webnovel

F-R-I-E-N-D-S

Happy reading 😚😚😚

Friends- Annie Marrie, Marshmello

-------------

Devan hendak membukakan pintu mobil itu namun tangan Gea dengan cepat mendahuluinya. Devan menatapnya bingung. Gea mengangkat bahu acuh. "Biar aku saja."

Selama di mobil keduanya tidak saling bicara. Keduanya fokus pada pandangan masing-masing. Gea menolehkan kepalanya memandang ke jendela mobil. Hubungannya dengan Devan tak mungkin baik-baik saja saat ini.

Pernah mendengar pepatah jika ada perempuan dan laki-laki bersahabat lalu salah satunya mengungkapkan cinta, jika hubungan itu tidak mempunyai titik temu maka pertemanannya dipertaruhkan−tidak akan sama seperti sebelumnya karena diliputi rasa canggung. Itu yang saat ini dirasakan Gea.

Devan tetap fokus pada jalanan. Tangannya mencengkram kemudi setir mencoba menjaga setiap kewarasannya agar tetap sadar. Sebenarnya tak ada yang lebih indah dari jalanan di depan selain wajah Gea di sampingnya. Begitu pun dengan Gea, dia pun merasa hal yang sama, hanya menengok tak tahu arah pada pinggiran jalan lewat kaca jendela mobilnya. Akhirnya tangannya memencet radio yang ada di dekat dashboard. Berharap lagu-lagu yang keluar mampu membunuh kecanggungan.

You say you love me, I say you crazy

We're nothing more than friends

You're not my lover, more like a brother

I known you since we we're like ten, yeah

Devan tampak termenung di tempatnya. Sepertinya dia salah mendengar lagu. Mendengarkan lagu ini jelas membuatnya mual. Samar-samar dia mendengar orang yang ikut bernyanyi−karaoke. Walau pun suaranya kurang enak tapi dia amat menikmatinya. Dia melirik wajah perempuan di sampingnya. Wajahnya tampak berseri-seri mengikuti alunan lagu.

Don't mess it up, talking that shit

Only gonna push me away, that's it!

When you say you love me, that make me crazy

Here we go again

Lagi. Dia mencuri-curi penglihatannya pada gadis itu. tangannya menunjuk-nunjuk sembarang saat bernyanyi lirik itu. "Dasar gadis polos." Devan yakin jika lagu sialan ini sengaja diciptakan untuk orang-orang yang terkena syndrom friendzone. Dunia memang kejam. Bahkan orang baik seperti dirinya juga harus ikut disindir.

Don't go look at me with that look in your eyes

Devan terkesiap. Kenapa lagunya bisa membaca gerak-geriknya yang mencurigakan ini.

You really ain't going away without a fight

You can't be reasoned with, I'm done being polite

I've told you one, two, three, four, five, six thousand times.

Gea masih menirukan tiap bait lirik itu.

Haven't I made it obvious?

Haven't I made it clear?

Want me to spell it out for you?

F-R-I-E-N-D-S

Cukup. Devan mematikan sambungan radio itu membuat Gea menoleh tak suka.

"Kenapa?" tanya Gea tanpa basa-basi.

"What?" berpura-pura tak melakukan apa-apa.

Gea menatapnya sengit. "Kenapa kau matikan?"

Devan hanya mengendikan bahu. Tak berkomentar atau membalas pertanyaannya. Apa hanya dia di sini yang menyadari betapa menohoknya lirik dalam lagu itu. menikam jantungnya hingga tak berbentuk lagi. Apa Geisha tak sadar atau pura-pura saja tak peka jika Devan teramat menyayanginya.

Mobil kembali melaju dengan keheningan yang mengisi keduanya. Tak ada yang bersuara. Tak ada yang ingin memulai terlebih dahulu. Keduanya seperti larut pada pemikiran masing-masing. Gea menatap jalanan lewat jendela di sampingnya, sementara Devan hanya menatap lurus ke depan.

"Kau bisa sakit jika seperti itu?"

