu. Kakak, Mama, Ayah, semuanya. Semua keluarga kita, orang lain, semuanya pasti punya masa lalu. Termasuk kamu, saying.tatap mata kakak," Kinan meraih dagu Gea, berusaha mengambil perhatian sang adik.

"Sudahlah. Kakak tahu apa yang dijalani kamu saat ini sangat berat dan ini semuanya bukan salah kamu, saying. Sebenarnya ini adalah salah kakak. Kamu tidak akan jadi seperti ini, tanpa adanya campur tangan kakak. Kakak yang paling merasa bersalah atas apa yang kamu rasakan saat ini,

Kamu tahu Gea, setelah kecelakaan waktu itu, yang merenggut nyawa ayah sama mama, harusnya kakak yang menjadi tumpuan keluarga kita. Tapi kamu tahu apa? Kakakmu yang tolol ini malah melarikan diri. Kakakmu yang bodoh ini malah mencari pelampiasan dan meninggalkanmu seorang diri. Kakak minta maaf atas apa yang terjadi sama kamu dan atas apa yang tadi kakak lakukan" Kinan menyentuh pipi Gea yang memerah. "ini pasti sakit, kan?"

"Kak Kinan, Gea minta maaf,"

"Buat…" Kinan mengernyitkan dahinya.

"Kak Kinan pasti sudah tahu, kan?."

"Ya, Kakak maafin. Tapi ada syaratnya"

"Syarat?"

"Kamu harus melahirkan keponakan yang super duper lucu, kakak baru maafin."

"Ih Kak Kinan" Gea memukul pelan bahu Kinan lalu tersenyum.

"Nah gitu dong, senyum. Kalau gitu kan, adik Kakak tambah cantic."

"Oh iya, ngomong-ngomong Kak Kinan tahu dari mana kalau aku hamil. Aku rasa, aku belum memberitahukannya pada siapa pun selain pada ayahnya tadi sore,"

"Eh itu, kakak hanya menebak."

Gea tak percaya.

"sumpah Gea, kakak gak bohong." Kedua jarinya mengacung, membentuk huruf 'V' dan wajahnya dipasang polos sedemikian rupa mengingatkan Kinan saat dia dulu masih berteman dekat dengan Renata. Ah, Renata. Andai saja waktu bisa diputar kembali dan perasaanya bisa dikendalikan pasti pertemanannya tak kan serenggang ini. Jika saja, dia tak menuruti hasrat gilanya untuk bermain api bersama Digo semuanya pasti tak kan pernah sekacau ini. Dia bodoh karena tergoda akan cinta dalam diamnya dulu, sehingga menyepakati kesepakatan yang Digo buat begitu saja. yah, otaknya memang sudah mati. Logikanya juga menumpul saat dia bersama Digo.

"Hei," Gea mengerjap-ngerjap sesaat, tersadar dari lamunannya.

"sedang memikirkannya−heh.?" Kinan mengerling dengan tatapan jahil sedangkan Gea tersipu malu.

"Pipimu merah, berarti aku benar." Ucapnya pongah sambil menoel pipinya. "Aku memang ahlinya menebak, adikku tayang." Gea lagi-lagi terkesiap lalu menatap Kinan heran.

"Emm itu Kak, kakak tahu dari mana kalau aku emm 'PELACUR'?" aduh, Gea sungguh malu dengan kata terkhir yang dia ucapkan. Tidak adakah kata yang lebih sopan dari sekadar kalimat pelacur. Wanita malam, kah. Wanita penggoda, kah. Aduh, kesemuanya juga berkonotasi buruk. Memang itu merupakan kegiatan buruk dari apa yang Gea lakukan sekarang.

"Kamu harus cerita sama kakak sekarang!" Kinan berkata lembut nambut sirat akan perintah.

"Eh, anu itu, kakak belum menjawab pertanyaan aku tadi…"

"Geisha Lakhsmi Sarasvati, tidak penting untuk tahu dari mana seorang Kiandra Lakhsmi Sarasvati tahu keadaan kamu. Justru kakak minta maaf baru tahu segalanya tadi pagi. Jadi, bisakah kamu ceritakan saja. kakak ingin mendengar penuturannya dari sudut pandang kamu, biar kakak tak berpikiran buruk kemudian." Gea mengangguk.

"Tapi janji ya, setelah ini kakak juga cerita kenapa selama empat tahun terakhir kakak pergi dari aku?"

