webnovel

HURT

Happy reading, guys.

Bagian 2

Gea tengah memunguti pakaiannya yang tergeletak sembarang di lantai sambil berjongkok dan menyilangkan tangannya pada kedua payudaranya, kemudian bergerak hati-hati. Sementara Digo tengah memerhatikannya dari atas sofa dengan menyilangkan kedua kakinya. Dia tersenyum melihat tubuh telanjang Gea yang menampilkan karya indah yang berhasil dia buat, tubuh Gea yang terlihat memar dan merah-merah akibat penyaluran hawa napsu semata.

Sebenarnya melihat tubuh telanjang Gea justru menyiksa dirinya. Jika saja sekarang bukan jadwal penguncian kantor, maka dengan senang hati Digo akan kembali bercinta dengan pelacur sekaligus sekretarisnya itu. Ah, Gea betapa tubuhmu benar-benar menggairahkan, pikirnya.

"Gea cepatlah berpakaian, ayo kita pulang. Aku akan tunggu di mobil." ucap Digo instruktif. Dia berdiri dari kursinya lalu meninggalkan Gea sendirian di ruangan itu. Jika aku terlalu lama di ruangan ini, bias-bisa aku tergoda untuk menyetubuhinya lagi. Gila, bahkan yang di bawah sudah on-fire minta dipuaskan. Waras Digo, tolong waras. Untuk kali ini saja kamu harus dapat menahan hasrat sialan ini. Digo berusaha mati-matian untuk mengekang hasratnya kuat. Lalu dia membuka pintu sialan itu lalu menutupnya dengan kasar. Membuat Gea mengelus dada karena terkejut.

Gea dengan cepat memakai kembali pakaian yang tadi Digo lempar ke sembarang arah. Jujur saja, tadi sebenarnya Gea agak gugup jika harus berganti pakaian dengan terus dipandangi Digo seperti itu. Memangnya Gea tidak tahu jika sedari tadi Digo melihatnya penuh napsu. Kilatan singa laparnya bahkan bisa Gea rasakan, bahkan ruangan ini juga semakin panas walaupun ada AC yang terus menyala. Makanya sebisa mungkin Gea mengulur waktu untuk memperlambat adegan memakai bajunya dan sebisa mungkin menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya walau itu hal yang percuma saja, karena bagian tunbuh telanjang Gea tetap terlihat.

Setidaknya Gea sudah mencoba.

Ketika pakaian itu berhasil Gea kenakan dengan sempurna, Gea menyadari ada sobekan kecil di bagian bahu, pundak, dan pada kedua sisi bawah atasannya. Dia mengelus dada pasrah. Untung saja para pekerja lain sudah pulang, sehingga aku tidak perlu repot-repot mencari alas an. Dia meraih tas kecilnya yang berada di atas meja, mengeluarkan beberapa peralatan make up nya, memolesnya cepat pada bagian tertentu wajahnya. Ia mengambil cermin kecil dan tersenyum puas melihat hasil dandan kilatnya. Walaupun wajahnya agak kusut dan rambutnya terlihat berantakan, dia berharap semoga dandan kilatnya mampu menyembunyikan fakta itu.

Dia keluar meninggalkan ruangan itu.

***

"Mas Digo udah lama nunggu?" Gea bertanya setelah duduk di bangku kemudi. Digo menatap pelacur manisnya sejenak lalu mencium keningnya.

"Kita langsung ke apartemenmu ya, besok aku ada meeting." Katanya singkat tanpa memberi penjelasan lebih. Sontak hal itu membuat Gea mendesah, kecewa karena malam ini ia akan tidur tanpa Digo yang akan memeluknya.

"Kamu keberatan?" Digo tampaknya menyadari kegundahan hati Gea.

"Ah, gak papa ko mas. Aku justru bersyukur kamu mau nganterin aku pulang." Gea tersenyum sementara hatinya justru berkata sebaliknya.

Obrolan pun berakhir.

Digo menancap gas sehingga mobil mulai melaju menuju jalanan yang mulai lenggang dan tak seramai tadi. Malam semakin larut sedangkan kendaraan mulai menyusut. Orang-orang yang tadi terlihat ribut kini mulai semaput, mengantuk. Hawa yang semakin dingin dan kian menusuk berhembus menggoyang beberapa tanaman kota menghasilkan embun. Dan rembulan di atas sana bersinar indah di kelilingi awan-awan kelabu.

Ah, malam yang damai.

Digo melirik Gea yang terlihat mengantuk. Sesekali kepalanya terkantuk dashboard mobil. Dan setelah itu akan ada suara mengaduh pelan dari sang pemilik. Digo yang tak tega melihat itu segera meraih kepala Gea lalu menariknya untuk bersandar pada bahunya. Menyadari kepalanya ditarik membuat Gea justru terbangun. Tak urung Gea menatap Digo intens, merasa heran dengan apa yang lelaki itu perbuat.

"Kenapa? Kok kamu malah bangun,"

Bukannya menjawab Gea justru tersenyum, sungguh dia saat ini sangat senang diperlakukan manis seperti ini.

"aku tadi kasihan melihat kamu tertidur seperti itu. Jadi, yah kamu boleh tidur bersandar di bahu aku."

Mendapat jawaban seperti itu, Gea terlihat bahagia sekali. Itu artinya, mas Digo perhatian kan ke aku? Emmm engga-engga, mungkin seperti katanya tadi, dia hanya kasihan melihatku. Ah, tapi. Bibir Gea mengerucut. Tak mau dipusingkan dengan hal itu, ia menyurukkan kepalanya ke dada bidang Digo, mencari kenyamanan di sana.