Gea tak mengerti. Apa yang barusan dikatakan lelaki itu.

"Apa kau tak mendengarku. Lehermu bisa sakit jika kau menengok terus seperti itu."

Gea memosisikan lehernya dan memutarnya ke samping. Tampak Devan tengah tersenyum dengan jarak beberapa senti di sampingnya. Lelaki itu menikmati setiap momennya. Astaga sejak kapan Devan ada di sampingnya. Dan tersenyum selebar itu. Gea menahan napas.

"Kau baik-baik saja hunn? Aku begitu mengkhawatirkanmu, kau tahu."

Mobil itu berhenti dan Gea tak menyadarinya sama sekali. Tiba-tiba Devan menjauhkan wajahnya, lalu membuka pintu. Apa lelaki ini akan meninggalkan Gea sendirian dalam keheningan di sini. Jalanan lengang dan sepi sehingga tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat. Devan keluar dari mobil dengan Gea yang tetap duduk di sana. Tanpa basa-basi gadis itu mengikuti lelaki itu keluar.

"Dev, tunggu aku."

Devan tetap berjalan di depannya seolah tak menghiraukan Gea. Wanita itu sebal setengah mampus, tega sekali Devan melakukan ini kepadanya. Tapi saat Gea berhasil menyejajari langkahnya, dia terhenti. Melihat pemandangan langka yang cukup menggetarkan hati. Gea mengelus perutnya secara tak sadar. Di sana, dokter Devan sedang berdiri di atas lututnya agar seimbang dengan tubuh anak kecil di depannya. Anak itu tampak menangis histeris.

"Shhh" Devan mencoba menenangkan dengan mengelus-elus rambutnya. Hal yang tidak pernah terpikir Gea bahwa Devan akan melakukan aksi heroik begini. Apa nanti Digo juga akan melakukan hal yang sama jika anak mereka lahir. Gea mencebik, yang benar saja.

"Kamu kenapa, hah?" Anak itu tak menjawab namun tangisnya semakin mereda.

Devan menarik tangan anak kecil itu lalu membimbingnya untuk mendekati kursi terdekat. Bangku panjang yang ada di pinggir jalanan itu. Gea yang seolah tersihir hanya mengikuti kedua lelaki itu dengan tetap memerhatikan interaksi keduanya yang mampu mengalihkan dunianya.

"Aku takut" anak kecil itu terbata-bata mengejanya. Namun jelas ketakutan masih terpancar di matanya. "Aku takut. Papa, papa."

"Papa kamu kenapa?"

"Papa jahat." Hanya itu yang diucapkan anak lelaki itu. Dia kemudian menunduk sambil masih sesenggukan. Tangisnya sudah mereda namun sisa-sisa air matanya masih ada di wajah kumalnya. Gea tebak, pasti anak itu jarang mandi.

"Jahat? Tidak ada seorang ayah yang akan memukul anaknya tanpa sebab. Jadi kamu kenapa bisa ada di sini sendirian."

"Aku… aku berlari…" Lalu mengalirlah kisah hidup anak ini yang tidak mudah dipahami. Aksen yang cadel membuat dia justru semakin lucu.

Yang jelas yang dapat ditangkap Gea bahwa, anak ini korban broken home. Dia kabur karena tidak kuat melihat ibunya terus disiksa oleh sang ayah. Katanya, bahkan make up diwajah ibunya biru dan lipbalm ibunya belepotan di bibir. Hadeh, Gea mengusap dahi. Itu bukan make up sayang tapi memar. Dan sepertinya itu juga bukan lipbalm warna merah tapi darah.

Setengah jam mereka duduk seperti itu, bercanda dengan anak lelaki yang lucu. Sebenarnya bukan mereka tapi Devan dan anak itu. Gea bagai obat nyamuk karena kikuk tak tahu harus melakukan apa.

"Andy, sayang." Panggil seorang wanita dari arah samping.

.

.

.

Maaf partnya dipotong. biar gak terlalu kepanjangan.

Love you,

Next chapter