***

Setelah adegan Panjang yang menguras tenaga, mereka mengakhiri cerita masing-masing. Akhirnya Gea tahu mengapa selama ini kakaknya menghilang mau pun insiden yang terjadi pada kedua orang tuanya. Apakah itu sekadar kecelakaan biasa atau terselip rahasia lain di balik insiden yang membuat keluarga mereka hancur. Kiandra, ternyata selama ini dia menjadi agen rahasia, CIA, hanya untuk menyelidiki kasus kematian kedua orang tuanya. Padahal selama ini Gea selalu berpikir yang tidak-tidak padanya. Gea selalu berpikir, jika Kinan menghilang itu ada sangkut pautnya dengan kekesalannya pada Gea yang selalu menangis setelah kematian orang tuanya, dan semakin menyusahkan Kinan saja.

Ah, untunglah. Gea mengelus dada setelah tahu semua kebenarannya.

"Tinggalkan dia." Suara Kinan kini mulai mendominasi ruangan itu.

"Hah, tinggalkan apa?" Gea tak terlalu mendengar tadi karena hormon kebahagiaannya yang memancar keluar.

"Tinggalkan ayah dari anak ini."

Hah. Apa tidak ada suatu kejahatan yang paliing mengerikan kecuali memisahkan seseorang dari pasangan yang terlalu dicintainya.

"Tapi, kak. Aku sangat mencintainya kakak tahu" Gea mulai merengek. Kebiasaannya jika dia merayu Kinan, maka cara ini satu-satunya yang bisa membuat ini semakin mudah. "Aku tidak bisa," ucapnya lirih sambil menunduk memandangi lantai. Ruang tamu yang tadi penuh canda tawa kini semakin menegang.

"Kakak bilang tinggalkan dia," Kinan berdiri dari kursinya, menjauh. Ini semakin memperumit keadaan.

"Kak…" Gea menatap kembali dengan sayu wanita di hadapannya. "Aku hamil dan ini−" belum sempat dia menyelesaikan perkataanya, Kinan tiba-tiba memotongnya.

"Gea, jadilah wanita dewasa." Dia menghela napas. "Masalah ini cukup rumit. Kamu terlalu mencintainya, sementara dia hanya terobsesi padamu. Niatnya saja sudah salah−menjadikanmu objek percobaan terhadap fantasi sex gilanya. Dia terlalu memandang rendang harga diri wanita."

"Tapi kak," ragu. Gea jelas ragu jika harus mengakhiri hubungannya dengan Digo. Hubungannya−walaupun tidak sehat tapi dia nyaman dengan semua ini. Lebih tepatnya selama dia berada di samping Digo, itu sudah cukup. Merasakan kehadiran Digo, adalah kenyamanan tersendiri bagi dirinya. Tak peduli seberapa kasar perlakuan Digo padanya atau seberapa hina dirinya karena mau-maunya diperlakukan seperti itu, Digo tetaplah Digo, seseorang yang dia cintai setengah mati. Eh, sampai mati. Hanya maut yang boleh memisahkan dirinya.

"kakak sudah berpikir matang-dan ini adalah keputusan terbaik yang bisa kita ambil."

"Kak…"

"GEISHA. Apa kamu tidak mengerti juga." Kesabaran Kian mulai habis. "Dirgantara Aryacakrabhuana Kusdiana, itu sudah memiliki tunangan. Apa kamu masih tidak mengerti? Lelaki yang kamu cintai merupakan orang yang salah. Pria yang sebentar lagi akan memiliki istri. Dan di sini, seolah semesta sedang berkonspirasi, lelaki itu bertunangan dengan sahabat baikmu. Aduh, tak habis pikir aku. Bagaimana mungkin kamu akan mengkhianati sahabatmu itu."

Gea terdiam. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri. Semua yang dikatakan kakaknya sebenarnya cukup mengganggu pendengarannya. Berusaha menulikan telinga pun tak ada gunanya. Karena memang posisinya di sini adalah tersangka. Dan ini, Oh Tuhan. Kebaikan Renata selama ini, dia balas dengan kucuran timah yang akan membakar, ah bukan, menghancurkan hidup sahabatnya.

"Aku akan ke dapur. Ku rasa memasak akan sedikit menenangkan pikiranku."

Lamat-lamat Gea mendengar kakaknya berbicara, 'Anak itu selalu saja membuat malu keluarga, sungguh pusing kepala". Sekali lagi, air mata itu kembali mengalir.

.

.

.

Maaf kalo misalnya aku lama update. Aku kira ga bakalan ada yg excited sama cerita aku, jadi yah kubiarkan saja. Tapi melihat comment kalian, itu sangat membangun aku agar berkomitmen pada tulisan ini. aku akan berusaha ya, do'akan saja.

terimakasih atas vote dan comment kalian.

Love you

Next chapter