Secara alamiah, sebelah tangan Digo pun merangkul tubuh Gea. Mengusap-ngusap kepalanya lembut. Menghantarkan Gea untuk menembus alam mimpi. Namun, bukannya tidur Gea justru merasa tak tenang. Hatinya berdesir terus-terusan sejak tadi. Ah, tepatnya sejak Digo menyentuh kepalanya. Sungguh, Gea bingung. Kenapa sekarang perasaannya begitu tak tertahankan dan sebegitu ingin dia ledakkan agar Digo bisa tahu. Gea memicingkan matanya untuk menatap Digo sembunyi-sembunyi seolah-olah dia sedang tidur.

"Aku tahu kamu sedang menatapku kan. Kenapa, kamu mulai terpesona dan dengan senang hati menyetujui perkataanku?"

Ah. Persetan dengan kepekaan Digo.

"Aku hanya melihat..." Gea bingung. Ia mengerucutkan bibir.

Mobil terhenti.

"Aku hanya..." Sumpah Gea speechless saat Digo kini justru menatapnya kembali. Memusatkan penglihatannya hanya pada Gea.

Secara tidak sadar Gea mencium Digo dan entah sejak kapan Ia sudah mengalungkan lengannya pada leher lelaki itu. Entah Ia mempunyai keberanian dari mana. Masa bodoh jika nanti dicap wanita murahan karena mencium pria terlebih dahulu. Yang terpenting sekarang dia harus mengalihkan perhatian Digo.

Lelaki itu terdiam ditempat. Sontak hal itu membuat Gea malu dan berpikir bahwa Ia telah melakukan hal yang tidak wajar. Ia hendak memundurkan kembali tubuhnya, tiba-tiba tangan Digo menahan pundaknya. Digo yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, membalasnya. Digo tidak bohong jika rasanya sangat memabukan. Bahkan membuatnya menginginkan lagi dan lagi. Dirasa ciuman saja tidak cukup, Digo melumat bibir Gea kuat dan dalam. Sementara Gea hanya pasrah menerima perlakuan Digo.

Lumatan-lumatan yang Digo berikan mulai beralih menciumi leher jenjangnya. Di sana, Digo menjilatnya, menghisapnya, tak terkecuali mengigitnya lembut. Hal itu membuat erangan demi erangan lolos dari mulut Gea. Digo justru tertantang. Tangannya kini mulai merayap masuk ke dalam pakaian Gea. Menyentuh sesuatu yang lembut di sana. Tangannya kini sudah penuh dengan payudara milik Gea. Digo meremasnya kuat sambal mengerang menahan kenikmatan. Persetan dengan keadaan mereka di mobil, Ia justru ingin segera dipuaskan.

Gea yang sedari tadi terpejam karena menahan kenikmatan, matanya saat ini mulai memicing. Sepertinya handpone nya berbunyi. Dan benar saja, matanya langsung membuka lebar. Ternyata itu milik Digo dan setelah sisi kewarasannya kembali, Gea mendorong Digo kuat. Suara dering telepon itu sungguh menyelamatkannya.

"Aih sialan" Digo melirik handpone miliknya dan dengan kesal mengangkatnya. Kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh Gea dengan segera merapikan pakaiannya. Gea melihat sekeliling dan dia tahu bahwa mereka masih di pinggir jalan.

Aduh, bagaiamana jika sampai ada yang melihatnya.

Ah, gairah sialan. Hampir saja.

***

"Ah Gea, kenapa si tadi kamu melakukan hal yang bodoh. Di depan Digo pula. Mungkin besok Digo akan illfeel padanya." Rutuk hati kecil Gea. Gea menyurukan wajahnya sedalam-dalamnya pada guling yang tengah ia pegang. Ya, kini dia sedang terbaring di atas kasurnya setelah beberapa menit lalu ia pulang ke apartemennya.

Bodoh. Bodoh. Bodoh

"Tapi mengingat hal tadi. Digo sungguh sangat manis. Ah, Digo. Baru beberapa menit saja berpisah dengannya aku sudah kangen lagi." Gea bermonolog ria.

Tok. Tok. Tok.

"apa jangan-jangan, itu Digo ya?" Dengan cepat ia beranjak meninggalkan kasurnya. Dengan piyama yang sedikit terbuka pada bagian pahanya, Gea yakin Digo akan tergoda. Membayangkannya saja membuat Gea senang setengah mati.

"Ya sebentar" Gea setengah berteriak. Gea merapikan pakaiannya seadanya dan buru-buru menuju pintu. Langkah kakinya langsung terhenti tepat di depan pintu, saat Ia menyadari jika orang itu bukanlah sosok yang dia harapkan.

PLAKKKKK

Gea merasakan sesuatu yang panas pada pipinya. orang itu menamparnya dengan kuat, membuat Gea tak bisa berkutik.

PLAKKKKK

Tamparan kedua yang membuat pipi satunya juga terasa panas. Sebenarnya apa yang terjadi dengan orang ini. Kenapa tiba-tiba dia berbuat seperti itu pada Gea. Apa salah Gea, Tuhan? Namun kata selanjutnya justru mampu meruntuhkan pertahanan Gea.

"Dasar pelacur"

Dua kata itu, membuat Gea tidak bisa berkutik. Dia tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Gea mampu merasakan kemarahan orang tersebut pada tamparannya. Dan entah sejak kapan pipinya mulai membasah. Air mata yang coba ia tahan tumpah ruah seketika. Dia sungguh tidak sanggup.

Oh, Tuhan. Apa yang harus Gea lakukan.

Next chapter