17 END GAME

Double Up

Happy reading šŸ˜˜šŸ˜˜šŸ˜˜

-------------

Alphard putih itu berhenti bermanuver saat memasuki pelataran rumah sakit. Jakarta dengan segala hiruk pikuk kemacetannya tak membuat mobil alphard itu mengalami kendala. Sepertinya pengemudinya memang sering melakukan balap liar.

Pintu mobilnya terbuka lebar memuntahkan seorang lelaki tengah menggendong wanitanya. Peluh mengucur membasahi pelipisnya. Dia menghapusnya kasar. Wajahnya kalap menahan marah. Ada seberkas rasa khawatir yang membayang wajah gagahnya.

"Mana dokter," teriaknya ke beberapa orang yang ada di pintu masuk. "Aku butuh menyelamatkan wanita ini. Aku ingin istriku hidup lagiāˆ’" Apakah air matanya yang mengucur deras itu tak membuat beberapa orang simpati padanya. Sungguh dia tengah merendahkan sedikit egonya untuk melakukan hal ini.

"Cepatlah. Seseorang berikanlah pertolongan pada istriku." Beberapa orang yang melihat adegan itu hanya menggeleng. Mengangguk. Menghadapi orang yang sedang kesetanan memang membingungkan.

"CEPAT" teriaknya pada orang-orang yang melongo memandangnya. Dia terus menggendong wanita yang terkulai tak bernyawa itu bagai manekin yang tak berkepala. Terkulai tak berdaya.

Mungkin Tuhan lebih menyayanginya.

Segera, brankar yang didorong oleh beberapa orang menghadangnya. Perawat-perawat itu memindahkan tubuh ringkih itu tidur di atasnya. Digo sama sekali tak keberatan. "Dorong lebih keras. Kalian tidak dibayar untuk berlari seperti keong" mereka menatap Digo heran.

Brankar itu memasuki lorong-lorong yang berkelok seperti tikungan. Di depan ruangan bertuliskan IGD mereka menepi. Dokter yang bertugas di sana menghampiri. Memandang wajah perempuan yang sepucat susu.

"Apa kalian tidak salah membawa pasien?" Dokter itu berbisik pada salah satu perawat yang memakai baju hijau.

Perawat itu menggeleng.

"Suster, coba kita periksa denyut nadinya duāˆ’"

Digo menghadangnya. Menahan suster yang akan memeriksanya sebelum masuk ke ruangan berdominasi putih. Tempat eksekusi jiwa-jiwa yang sekarat. Dia tak mungkin akan membiarkan Gea menunggu lebih lama lagi untuk diobati. Hatinya begitu ngilu tatkala matanya menempa mayat itu. Tidak itu bukanlah mayat. Gea bukan jiwa tak bernyawa. Dia masih hidup. Masih.

"Cepat obati saja. Tidak usah periksa denyut nadi segala," Bentaknya keras.

Salah satu perawat bergerak mendekati. "Maaf pak, ini sudah prosedur rumah sakit ini. Jika tidak mengikuti peraturanāˆ’"

"Peduli setan dengan peraturan." Umpatnya kasar. Dia mendekat ke arah dokter itu. Tangannya yang sekeras baja menarik kerah sneli putih lalu sedikit mengangkatnya. Menghantarkan jutaan emosi yang membuat darah mendidih. Beliau langsung ketakutan dengan gerakan lelaki yang sedang kerasukan itu. Dokter itu yakin jika detik selanjutnya wajahnya akan babak belur oleh orang yang kalap yang ada di depannya ini.

Anehnya, tiba-tiba Digo justru bersimpuh. Bersujud memeluk kaki dokter itu. entah dorongan dari mana dia bisa melakukan hal rendah seperti ini. "Saya mohonāˆ’" air mata itu nyata. Keadaan tubuhnya yang jauh lebih burukāˆ’dengan kemeja kusut yang salah kancing juga tatanan rambut yang terlihat burukāˆ’lebih menggambarkannya seperti sesosok zombie yang hungover. "Selamatkan nyawa istri saya" mengatakan istri entah kenapa membuat jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. "Dia lebih berharga dari yang saya kira." Jika dalam sadar hal seperti ini tentu saja bukan miliknya. Dalam beberapa kesempatan bahkan lelaki itu menganggapnya rendah. Lebih hina dari seeokor hewan sekali pun.

"Pak" Tegir dokter itu. "boleh saya luruskan," Dokter itu membantu Digo berdiri. "Kami bukan Tuhan yang bisa mengatur nyawa seseorang. Menghidupkannya atau Mematikannya. Itu bukan tugas kami. Kami hanya berusaha menolong. Menolong nyawa dengan berharap pada beberapa peluang yang bahkan satu persen sekalipun." Dokter itu menepuk-nepuk punggung lelaki itu. Berusaha membuatnya tenangāˆ’tidak seimpulsif tadi.

"Lebih baik Anda menenangan diri dan berharap pada Tuhan untuk kesembuhan istri Anda."

Setelahnya dokter membawa mayat itu masuk melewati Digo yang tengah mematung di tempat. Nanar di matanya mungkin telah menghilang. Dia mendekat ke salah satu kursi tunggu. Meraup wajahnya yang lusuh, mengacak rambutnya dengan frustasi. Kepalanya pening dipenuhi pikiran buntu. Bagaimana jikaā€¦ bagaimana jikaā€¦ bagaimana jikaā€¦ pertanyaan itu terus berputar di kepalanya bagai wahana olang aling.

Dosa. Dia meratapi dosa-dosa yang dilakukannya. Tapi sungguh dia tak kan pernah menyesalinya. Panggil saja dia berengsek jika itu membuat Tuhan mau mengampuninya. Dia akan menerimanya berlapang dada. Asalkan Geanya, jalang satu-satunya, sembuh. Kalau bisa, biarkanlah dirinya sendiri yang akan menggantikan kesakitannya. Biarlah tubuhnya yang kuat menjadi tameng bagi tubuh Gea yang lemah. Dia akan selalu siap untuk pasang badan.

Layar HP berkontras hitam itu berkedip-kedip. Membuyarkan lamunannya. Matanya yang sedari tadi menatap nyalang langit-langit rumah sakit tertumbuk pada benda pipih itu. Satu nama pemanggil memenuhi layarnya. Nama yang selalu menghias hari-harinya.

"Halo?" ucapnya dengan suara serak.

.

-To be Continued-

.

Kayanya Digo mulai sadar deh, ya gak sih?? Kujadi ga tega buat ninggalin lapak ini. Kayanya bebarapa part lagi end. Ada yg sama gak kaya aku yang sedang uring-uringan.

Love yeah,

avataravatar
Next chapter